Jakarta, Tahun 1996
Aku duduk di kursi yang ada di sudut dapur, lalu mengamati Papa dan Mama yang sedang sibuk memasak. Sesekali aku mendekat untuk melihat bahan-bahan masakan yang diperlukan, peralatan dapur yang dipakai, serta cara mereka memasak. Menurutku, memasak adalah kegiatan paling menarik dan menyenangkan di dunia. Diam-diam, aku mulai mengembangkan minatku untuk memasak melalui kegiatan pengamatan itu.
Sama seperti hari biasanya, hari itu pun Roemah Liem dipenuhi oleh pengunjung yang ingin merasakan nikmatnya masakan kreasi Papa dan Mama dari resep turun-temurun keluarga. Restoran Tiongkok di kawasan Grogol Petamburan yang diberi nama sesuai marga keluarga itu tampak penuh, dan antrean di luar pun cukup panjang. Aku melihat Suksuk Chandra sedang sibuk mengantarkan makanan dari meja ke meja. Encing Romli pun sibuk mengangkut bahan masakan ke dapur, lalu membantu menyiapkannya. Sementara itu, Encing Imas sibuk mencatat pesanan dengan telaten dan cekatan.
Semua orang tampak sangat sibuk, hingga membuatku tak enak hati jika hanya berdiam diri dan mengamati. Aku mencoba menawarkan bantuan. “Ma, ada yang bisa Nima bantu?”
Tanpa menghentikan kegiatannya, Mama menjawab, “Kamu bisa bantu kupas dan potong-potong ini, ya.” Mama menyerahkan sekeranjang bawang putih.
Aku kembali ke sudut dapur dan mulai mengupas bawang. Beberapa waktu ke belakang, Mama sudah mulai mengajariku cara menggunakan pisau, dan aku masih membiasakan diri untuk menggunakannya. Saat aku tampak kesulitan, Encing Romli datang menghampiriku.
“Encing Romli punya cara supaya kupas bawangnya lebih cepat,” ucapnya padaku.
“Oh, ya, gimana caranya?”
Encing Romli mengambil satu siung bawang putih, lalu menekan bagian atas dan bawah secara bersamaan. Tampak kulit bawang terbuka di bagian tengahnya, dan jika sudah begitu, tidak perlu lagi pisau untuk mengupas. Aku mencoba melakukan trik itu, tapi aku agak kesulitan karena butuh sedikit tenaga untuk menekannya.
“Ayo coba lagi, Nima pasti bisa!” seru Encing Romli.
Setelah mencoba beberapa kali, aku mulai terbiasa dan bisa mengupas bawang-bawang itu dengan lebih cepat. Selagi mengupas, aku masih mengamati sekitarku. Dari dapur, aku bisa melihat seluruh area restoran karena Papa tidak memberi sekat di antaranya. Papa sengaja membuat konsep dapur terbuka, agar pelanggan bisa melihat seluruh proses memasak, sekaligus memancing selera makan mereka dengan aroma masakan yang menari bebas ke seluruh ruangan tanpa terhalang tembok.
Selain petrikor, aroma yang kusukai adalah aroma masakan khas dari dapur Roemah Liem. Aroma la zi ji, hainan jifan, gong bao ji ding, chow mein dan wonton, silih berganti memenuhi ruangan. Aroma yang tidak pernah membuatku bosan untuk menghabiskan waktu di dalam restoran.
“Pak Salim, Bu Jia Li, makasih buat makanannya. Nggak pernah mengecewakan,” ujar seorang lelaki paruh baya, seraya melambai ke arah dapur.
“Sama-sama, Pak Iwan. Besok datang lagi, ya!” ucap Papa yang memamerkan senyum semringah.
“Jangan bosen sama masakan kita, ya, Pak,” Mama menimpali.
“Nggak, dong. Saya pamit pulang dulu, ya.” Lelaki paruh baya bernama Pak Iwan itu, beranjak meninggalkan Roemah Liem. Ia adalah pelanggan tetap yang seringkali kulihat wajahnya.