PETRICHOR

Ratna Arifian
Chapter #3

Wihara di Samping Masjid

Sebagai Buddhis yang taat, kami sekeluarga secara rutin menjalankan doa bersama setiap pagi, di depan altar yang ada di rumah kami. Papa tak pernah melewatkan doa bersama sebagai wujud syukur dan juga memohon karma baik pada para Buddha dan Bodhisatwa. Namun, khusus di hari Minggu, Papa mewajibkan kami untuk bersama-sama mengikuti puja bakti di wihara. Oleh karenanya, setiap hari Minggu, Roemah Liem akan buka lebih siang daripada hari lain.

Butuh waktu lima belas menit perjalanan dengan mobil Papa untuk sampai ke tempat bernama Wihara Candavira itu. Bukan kebetulan jika nama wihara itu sama dengan nama belakangku, karena Papa memang terinspirasi dari sana. Sementara itu, nama depanku —Nima— memiliki arti matahari. Melalui rangkaian nama itu, Papa berharap agar aku punya pribadi dan masa depan secerah matahari.

Aku suka sekali pada Wihara Candavira karena memiliki arsitektur yang unik. Ruang dhammasala di wihara ini punya atap berbentuk joglo, seperti rumah adat Jawa. Selain itu, ada ukiran dhammacakka dari kayu jati yang bagian bawahnya dipasangi lampu gantung berbentuk replika Sembilan Naga yang sangat indah. Di halaman depan wihara, tumbuh sebuah pohon bodhi yang rindang dengan ketinggian lima meter. Kami sekeluarga biasa duduk berkumpul di bawah pohon itu setelah puja bakti selesai.

Dari sana, aku bisa melihat kubah Masjid As-Salam yang berada tepat di samping wihara. Kedua tempat itu menjadi simbol kerukunan dalam keberagaman. Di saat yang sama dengan kegiatan puja bakti, masjid itu sedang mengadakan kegiatan pengajian. Meskipun dilakukan di waktu yang sama, mereka saling menghargai dengan tidak menggunakan pengeras suara berlebihan, hingga suara yang terdengar tidak sampai melewati tembok pembatas masing-masing rumah ibadah.

Sehari sebelumnya, aku mendengar bahwa Faruq dan Encing Romli berencana ikut pengajian di Masjid As-Salam. Karena itu, sepulang dari puja bakti, aku berniat untuk menunggu mereka di depan masjid. Aku tidak berani pergi sendiri, dan meminta Ko Dharma untuk menemaniku.

Tak lama kemudian, Faruq dan Encing Romli tampak keluar dari masjid, aku pun segera menghampirinya.

“Nima, udah selesai puja baktinya?” tanya Encing Romli.

“Udah, Encing. Nima mau nyapa kalian sebelum pulang.”

“Nima, nanti sore nonton bareng pertandingan final badminton di rumahku, yuk,” ajak Faruq.

Lihat selengkapnya