Keluargaku punya sebuah rutinitas saat sedang berkumpul, yaitu mendengarkan Papa mendongeng. Bukan kisah Malin Kundang, Timun Mas, Little Prince, ataupun Pied Piper of Hamelin, melainkan kisah yang Papa karang sendiri. Selain memasak, ternyata Papa juga memiliki bakat dalam menciptakan dunia kecil di dalam kepalanya. Papa menggunakan media dongengnya itu untuk memberi nasihat pada anak-anaknya. Melalui kisah di dalam dongeng-dongeng itu, Papa mengajari kami nilai-nilai kehidupan.
Malam itu, sebelum kami pergi ke kamar masing-masing, Papa meminta kami berkumpul. Kali ini, Papa mendongeng sebuah kisah yang ia beri judul ‘Osmia Rufa di Antara Kawanan Semut’.
Osmia Rufa adalah lebah soliter. Makhluk kecil yang bagai tersesat, karena memilih hidup terpisah dari kawanannya. Ia terkadang tersesat di dalam kawanan serangga lain, hingga menjadikannya berbeda, terasing dan dikucilkan. Di dalam kisah itu, Osmia Rufa menjadi metafora dari seorang manusia yang berbeda dengan manusia lain, yang tinggal di sebuah desa ngarai dengan empat musim. Penduduk desa adalah manusia-manusia bertubuh tinggi, berkulit putih dan bermata biru, sedangkan Osmia Rufa adalah lelaki berkulit hitam, bertubuh pendek dan mata cokelat terang.
Penduduk desa tidak tahu dari mana Osmia Rufa berasal. Mereka takut, curiga, dan menghindar setiap kali melihatnya. Jika ada barang yang hilang dari penduduk desa, mereka pasti menyalahkan Osmia Rufa, menuduhnya telah mencuri. Padahal, Osmia Rufa tidak pernah melakukan hal jahat, bahkan hanya sebatas niat sekalipun. Osmia Rufa akhirnya harus bersembunyi di dalam hutan, demi menghindari kontak dengan penduduk desa.
Namun, Osmia Rufa tidak bisa selalu bersembunyi, karena ia juga butuh uang sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan selain makanan dan minuman yang bisa diperolehnya di hutan. Misalnya saja, mantel tebal untuk musim dingin. Osmia Rufa mencari uang dengan mengumpulkan apa pun yang ada di hutan untuk dijual kepada penduduk desa. Ia menjual kayu bakar yang akan membuat rumah-rumah penduduk tetap hangat di musim dingin, serta menjual getah pinus yang bisa diubah menjadi bahan sabun, lem, semir sepatu, sampai minyak yang aromanya bisa menyembuhkan bronchitis.
Jika pergi ke desa, Osmia Rufa akan berpakaian tertutup agar penduduk tidak terkejut melihat sosoknya. Penduduk desa hanya akan melihat mata cokelat Osmia Rufa mengintip dari balik tudung yang dipakainya. Sosoknya yang misterius semakin menimbulkan persepsi yang buruk di mata para penduduk desa. Padahal tidak demikian, Osmia Rufa adalah sosok yang welas asih dan dermawan. Diam-diam, ia memberi makanan pada anak-anak kelaparan yang tidak punya orang tua, sekalipun makanan itu adalah miliknya yang terakhir. Terkadang, ia juga memberikan mantel tebal dan uang yang dimilikinya pada anak-anak itu. Ia melakukannya di saat para penduduk desa tidak peduli pada nasib anak-anak itu.
Saat melihat sosok Osmia Rufa, anak-anak itu merasa terkejut dan takut. Namun, setelah mereka bisa melihat ke dalam diri Osmia Rufa, mereka melihat kebaikan dan ketulusan yang tidak mereka temukan di antara penduduk desa lainnya. Semakin berjalannya waktu, semakin banyak pula anak-anak yang mendapat bantuan dari Osmia Rufa.
Waktu pun terus berlalu, Osmia Rufa kini sudah tua dan lemah. Pada musim dingin, ia meringkuk tak berdaya di gubuknya di dalam hutan. Sendirian dan sekarat. Lalu, suatu hari, seorang perempuan menghampirinya dan memberinya obat-obatan serta makanan yang melimpah. Di hari lain, beberapa lelaki mulai membangun gubuk Osmia Rufa hingga berubah menjadi sebuah kabin dengan perapian dan ranjang yang hangat.
Rupanya, para lelaki dan perempuan yang datang silih berganti membantu Osmia Rufa adalah anak-anak yatim piatu yang dulu sering mendapatkan bantuan dari Osmia Rufa. Banyak di antara anak-anak itu, kini menjadi orang dewasa yang sukses. Mereka adalah para generasi penerus desa yang akan menjadi manusia-manusia yang lebih baik daripada pendahulu mereka. Semua itu, berkat kebaikan yang ditanamkan oleh sosok seorang Osmia Rufa dari masa kecil mereka. Sementara itu, di masa tuanya, Osmia Rufa bisa hidup nyaman dan bahagia berkat kebaikannya di masa lalu.
Begitulah dongeng Papa berakhir. Papa pun selalu bertanya padaku dan Ko Dharma, makna dari kisah yang Papa dongengkan.
Otakku mulai berpikir. “Kalau kita sering membantu orang lain, kelak mereka juga akan membantu kita.”
“Tepat!” seru Papa. “Karena itu, kita harus banyak-banyak berbagi dengan orang lain, agar saat kita kesulitan, mungkin saja akan ada banyak orang yang membantu kita.”
“Dan... kisah Osmia Rufa menggambarkan bahwa perbedaan manusia bukan mengenai warna kulit atau asal-usul mereka, tapi perbedaan manusia hanya dua, yaitu baik dan jahat. Dan Osmia Rufa adalah gambaran dari manusia yang baik,” ungkap Ko Dharma.
Papa tersenyum bangga. “Anak-anak papa memang luar biasa.”
“Oke. Sekarang, ayo kita tidur,” ucap Mama sembari mengelus kepalaku.
***