Jakarta, Tahun 1997
Kali ini, Faruq Affandi—sahabatku yang penuh semangat—telah mengukuhkan cita-citanya untuk jadi atlet badminton. Sejak menonton pertandingan final Piala Thomas setahun lalu, Faruq mulai rajin berlatih. Ia mengajak teman-teman yang tinggal di dekat rumahnya untuk bermain badminton setiap hari. Aku pun sering melihatnya bermain, dan aku memang melihat potensi besar dalam diri Faruq. Berbeda dengan anak-anak lain, yang tampak tidak serius dan tidak punya bakat, Faruq menunjukkan bahwa dirinya mumpuni. Ajaibnya, semakin hari, kemampuan Faruq dalam badminton semakin terlihat jelas. Aku tidak yakin, apakah bakat itu lahir dari tekad yang kuat, ataukah merupakan bakat terpendam yang baru kini muncul ke permukaan.
Suatu hari, diadakan sebuah turnamen badminton antar kecamatan seluruh Jakarta. Tentu saja, Faruq tidak ingin melewatkan kesempatan itu untuk unjuk gigi. Ia semakin rajin berlatih. Ia bahkan memanfaatkan waktu istirahat sekolah untuk bermain badminton. Sayangnya, di sekolah kami tidak ada ekstrakulikuler badminton, hingga Faruq harus membawa perlengkapan miliknya. Faruq mengajak beberapa teman yang tertarik pada badminton sebagai rekan berlatih. Andai aku punya sedikit saja bakat dalam badminton, aku akan dengan senang hati menjadi rekan berlatih Faruq. Sayangnya, aku sangat payah dalam olahraga, dan hanya bisa memberi dukungan dengan menemaninya latihan.
Tanpa terasa, hari turnamen pun tiba. Faruq berhasil melewati babak penyisihan dan menjadi salah satu wakil dari Kecamatan Grogol Petamburan, untuk nomor tunggal putra. Di hari debut Faruq sebagai atlet baru badminton itu, keluarga Faruq dan keluargaku berbondong-bondong menuju gedung olahraga di kawasan Jakarta Barat, tempat berlangsungnya turnamen. Papa bahkan sampai menutup Roemah Liem, demi menonton Faruq bertanding.
Turnamen badminton yang diadakan di kota Jakarta itu diperuntukkan bagi anak dan remaja, usia tujuh sampai lima belas tahun. Tujuannya, untuk mencari calon penerus bintang badminton masa depan, sekaligus untuk kampanye Kementerian Pemuda dan Olahraga, dalam mendidik generasi penerus bangsa, agar menjadi generasi unggul yang sehat jasmani, positif dan sportif. Para sponsor pun telah menyiapkan hadiah berupa uang tunai, sampai beasiswa bagi para juara turnamen.
Cukup banyak masyarakat yang antusias dengan turnamen itu. Tampak dari jajaran bangku penonton yang terisi lebih dari setengah. Di antara mereka, ada pula para pemburu bakat yang siap membuka mata lebar-lebar, untuk melihat potensi unggul dari para peserta turnamen.
Aku melihat Faruq di sisi lapangan, sedang bersiap untuk bertanding. Lalu, aku melirik ke samping kananku, Encing Romli dan Encing Indah—yang sedang hamil tujuh bulan—tampak bangga melihat sang putra sulung. Sementara itu, di samping kiriku duduk berderet Papa, Mama, Encing Imas yang memangku Annisa, serta Suksuk Chandra, yang tak kalah antusias. Hanya Ko Dharma saja yang tidak bisa ikut serta dalam euforia itu. Ko Dharma sudah mulai memasuki dunia orang dewasa yang sibuk, sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Faruq tampil gemilang di babak pertama dengan mengalahkan lawannya dengan selisih skor yang cukup jauh. Sementara itu, di babak kedua, Faruq tampak sedikit kewalahan karena pihak lawan mengubah strategi permainan. Kami semua yang menonton tampak cemas. Namun, pada akhirnya Faruq berhasil menang hanya dengan dua set permainan. Ia pun melaju ke putaran selanjutnya. Kami bersorak penuh kebanggaan bagi calon bintang badminton masa depan itu.
Di pertandingan-pertandingan selanjutnya, hanya tinggal aku yang tak pernah absen menonton. Sekali aku ditemani Encing Imas, dan sekali lagi aku ditemani Suksuk Chandra. Mereka diberikan izin khusus oleh Papa untuk libur bekerja di Roemah Liem demi menemaniku, sekaligus mendukung Faruq. Hingga sampailah aku di pertandingan semifinal, dan kali ini aku ditemani Encing Romli.
Tidak seperti pertandingan sebelumnya yang dipenuhi euforia, kali ini aku dan Encing Romli merasakan ketegangan yang ganjil. Mungkin, karena Faruq sudah berhasil melangkah sejauh ini. Meskipun merupakan hal yang membanggakan, tapi kami pun semakin mengkhawatirkan kekalahan. Karena semakin tinggi tempat kita berada, tentu akan semakin sakit jika terjatuh.
Aku dan Encing Romli tidak banyak berbicara dan hanya bisa bersorak pelan saat Faruq mendapat poin. Aku melihat Encing Romli yang sesekali memejamkan mata dengan bibir yang tampak bergerak-gerak, melantunkan doa untuk kemenangan putra sulungnya itu. Atmosfer ketegangan semakin terasa saat Faruq kalah di babak pertama.
“Tenang Encing, masih ada babak kedua,” ucapku untuk menenangkan Encing Romli.
Saat babak kedua berlangsung, aku mendengar percakapan dua orang yang duduk di barisan depan. “Anak itu cara bermainnya cukup aneh, dan itu membingungkan buat lawan. Pukulannya nggak bisa ditebak,” ucap salah satunya, yang merupakan lelaki usia akhir tiga puluhan.
“Iya. Dia juga kelihatan punya pergelangan tangan yang kuat. Mengingatkan saya pada Sigit Budiarto. Dia punya bakat besar. Kalau dilatih dengan benar, dia bisa jadi atlet hebat,” ujar lelaki yang lebih tua.
Belakangan aku tahu, bahwa kedua orang itu adalah para pelatih klub lokal badminton yang sedang mencari bakat-bakat baru. Kedua orang itu sedang mengamati permainan Faruq. Mendengar perbincangan dua orang ahli dalam badminton itu, membuatku tersenyum penuh kebanggaan. Rasanya, seolah-olah akulah yang sedang dipuji.
Babak kedua berlangsung dramatis dengan saling kejar-mengejar poin. Faruq berhasil menang di babak kedua. Karena posisi kedua pemain seri, permainan pun dilanjutkan ke babak ketiga. Perasaanku makin tak karuan. Aku bangga dan bersemangat, sekaligus cemas dan tegang. Aku berdoa untuk kemenangan sahabatku itu.