PETRICHOR

Ratna Arifian
Chapter #7

Genta Kematian dari Negeri nan Jauh

Apa yang akan terjadi saat seorang kapitalis radikal ingin melipat-gandakan kekayaannya hingga batas maksimal? Maka yang terjadi adalah kehancuran ekonomi suatu negara. Begitu hebatnya pengaruh senjata yang dimiliki para spekulan ulung untuk mengeruk untung, dan membuat suatu bangsa kacau-balau. Seseorang dari negeri nan jauh, sedang memainkan genta kematian hingga mengaliri udara, lalu terbawa bersama angin dan terdengar sampai ke negeriku, Indonesia.

Saat itu terjadi, aku masih seorang gadis kecil yang tidak mengerti apa itu idealisme, nilai tukar mata uang, ataupun krisis ekonomi. Namun, aku bisa merasakan berbagai perubahan yang terjadi dengan orang-orang di sekitarku. Aku semakin sering mendengar orang-orang mengeluhkan harga barang yang menjadi sangat mahal, termasuk dari mulut kedua orang tuaku. Aku juga menyadari, semakin hari Roemah Liem tampak semakin sepi, bahkan di jam makan siang yang biasanya identik dengan antrean panjang di luar restoran. Kini, jangankan antrean, meja yang tersedia saja tidak pernah tampak penuh. Aku juga menyaksikan, bagaimana orang-orang mulai menjual harta benda mereka demi bertahan hidup sehari-hari.

Orang-orang menyebut situasi itu sebagai krisis moneter. Penyebab utama dari situasi itu memang ulah keserakahan dari para penganut ideologi kapitalisme. Namun, bukan itu saja yang membuat negeri ini menjadi begitu terpuruk. Orang-orang yang faham ilmu ekonomi menyebut, jika ulah para konglomerat tanah air dan juga korupsi di dalam pembiayaan perbankan, menjadi penyebab dahsyatnya gelombang krisis menyapu daratan yang subur. Tanah yang saat itu—kabarnya—sedang berada dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan angka kemiskinan yang menurun drastis.

Krisis paling berdampak kepada mereka yang sudah hidup di garis batas kemiskinan. Seperti kehidupan seorang wanita bernama Sari. Usianya sekitar 23 tahun, bertubuh kurus dan memiliki tatapan sendu. Suatu hari, ia datang ke Roemah Liem untuk meminta pekerjaan. “Tolong saya, Pak. Saya butuh kerja, nggak perlu gaji besar, yang penting cukup buat makan saya sama dua anak saya,” ucapnya pada Papa.

Aku tahu, saat itu Roemah Liem tidak butuh pegawai tambahan, karena Suksuk Chandra dan Encing Imas pun kadang hanya berdiam diri karena tidak ada yang dikerjakan. Keuangan Papa pun menurun drastis karena Roemah Liem yang sepi pengunjung dan harga-harga bahan makanan yang melambung.

“Maaf, saya mau tanya, kalau suamimu ada di mana?” tanya Papa.

Sambil menangis, Sari bercerita mengenai kondisi suaminya. Sang suami kehilangan sebagian kewarasannya setelah di-PHK dari pabrik tekstil, tempatnya mengabdi sejak usia remaja. Krisis moneter telah membuat pabrik itu nyaris bangkrut, hingga terpaksa memecat lebih dari setengah pekerjanya. Meskipun, suami Sari telah berusaha mencari pekerjaan lain, tapi dalam kondisi krisis, hal itu sangatlah sulit. Perjalanan suami Sari dalam mencari pekerjaan, justru membuatnya menemui banyak orang-orang sengsara di jalanan. Mereka bercerita dan menangis di hadapan suami Sari, hingga membuat jiwanya terguncang. Saat pulang ke rumah, suami Sari mulai meracau tak jelas, kadang tertawa sendiri, atau menangis sesegukan. Sari tak berdaya. Ia hanya bisa pasrah menerima kondisi sang suami.

“Kalau gitu, mulai besok kamu bantu-bantu di sini,” kata Papa.

Tangis Sari semakin kencang. “Makasih, Pak. Makasih banyak.”

Mungkin, Sari hanyalah satu di antara sedikit yang mendapat pertolongan dari orang baik seperti Papa. Sedangkan di sudut-sudut lain negeri, banyak lelaki dan perempuan kehilangan kewarasannya. Tak sedikit pula orang-orang yang mati kelaparan, serta bayi-bayi yang lahir kekurangan gizi. Sungguh, genta kematian yang berbunyi amat lantang itu, telah menjadi bencana di negeriku tercinta.

Lihat selengkapnya