Namanya Gibran Ahmad, bayi mungil yang tampak mengepalkan kedua tangannya seraya menangis kencang. Ia di kelilingi orang-orang yang tersenyum bahagia menyambut kelahirannya ke dunia. Segera setelah lahir, sang bapak—Romli Abdullah—melantunkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga kiri Gibran dengan lembut dan merdu. Bayi mungil itu pun mulai tenang dan berhenti menangis.
Aku menghampiri Gibran. Melihat betapa menggemaskannya bayi mungil itu, senyumku pun mengembang. Namun, kulitnya yang kemerahan membuatku cemas. Aku takut Gibran kecil merasakan sakit atau kedinginan.
“Kulit bayi memang masih tipis, jadi pembuluh darahnya kelihatan. Makanya warna kulitnya jadi merah-merah. Lama-lama, kulitnya juga akan semakin tebal,” terang Mama padaku. Aku pun berhenti merasa cemas.
“Ma, Nima juga ingin punya adik.”
Mama tertawa mendengarnya. “Mama terlalu tua untuk punya bayi lagi, sayang.”
Faruq yang tampak begitu gembira karena punya adik kedua, berkata padaku, “Nima... dia juga, kan, adik kamu. Annisa juga adik kamu.”
Annisa yang merasa namanya dipanggil, menghampiriku dan memelukku. “Iya juga, ya,” ucapku sambil membalas pelukan Annisa.
“Betul, Cici Nima,” ucap Encing Indah, yang meskipun tampak lelah, senyumnya menyiratkan kebahagiaan yang tak terkira.
Hari itu, Gibran lahir dengan selamat di rumahnya berkat kesigapan Faruq. Saat itu, di rumah hanya ada Encing Indah, Faruq, dan Annisa. Saat Encing Indah mulai merasakan kontraksi di perutnya, Faruq segera menitipkan sang ibu pada tetangga sebelah rumah. Lalu, Faruq berlari secepat mungkin menuju bidan terdekat. Jauh hari sebelumnya, Faruq telah diberi arahan oleh Encing Indah, supaya siap menghadapi situasi darurat itu. Setelah Encing Indah ditangani oleh sang bidan, barulah Faruq mengabari Encing Romli. Faruq berlari menuju rumah seorang tetangga yang punya telepon di rumahnya.
Aku ingat betul ekspresi Encing Romli saat menerima telepon dari Faruq. Raut bahagia begitu jelas terpancar dari wajahnya. Tak kalah dengan Encing Romli, Papa pun menunjukkan kebahagiaannya dengan bergegas menutup Roemah Liem, dan meminta semua orang untuk pergi ke rumah Encing Romli.
Suasana di rumah Faruq mendadak ramai, ketika kami tiba di sana. Tak lama kemudian, suara tangisan kecil dan melengking terdengar memenuhi udara sore itu. Tetes hujan yang menebarkan aroma petrikor ke udara, seolah-olah ikut menyambut sang bayi lahir ke dunia. Aku merasakan kegembiraan yang tak terkira.
Saat hari mulai gelap, semua lampu di rumah Faruq dinyalakan. Lampu-lampu itu tampak redup karena sudah lama tidak diganti. Setelah semua proses selesai, sang bidan pamit pulang.
“Berapa biayanya, Bu?” tanya Encing Romli pada sang bidan.