PETRICHOR

Ratna Arifian
Chapter #9

Kue Bulan dan Harmoni yang Terjalin

Jakarta, Tahun 1998

Gudang tua yang dipugar di pinggiran Jakarta Barat itu tampak seperti baru dibangun. Ukurannya tidak besar, juga tidak kecil, yakni seukuran lapangan badminton untuk partai ganda, ditambah area pinggir lapangan yang bisa menampung beberapa puluh orang penonton. Bangku penonton dibuat dengan material sederhana, seperti kayu dan semen. Tentu saja, itu tidaklah cukup untuk memberikan kenyamanan. Namun, bagi para pencinta badminton yang datang untuk menikmati pertandingan, hal itu bukanlah masalah.

Bagi para calon atlet yang menjadikan gudang tua itu sebagai tempat belajar dan berlatih, kesederhanaannya adalah wujud kemegahan dari ilmu dan pengalaman hidup yang berharga. Meskipun dikelola oleh klub lokal yang terus hidup berkat dukungan finansial dari para calon atlet, kemampuan pelatih dan fasilitas di dalam gudang tua itu, sangatlah layak untuk meningkatkan kemampuan para calon bintang masa depan. Ruang istirahat yang nyaman, fasilitas mandi dan toilet yang bersih, menjadikannya bak rumah kedua. Suasana yang penuh solidaritas dan kekeluargaan pun tampak jelas dari interaksi pelatih dan para calon atlet mereka.

Untuk pertama kali, aku menemani Faruq latihan bersama klub badmintonnya yang bernama Gantari Badminton Club. Klub badminton lokal yang cukup terkenal dikalangan para calon atlet, berkat reputasi pelatih sekaligus pendiri klub yang bernama Abet Ginting. Lelaki paruh baya dari suku Batak yang karismatik, dan punya intuisi luar biasa dalam mengenali calon bintang di dunia badminton. Pelatih yang mengenali bakat besar dalam diri Faruq. Pelatih yang membuat Faruq tersipu karena menyebut permainannya mirip bintang dunia badminton, Sigit Budiarto.

Abet Ginting, pernah menjadi pelatih di klub besar tanah air. Namun, karena konflik internal yang terjadi antara tim pelatih dan sponsor, membuat Abet Ginting memilih untuk mengundurkan diri dan mendirikan klub badminton sendiri. Seperti Ko Dharma, Abet Ginting pastilah seorang idealis tulen. Prinsipnya tidak akan goyah hanya karena pengaruh kekuasaan dan uang dari para sponsor. Ia memilih untuk berdiri sendiri agar terbebas dari segala aturan yang bertentangan dengan prinsipnya. Meskipun terpaksa harus meminta sokongan dana dari para anggota klub, tapi Abet Ginting tidak membebani mereka dengan biaya yang mahal, melainkan secukupnya saja. Itu pun digunakan untuk kebutuhan bersama, seperti untuk makanan, vitamin, peralatan dan untuk merawat fasilitas latihan. Sedangkan untuk ilmu—bisa dibilang—semua anggota mendapatkan lebih daripada dana yang harus mereka keluarkan.

Hari itu, aku meminta Ko Dharma untuk menemaniku menonton Faruq berlatih. Aku menggunakan kesempatan itu untuk memberikan dukungan semangat bagi Faruq, sekaligus mencuri waktu Ko Dharma yang berharga.

“Faruq makin hebat,” ucapku pada Ko Dharma. Saat itu, Faruq sedang berlatih tanding dengan sesama anggota klub.

“Oh, ya?”

“Iya. Mungkin karena dia ketemu sama pelatih dan lawan tanding yang hebat.”

Ko Dharma mengangguk. “Meskipun koko jarang lihat Faruq main, koko juga bisa lihat kalau Faruq sangat berbakat.”

“Wah... Nima jadi nggak sabar untuk lihat Faruq bertanding di tivi.”

“Iya, Nima. Kalau sudah dewasa nanti, Faruq pasti bisa masuk tim nasional.”

“Wah... seru banget! Kita bisa nonton bareng nanti.”

“Iya, koko juga nggak sabar.”

Faruq dan para anggota klub sedang beristirahat. Aku dan Ko Dharma menghampiri mereka dan membagikan kue bulan yang aku buat sendiri.

“Teman-teman kenalin, ini Nima sahabatku dan Ko Dharma kakakku,” kata Faruq memperkenalkan kami. Semua orang menyapa kami dengan ramah.

“Hebat kali si Faruq ni... ada yang temani latihan,” ucap Abet Ginting dengan logat bataknya yang khas.

Lihat selengkapnya