Sekolahku, SDN Al-Hikmah, letaknya cukup jauh dari rumah. Kalau pagi, biasanya aku diantar Papa atau Ko Dharma. Lalu saat pulang, aku dan Faruq dijemput Encing Romli atau Suksuk Chandra. Jalur yang aku lewati setiap pulang dan pergi selalu sama, yakni perumahan warga, lalu jajaran pertokoan dan pasar tradisional. Hari itu, giliran Suksuk Chandra menjemput kami dengan mobil Papa. Aku punya satu kebiasaan saat mobil sedang melaju, alih-alih mengobrol aku justru fokus mengamati jalanan. Beberapa hari belakangan, aku menyadari ada yang berbeda dari biasanya. Di beberapa titik lokasi, aku melihat adanya orang-orang yang berkerumun. Beberapa di antara mereka berperawakan tinggi, berbadan tegap dan berambut cepak. Mereka tampak bicara berapi-api, di hadapan para lelaki berusia muda. Setiap hari aku melihat pemandangan serupa, di lokasi yang berbeda-beda.
“Suksuk, mereka siapa, sih?” tanyaku pada Suksuk Chandra. Aku bertanya karena aku terus saja melihat sosok-sosok itu, selama perjalanan pulang.
“Maksud Nima siapa?”
“Bapak-bapak yang tampangnya serem.”
“Serem gimana?”
“Badannya gede, dan wajahnya kelihatan marah. Dia dikerumunin orang-orang.”
“Masa, sih?” Suksuk Chandra tak percaya. Sepertinya, ia tidak terlalu memperhatikan sekitar dan tidak menyadarinya. “Paling... mereka mau demo soal harga-harga yang naik.”
Saat itu aku tidak punya pikiran buruk, dan mengangguk setuju dengan jawaban Suksuk Chandra. Toh, aku hanya anak kecil usia sembilan tahun, yang meskipun tahu kebenarannya, tetap tidak akan mengerti. Ketika aku dewasa, dan berita mengenai sosok-sosok lelaki seperti itu bertebaran di media massa, barulah aku tahu siapa mereka.
Selain keanehan dari para sosok lelaki itu, hal lain yang tidak biasa pun terjadi satu per satu. Seperti saat Ko Dharma dan aku membeli minuman di lapak dekat area pasar, tiba-tiba saja harga dari minuman itu melambung berkali-kali lipat dari biasanya. Anehnya lagi, harga yang dipatok hanya berlaku untuk sebagian orang. Saat aku dan Ko Dharma hendak meninggalkan lapak penjual itu, ada pembeli lain yang datang.
“Teh botolnya, Bang.” Aku dan Ko Dharma mendengar suara seorang lelaki, sedang membeli minuman yang sama denganku. “Berapa, Bang?” tanyanya kemudian.
“Lima ratus rupiah,” jawab si penjual, yang merupakan lelaki usia akhir tiga puluh.
Karena terkejut, aku dan Ko Dharma saling pandang. Kami yang hendak beranjak pun, kembali menuju lapak si penjual. “Bang, kok, tadi Abang jual ke kita sepuluh ribu?” tanya Ko Dharma kesal.
“Terserah gua, dong. Gua yang jual, ya gua yang nentuin harga. Kalau nggak mau bayar, ya, nggak usah!” ujar si penjual sewot.
“Tapi, Abang bedain harga nggak kira-kira. Nggak gitu caranya jualan, Bang.”