Jakarta, 12 Mei 1998
Semua orang di rumahku panik. Papa menutup Roemah Liem dan mengajak semua orang berdoa di depan altar. Mungkin bukan kami saja yang cemas, tapi juga seluruh penjuru negeri. Sebab suasana sedang genting, karena demo mahasiswa skala besar sedang terjadi di Gedung Nusantara. Mereka menuntut tanggung jawab pemerintah atas terjadinya krisis ekonomi, dan meminta agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Mahasiswa Universitas Trisakti—termasuk Ko Dharma—turut serta dalam demonstrasi. Karena khawatir, Papa dan Mama sempat tidak memberi izin Ko Dharma untuk ikut, tapi Ko Dharma meyakinkan mereka bahwa itu adalah aksi damai, tidak akan ada hal buruk terjadi. Meskipun akhirnya memberi izin, Papa dan Mama merasa tidak tenang, hingga memutuskan untuk menutup Roemah Liem dan berdoa untuk Ko Dharma.
Berita di televisi dan radio, mulai memberitakan aksi demo besar-besaran itu. Selain berdoa, kami juga mengamati situasi melalui berita televisi. Siang itu, para reporter kompak memberitakan aksi damai yang di mulai dari Universitas Trisakti menuju Gedung Nusantara. Semua tampak berjalan dengan kondusif, hingga aksi tersebut diblokade oleh Polri dan militer.
Pihak mahasiswa mencoba untuk bernegosiasi, tapi tak berhasil. Situasi semakin memanas, saat aparat keamanan bergerak maju dan memaksa para mahasiswa untuk mundur. Kami yang tidak berdaya dan hanya bisa menyaksikan situasi di sana melalui layar televisi, mulai didera ketakutan. Lantunan doa tak putus kami panjatkan kepada Sang Buddha, memohon keselamatan bagi semua orang yang ada di sana.
Waktu pun berlalu, situasi di lokasi demonstrasi semakin tak terkendali. Aparat keamanan menghujani mahasiswa dengan tembakan. Mama menangis sesegukan, saat menyaksikan para mahasiswa panik dan berhamburan ke sembarang arah.
“Dharma, Pa. Dharma....” ucap Mama dengan suara bergetar.
Papa memeluk Mama. “Tenang dulu, Ma. Dharma pasti baik-baik aja.”
Sebelum berangkat tadi pagi, Ko Dharma berjanji untuk memberi kabar pada Mama dan Papa. Karena itu, dengan perasaan cemas, kami menunggu telepon dari Ko Dharma. Namun, meskipun waktu semakin larut, Ko Dharma masih belum menghubungi kami. Lalu, muncullah kabar mengenai tertembaknya mahasiswa Trisakti. Mama kian histeris. Aku pun menangis sesegukan, sembari memeluk erat lengan Mama.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam, saat Ko Dharma akhirnya pulang. Mama menghambur menuju pintu dan menangis sesegukan di pelukan Ko Dharma. Kami semua menangis.
Setelah semua orang tenang, Ko Dharma bercerita mengenai kerusuhan yang baru saja terjadi. “Maaf, Dharma nggak bisa telepon kalian. Dharma kesulitan mencari telepon umum. Kalaupun ada, kondisinya sudah hancur,” ucap Ko Dharma.
“Lalu... apa benar ada mahasiswa yang tertembak?” tanya Mama.
Air mata Ko Dharma menggenang. “Iya, Ma. Ada empat mahasiswa Trisakti yang tertembak. Dan salah satunya... sahabat Dharma.”
“Terus gimana keadaannya?” tanya Papa.
“Dia meninggal.” Air mata Ko Dharma tampak mengalir di kedua pipi Ko Dharma. “Dharma pulang, karena ingin memberi kabar. Dharma juga mau ganti baju, terus pergi ke rumah sakit. Dharma harus ketemu sahabat Dharma untuk terakhir kali.”
“Kalau gitu, biar Papa antar kamu ke sana,” kata Papa.
“Nggak usah, Pa. Dharma bisa pergi sendiri. Nanti di sana juga ada teman-teman Dharma yang lain.”
Raut kesedihan tergambar begitu jelas di wajah Ko Dharma. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamarnya. Tangisnya kembali pecah, saat ia menatap foto yang tergantung di dinding kamarnya. Potret sang sahabat yang gugur setelah berjuang demi banyak orang. Sang Pahlawan Reformasi yang namanya akan terus dikenang sepanjang masa.
***
Jakarta, 13 Mei 1998
Hari yang cerah tiba, saat sang mentari kembali menyapa. Namun, di dalam rumahku begitu suram, seolah-olah ada awan mendung yang menggantung di atas kepala kami. Kejadian semalam, membuat tubuh dan jiwa kami begitu lelah.
Encing Romli, Suksuk Chandra, dan Encing Imas, datang berturut-turut ke rumah kami. Mereka ingin segera mendengar kabar dari Ko Dharma. Setelah mengetahui kabar meninggalnya sahabat Ko Dharma, mereka pun ikut berduka.
“Roemah Liem kita tutup lagi sampai besok,” kata Papa pada ketiga pegawainya. “Nanti kalau Sari datang, suruh dia untuk pulang lagi.”
“Kalau gitu, karena kita terlanjur datang, gimana kalau kita bersih-bersih Roemah Liem dulu sebelum pulang,” kata Encing Imas.
“Ide bagus,” kata Suksuk Chandra.
“Siap!” seru Encing Romli.
“Kalau gitu, saya juga akan bantu,” ucap Papa.
Hari itu, aku memutuskan untuk bolos sekolah. Semalaman aku tidak bisa tidur. Meskipun Mama menyuruhku untuk diam di kamar dan tidur sampai siang, aku tak kunjung terlelap. Akhirnya, kuputuskan untuk membantu yang lain bersih-bersih. Aku membantu menyapu gudang bahan makanan, lalu mengelap lemari penyimpanan.
“Nima, nggak sekolah?” tanya Encing Romli.
“Nima bolos, Encing. Tadi malam Nima nggak bisa tidur. Ujian juga udah selesai, jadi nggak apa-apa kalau Nima nggak sekolah.”