Bandung, Tahun 2006
Waktu berjalan lambat untukku. Aku bagaikan osmia rufa di antara kawanan semut. Aku bergeming, meskipun di sekitarku bergerak sibuk. Teman-temanku hanyalah deretan huruf dan angka. Karena yang penting bagiku, hanyalah cepat lulus dan tidak harus pergi ke sekolah lagi.
Ini adalah tahun terakhirku di SMA. Aku menghabiskan masa sekolahku dengan monoton dan membosankan. Aku hanya berinteraksi secukupnya saja dengan orang-orang di sekitarku. Aku akan bergegas pulang, saat jam pelajaran selesai. Sedangkan teman-temanku selalu berjalan bersama, sembari berbincang dan tertawa. Mereka akan berkumpul di cafe atau warnet sebelum pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu, aku selalu berjalan sendirian, melalui gang-gang perumahan yang sepi. Aku seperti itu, bukan karena aku dirundung atau diasingkan, melainkan aku yang menjauhkan diri dari mereka.
Hari itu, gang perumahan yang selalu kulalui sedang diperbaiki. Aku terpaksa harus lewat jalan raya. Aku tidak merasa nyaman saat berjalan sendirian di tengah keramaian. Aku merasa cemas dan tidak bisa fokus. Beberapa kali, bahuku bersenggolan dengan bahu orang lain karena berjalan sambil menunduk.
Saat aku hampir sampai di depan gang rumahku, aku melihat rombongan para demonstran melintas di hadapanku. Mereka adalah para buruh pabrik yang menuntut kenaikan upah. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Aku dilanda serangan panik. Aku teringat pada kejadian buruk bertahun-tahun silam. Namun, aku segera menyadarkan diri dan berlari masuk ke dalam gang rumahku. Aku bergegas masuk ke Roemah Liem—yang kini sudah berpindah lokasi dan berukuran jauh lebih kecil dari sebelumnya. Ukurannya kini hanya sebesar warteg sederhana atau warung kelontong pada umumnya. Hanya ada beberapa pengunjung saja yang bisa makan di tempat, sedangkan yang lain harus membawa pulang pesanan mereka.
“Kamu kenapa, Nima?” tanya Mama, saat melihatku panik.
“Ada demo di depan, Ma.”
“Serius? Terus kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Mama cemas.
“Nggak apa-apa, Ma. Pas sampai sini, Nima udah tenang.”
“Ya, ampun. Kamu kenapa lewat jalan raya, sih?”
“Gang yang biasa Nima lewati lagi diperbaiki, Ma. Makanya nggak ada jalan lain.”
“Ya, sudah. Yang penting kamu baik-baik aja.”
“Eh... Nima udah pulang,” sapa Suksuk Chandra. Tangannya sibuk memutar kursi roda, agar bisa mencapai tempatku berada.
“Iya. Nima baru sampai.”
Tak lama kemudian, Encing Imas menyusul keluar dari dapur. “Nima, ayo kita makan siang sama-sama,” ajak Encing Imas.
Encing Imas dan Suksuk Chandra kini telah menikah. Papa dan Mama mengajak kedua pegawai setianya itu untuk tinggal bersama. Meskipun tidak memiliki hubungan darah, mereka sudah seperti adik kandung bagi Papa dan Mama, serta paman dan bibi, bagiku dan Ko Dharma. Encing Imas dan Suksuk Chandra tidak memiliki anak, tapi mereka menjalani pernikahan yang harmonis dan saling mencintai. Cinta Encing Imas pada Suksuk Chandra sejak awal perkenalan mereka, tetap bertahan meskipun Suksuk Chandra tidak lagi dapat berjalan dengan kedua kakinya.
“Mumpung lagi nggak ada pembeli, kita tutup sebentar biar bisa makan bareng,” kata Papa sembari berjalan keluar dari dapur.
Kini, hanya ada aku, Mama, Papa, Encing Imas dan Suksuk Chandra yang tinggal bersama. Sejak kerusuhan Mei 1998, kami memutuskan pindah ke Bandung. Kami tidak bisa lagi tinggal di Jakarta, karena kenangan dari tragedi itu terlalu menyakitkan bagi kami. Papa membeli rumah tua dengan empat kamar, dari uang hasil penjualan tanah milik Papa, termasuk tanah bekas rumah kami yang terbakar. Untung saja, Papa sempat menyelamatkan surat-surat berharga dari rumah yang terbakar itu. Meskipun tidak seluas rumah kami di Jakarta, rumahku yang sekarang pun sudah cukup nyaman, dan masih punya ruang untuk dijadikan warung makan sederhana.