Aku masuk ke kamar yang berada di samping kamarku. Kamar itu tampak bersih dan rapi. Meskipun jarang ditempati, Mama tetap rutin membersihkannya. Rak-rak kayu yang dipenuhi bermacam buku, disusun berdasarkan kategorinya. Ada buku sejarah, biografi tokoh-tokoh dunia, buku-buku pengembangan diri, dan—tentu saja—buku-buku tentang hukum. Andai saja koleksi sebelumnya tidak terbakar, buku-buku itu pasti sudah memenuhi seluruh ruangan kamar. Aku memeriksa buku-buku itu, dan mendapati satu buku yang tidak berada di sana, yakni buku favorit Ko Dharma—Catatan Seorang Demonstran. Ko Dharma pasti selalu membawa buku itu, ke mana pun ia pergi.
Sudah hampir setahun, aku tidak bertemu dengan Ko Dharma. Seperti mimpinya sejak dulu, yang ingin menjadi seorang pejuang, Ko Dharma berhasil mewujudkannya. Kini ia telah menjadi seorang advokat yang aktif dalam organisasi. Ko Dharma adalah anggota dari organisasi advokat yang memperjuangkan keadilan sosial bernama Gerakan Advokat Indonesia. Selain itu, Ko Dharma juga membentuk sebuah organisasi pemuda bernama Pemuda Tanah Air, yang berjuang untuk persatuan dan kerukunan antar etnis, agama dan gender. Ko Dharma ingin agar setiap orang tidak lagi membeda-bedakan seseorang dari asal-usul mereka. Karena Ko Dharma percaya bahwa perbedaan manusia, hanyalah baik dan jahat. Seperti nilai-nilai yang selalu Papa ajarkan pada kami sedari kecil.
Sejak Ko Dharma memberitahuku tentang impiannya, aku sudah menduga bahwa di masa depan, kami akan semakin jarang bertemu. Meskipun aku sudah terbiasa, sesekali aku masih sangat merindukan kehadirannya. Aku selalu merindukan masa kecilku, saat Ko Dharma mengajariku membaca dan berhitung, bersepeda bersama, dan pergi ke pasar untuk membeli aneka jajanan. Hal-hal yang tidak pernah lagi kami lakukan, karena Ko Dharma hanya bisa pulang beberapa hari dalam setahun. Ko Dharma memilih untuk tinggal di kota kelahirannya, Jakarta.
“Wah... Nima jadi pencinta buku, nih.” Suara dari balik pintu mengejutkanku. Ko Dharma tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar lebih dulu.
“Loh, Ko Dharma, kok, nggak ngabarin?”
“Kejutan!” ucapnya dengan senyum lebar.
“Nima kira, Koko nggak akan pulang-pulang.”
“Oh... jadi kamu masuk ke kamar koko bukan buat baca buku, tapi karena kangen.”
“Ih... pede banget. Biasa aja, tuh.” Aku menyangkal.
“Ya, udah kalau nggak mau ngaku. Koko tahu, kok, perasaan Nima,” ucapnya cengengesan. “Oh, ya. Koko bawain sesuatu buat Nima.” Ko Dharma mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Jajanan pasar, favorit kita!” serunya kemudian.
“Wah... makasih, Ko.” Aku segera merampasnya dari tangan Ko Dharma. “Ini buat Nima semuanya, kan?”
“Silakan, Nona Nima! Koko udah simpankan buat yang lain, kok.”
“Asyik!”
Selagi memakan oleh-oleh yang dibawa Ko Dharma, aku melakukan satu hal yang kini begitu kusukai, yakni mendengarkan Ko Dharma bercerita. “Kami punya anggota baru, pertukaran mahasiswa dari Korea Selatan. Dia sangat ekspresif saat bicara, dan senang bercerita tentang negaranya. Dia bilang, kalau dia kagum dengan Indonesia, karena bisa hidup rukun meskipun berbeda etnis, suku dan agama. Yah, meskipun pernah ada kejadian di masa lalu yang bertentangan dengan itu. Tapi... sekarang, semua sudah mulai berubah, kan.”
Aku mengangguk. “Itu semua, berkat orang-orang seperti Ko Dharma, yang nggak pernah lelah untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa kita adalah satu,” pujiku. Ko Dharma tersenyum.
“Oh, ya, ada satu lagi. Anggota perempuan dari Papua. Dia itu salah satu anak genius, ahli matematika. Dia punya IQ lebih tinggi dari Albert Einstein. Dia punya banyak prestasi nasional dan internasional di bidang matematika. Berkat prestasinya itu, seruan tentang kesetaraan yang digaungkannya, semakin mendapat atensi. Dia bergabung dengan organisasi pun, agar suaranya semakin didengar.”
“Wah... hebat! Gimana cara Ko Dharma bisa dapat anggota-anggota keren seperti mereka?”