Semburat jingga yang menghiasi langit sore itu, membuatku teringat pada masa kecilku. Keindahannya hanya membuatku mengingat memori indah tentang keluarga dan sahabatku, Faruq. Dulu, kami sering duduk berdampingan, sembari memandang langit sore, membicarakan hal remeh-temeh khas kanak-kanak. Bisa dibilang, aku dan Faruq berteman sejak sebelum kami dilahirkan. Mama dan Encing Indah mengandung dan melahirkan hampir di waktu yang bersamaan—hanya berbeda beberapa hari saja. Saat sedang mengandung, Mama dan Encing Indah sering menghabiskan waktu bersama. Berdiskusi ihwal kehamilan dan persiapan persalinan. Keduanya punya hobi yang sama saat mengandung, yakni memasak masakan khusus untuk ibu hamil. Kebersamaan mereka yang intens sejak itu, membuat aku dan Faruq terikat tali persaudaraan.
Aku dan Faruq memiliki sifat yang bertolak-belakang. Aku yang pemalu dan pendiam, bisa menghadapi kehidupan sosial berkat pribadi Faruq yang ramah dan mudah akrab. Faruq yang berani dan ceria, membantuku untuk mengatasi rasa takutku pada banyak hal. Sementara itu, bagi Faruq, aku adalah sahabat yang selalu siap untuk membantunya. Faruq seringkali memujiku sebagai anak yang baik hati dan perasa. Meskipun, kami memiliki latar belakang yang berbeda, kami saling melengkapi satu sama lain, dan saling menyayangi tanpa syarat. Kami menunjukkan bahwa persahabatan tidak mengenal perbedaan warna kulit dan asal-usul.
Saat aku terpisah dengan Faruq, sebagian dari diriku seakan-akan ikut menghilang bersamanya. Aku kehilangan minat untuk menjalin pertemanan dengan orang lain. Hidupku menjadi begitu sepi dan membosankan. Rasanya, aku sudah merindukannya selama seratus tahun. Panjang waktu yang belum tentu dimiliki manusia untuk hidup.
“Besok, koko berangkat ke Surabaya. Koko akan tunda pekerjaan untuk mencari Faruq.” Ko Dharma yang tiba-tiba duduk di sampingku, seketika membuyarkan lamunanku.
“Apa nggak masalah pekerjaan Koko tertunda?”
Ko Dharma menggeleng. “Nggak ada yang lebih penting dari keluarga. Iya, kan?”
“Makasih, Ko. Tapi... Nima cemas.”
“Cemas kenapa?”
“Selama ini, kenapa Faruq nggak cari kita? Apa mungkin, Faruq menyalahkan kita?”
“Nggak mungkin. Faruq nggak akan berpikir seperti itu.”
“Terus... apa alasan Faruq nggak mencari kita? Dia seperti sengaja menjauh dan nggak ingin ditemukan.”
Ko Dharma menatap ke dalam mataku. “Nima... kamu yang paling mengenal Faruq. Faruq nggak mungkin berpikir seperti itu. Dia pasti punya alasan lain. Mungkin dia juga nggak berhasil menemukan kita, atau dia sedang menghadapi kesulitan. Jangan dulu berprasangka, sebelum kita mendengar sendiri apa yang ada di pikiran Faruq.”
“Iya, Ko. Maafin Nima,” ucapku lirih.