Suara tangisan terdengar saling bersahutan di dalam ruangan serba putih. Sang pilar keluarga telah runtuh. Rumah yang penuh kehangatan itu, kini dinaungi awan mendung yang pekat. Air mata yang berderai, bak hujan di antara musim kemarau. Hidup mereka yang semula damai dan bahagia, tengah tenggelam dalam genangan pilu. Faruq—bocah sembilan tahun—yang seharusnya masih menikmati dunia kanak-kanak, kini harus memikul tanggung jawab sebagai pilar keluarga.
Encing Romli, meninggal dunia setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Organ-organ dalamnya rusak karena pukulan dan tendangan yang di arahkan ke tubuhnya. Orang-orang jahat yang menjarah dan membakar rumah Papa saat itu, enggan untuk berkompromi dan mengeroyok Encing Romli tanpa ampun. Orang-orang jahat itu, sungguh telah mati hati nuraninya.
Faruq yang di hari kejadian sedang berlatih di klub, diantar pulang oleh Abet Ginting. Hari itu, tidak banyak anak didik Abet Ginting yang datang untuk berlatih. Sepertinya, para orang tua sudah tahu bahwa kerusuhan akan terjadi, dan melarang anak-anak mereka untuk pergi ke klub. Hanya beberapa anak saja yang datang, termasuk Faruq. Beberapa jam kemudian, satu per satu dari mereka dijemput pulang oleh orang tua masing-masing. Hingga tinggallah Faruq seorang yang masih berada di sana. Saat situasi mulai tidak aman, Abet Ginting mengantar Faruq pulang. Abet Ginting pula yang mengantar Faruq dan Encing Indah menuju rumah sakit tempat Encing Romli dirawat.
Beberapa hari setelah Encing Romli meninggal, kakak lelaki Encing Indah yang tinggal di Bogor datang. Ia mengajak Encing Indah dan anak-anaknya untuk tinggal bersamanya. Meskipun tidak kaya raya, kakak Encing Indah hidup berkecukupan dan masih bisa menopang kehidupan sang adik, serta ketiga keponakannya.
Sementara itu, Faruq yang merasa telah menjadi beban bagi sang paman, memutuskan untuk berhenti dari latihan badminton. Faruq memilih untuk fokus belajar agar bisa lulus sekolah dengan nilai yang baik, lalu segera bekerja. Pekerjaan apa pun akan Faruq lakukan, agar bisa menopang kehidupan keluarga, menggantikan Encing Romli. Lelaki kecil itu pun dipaksa untuk dewasa oleh keadaan.
Namun, takdir telah berkata, bahwa Faruq harus menjadi bintang badminton di masa depan. Setahun setelah peristiwa kerusuhan, Abet Ginting datang untuk mengajak Faruq kembali ke klub dan tinggal bersamanya. Abet Ginting bahkan menawarkan diri untuk membiayai sekolah dan kebutuhan hidup Faruq. Dengan kata lain, Abet Ginting ingin menjadi orang tua asuh bagi Faruq.
Saat tawaran itu datang kepada Faruq, Abet Ginting telah mendapatkan sponsor untuk klubnya. Sebuah brand lokal suplemen kesehatan, tertarik untuk berinvestasi pada klub asuhan Abet Ginting itu. Abet Ginting yang seorang idealis itu pun mengajukan sejumlah persyaratan pada pihak sponsor. Kesepakatan kerjasama pun terjalin, setelah pihak sponsor menyetujui semua persyaratan itu.
Bagi Abet Ginting, Faruq adalah seorang murid yang istimewa. Ia yakin, suatu hari nanti, Faruq akan menjadi bintang besar di dunia badminton. Abet Ginting berempati pada nasib malang yang menimpa Faruq. Ia tak rela jika bintang besar itu harus padam sebelum bersinar. Itu sebabnya, Abet Ginting membuat keputusan besar untuk menjadi pelatih sekaligus orang tua asuh bagi Faruq.
Faruq yang merasa memiliki tanggung jawab besar di pundaknya, bertekad untuk berjuang sekuat tenaga dalam meraih impiannya. Ia berlatih lebih sering daripada yang lain, dan menjaga kondisi fisiknya sebaik mungkin. Ia pun rajin menonton pertandingan badminton, untuk kemudian menganalisa pertandingan itu bersama-sama dengan sang pelatih. Faruq hanya istirahat dan makan dalam porsi yang cukup. Sebesar itulah tekad Faruq untuk meraih mimpinya, dan membalas dukungan orang-orang yang menyayanginya dengan prestasi gemilang di masa depan.