Aku mengaitkan kedua tanganku di lengan Mama. Aku merasa tidak nyaman karena berada di kerumunun orang banyak. Orang-orang itu tampak antusias. Sebagian dari mereka terlihat kompak mengenakan baju merah-putih, dan membawa bermacam pernak-pernik. Ada balon tepuk berlogo turnamen, spanduk dan poster bergambar pemain idola mereka, serta beragam kalimat-kalimat dukungan di baju atau syal rajut yang mereka bawa.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Mama, yang cemas melihatku berpegangan erat padanya sembari menunduk.
“Iya, Ma, nggak apa-apa. Nima cuma gugup.”
Aku, Mama, Papa dan Ko Dharma, serta Encing Indah dan anak-anaknya, datang ke Istora Senayan untuk menyaksikan pertandingan final turnamen badminton junior Asia. Faruq membelikan kami tiket VVIP agar bisa menonton dari jarak paling dekat. Faruq dan Irawan melaju ke putaran final nomor ganda putra, setelah sebelumnya mengalahkan tim dari Malaysia. Di putaran final kali ini, Faruq dan Irawan akan melawan pasangan ganda putra dari Thailand.
Sayangnya, Encing Imas dan Suksuk Chandra tidak bisa ikut serta. Kondisi Suksuk Chandra tidak memungkinkan untuk pergi jauh, apalagi untuk menonton langsung di stadion. Meskipun begitu, aku yakin mereka berdua akan tetap menikmati pertandingan melalui layar televisi.
Sebelumnya, Faruq bercerita padaku asal-mula dirinya bisa menjadi wakil Indonesia dalam turnamen bergengsi itu. Dua tahun yang lalu, Faruq mengikuti kompetisi nasional untuk nomor tunggal putra, di bawah Gantari Badminton Club. Saat itu, Faruq mendapatkan perhatian banyak orang—termasuk para pelatih klub lain—setelah berhasil menjadi runner-up di turnamen tersebut. Salah satu yang menaruh perhatian lebih adalah idola Faruq, yakni Sigit Budiarto. Sama seperti para pelatih yang lain, Sigit Budiarto pun mengakui bahwa gaya permainan Faruq sangat mirip dengan dirinya.
Sigit Budiarto menyatakan keinginannya untuk merekrut Faruq, agar bergabung dengan klub asuhannya, lalu dipasangkan dengan anak asuhnya yang juga berbakat. Ia menilai bahwa kerjasama keduanya, akan menjadi kekuatan yang besar bagi squad merah-putih. Namun, tentu saja Faruq menolak karena dirinya ingin setia pada sang pelatih pertamanya, sekaligus ayah angkatnya—Abet Ginting. Ketika Abet Ginting tahu mengenai hal itu, ia justru ingin melepaskan Faruq dan menyatakan keinginannya untuk pensiun sebagai pelatih.
“Aku sudah tua dan ingin segera pensiun. Aku ingin menyerahkan klub kepada juniorku. Dan kau, Faruq, sudah waktunya kau berkarir bersama dengan klub besar. Mereka akan membantu kau sukses. Apalagi, dia idola kau dari kecil. Kapan lagi kau dapat kesempatan seperti ini. Kalau soal anak didik, kau pikir cuma kau saja yang kupunya. Ada banyak atletku yang berbakat selain kau. Jadi... kau terima saja tawaran itu,” ungkap Faruq, saat menirukan kalimat yang diucapkan sang ayah angkat. Kalimat itu membuat Faruq menangis haru seraya memeluk erat sang pelatih tercintanya itu.
Faruq pun memutuskan, menerima tawaran sang idola untuk bergabung dengan klub asuhannya. Faruq yang semula bermain di nomor tunggal putra, mulai menyesuaikan diri dengan latihan ganda bersama Irawan Putra. Namun, tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menjadi tim yang solid dan selaras. Lalu, dua tahun kemudian, Faruq dan Irawan dikirim ke Pelatnas untuk mewakili Indonesia di turnamen yang diikuti 14 negara Asia, hingga sampailah mereka ke putaran final.
Aku masih memegang lengan Mama, hingga akhirnya tiba di jajaran kursi VVIP, tempat kami akan menonton. Aku melepaskan lengan Mama dan mengamati sekelilingku. Aku tegang sekaligus takjub melihat para pencinta badminton yang mulai memenuhi bangku stadion. Aku yang semula lebih sering menunduk karena merasa tidak nyaman dengan keramaian, memberanikan diri untuk mengamati sekitarku. Lalu, aku mendapati sebuah spanduk besar yang memperlihatkan wajah Faruq, dibawa oleh sekumpulan penonton. Sepertinya mereka adalah para penggemar Faruq. Selain mereka, masih banyak pula yang membawa poster-poster dan kalimat-kalimat dukungan untuk Faruq dan Irawan. Meskipun baru memulai debut internasional, Faruq sudah punya cukup banyak penggemar, terutama perempuan. Mungkin, karena Faruq memang punya wajah manis dan sering tersenyum. Aku pun mengakui itu.
Pertandingan pun akhirnya dimulai. Faruq dan Irawan akan melawan pasangan dari Thailand, Pravat Kob Khun dan Thanom Nopadon. Menurut Faruq, kedua orang yang akan menjadi lawannya itu, merupakan para pemain junior terbaik di Asia, dan tidak akan mudah untuk bisa mengalahkan mereka.
Ketegangan bercampur antusiasme, begitu tergambar jelas dari wajah-wajah kami para pendukung Indonesia. Terlebih, saat pertandingan berjalan dengan begitu ketat. Kejar-mengejar poin terjadi di antara kedua tim. Aku melihat sang pelatih—Sigit Budiarto—ikut memberikan semangat kepada kedua anak didiknya itu. Menurut Faruq, Sigit Budiarto adalah sosok yang mampu menebarkan energi positif dan semangat membara, baik di dalam maupun di luar pertandingan.
Namun, perkataan Faruq mengenai sang lawan memang benar. Di akhir babak pertama, Faruq dan Irawan kalah dengan selisih skor yang tidak terlalu jauh. Di jeda babak kedua yang hanya berlangsung dua menit, Faruq melihat ke arahku dan melambai. Aku membalasnya dengan tersenyum sembari mengangguk. “Kamu pasti bisa menang!” ucapku kemudian. Aku mengucapkannya dengan pelan. Faruq pasti tidak bisa mendengarnya, tapi sepertinya ia bisa membaca gerak bibirku.
Sebelum babak kedua dimulai, sang pelatih memberikan pengarahan singkat kepada Faruq dan Irawan. Lalu, ia merangkul kedua anak didiknya itu untuk memberikan semangat.
Babak kedua pun dimulai. Sorak-sorai penonton menggema ke seluruh stadion. Alih-alih panik, aku justru merasakan getaran aneh di dadaku. Sepertinya, semangat mereka menjalar ke dalam diriku. Suporter badminton Indonesia memang terkenal sebagai suporter terhebat dalam menciptakan atmosfer semangat yang membara. Para pendukung Thailand yang hanya mengisi sebagian kecil jajaran bangku stadion, ikut merasakan dampaknya. Mereka juga tak mau kalah, dan meneriakkan yel-yel dukungan dengan penuh semangat.
Intensitas pertandingan semakin tinggi. Faruq dan Irawan hampir selalu berhasil menangkis serangan lawan. Keadaan kini berbalik. Bukan lagi tim Indonesia yang kewalahan, melainkan tim Thailand. Di akhir pertandingan babak kedua, skor menunjukkan hasil yang hampir sama dengan babak pertama. Namun, kali ini tim Indonesia-lah yang unggul. Keluargaku kompak bersorak untuk Faruq, sedangkan aku hanya menyunggingkan senyum seraya bertepuk tangan.
“Faruq... kamu hebat!” terdengar suara Papa yang berteriak penuh semangat, dengan tangan kanan mengepal di udara.
Babak ketiga pun segera berlangsung. Kedua tim tampak lebih berambisi dibandingkan dua babak sebelumnya. Tim Thailand menggempur tim Indonesia dengan serangan smash yang intens. Faruq dan Irawan tampak kewalahan, tapi selalu berhasil menangkis dan mengembalikan serangan pada lawan. Kedua pemain Thailand itu, terkenal dengan smash mereka yang sangat kuat. Namun, di sisi lain, Faruq dan Irawan terkenal dengan kemampuan defensif mereka. Kelebihan itu, sudah cukup untuk membuat tim lawan kelelahan.
Reli-reli panjang pun tercipta. Para suporter tampak menahan napas, kala terjadi sebuah reli terpanjang selama pertandingan. Ada lebih dari 30 pukulan terjadi dalam reli terpanjang itu. Reli itu akan mencapai 40 pukulan, jika saja tidak terhenti karena sebuah insiden. Faruq tiba-tiba jatuh setelah menangkis pukulan dari Thanom. Faruq tampak kesakitan, setelah kaki kirinya terkilir karena gagal bertumpu dengan benar. Kami semua terkejut dan cemas. Pertandingan dihentikan. Faruq segera mendapatkan perawatan dari tim medis. Pergelangan kaki Faruq ditempeli kompres es selama sekitar 10 menit.
“Apa Faruq baik-baik aja? Gimana kalau pertandingannya nggak bisa dilanjutkan?” tanyaku pada Ko Dharma.