Bandung, Tahun 2011
Roemah Liem penuh sesak oleh pengunjung. Antrean di luar pun tampak mengular. Running texts dengan pencahayaan terang yang menampilkan nama restoran kami, tampak mencolok mata orang-orang yang melintas di jalan raya. Beberapa tahun lalu, kami mulai pindah ke tempat yang jauh lebih besar, di jalan utama sebuah kawasan kota Bandung. Berkat rasa masakan Roemah Liem yang otentik, serta kualitas rasa dan bahan yang terjaga dengan baik, semakin banyak orang mengenal dan menyukai masakan Tiongkok khas Roemah Liem. Alhasil, warung kecil di dalam gang, bisa berpindah ke tempat yang lebih strategis dan ramai.
Restoran yang kami sewa itu, berukuran dua kali lebih luas dari Roemah Liem kami di Jakarta. Papa dan Mama pun, merekrut lebih banyak tenaga kerja untuk membantu operasional restoran. Kini ada belasan pegawai yang membantu kami sebagai juru masak, pramusaji, sampai petugas keamanan dan parkir. Sari, pegawai kami yang dulu bekerja di Roemah Liem Jakarta, kami rekrut kembali. Kini, mereka sekeluarga pindah ke Bandung. Bahkan, suami Sari pun ikut bekerja di Roemah Liem sebagai petugas keamanan. Kondisi mental suami Sari sudah stabil, dan bisa menjalani hidupnya dengan normal.
Meskipun sudah banyak yang membantu, Papa dan Mama masih sering ikut memasak di dapur. Selain memastikan kualitas masakan tetap terjaga, mereka pun terlalu mencintai pekerjaan mereka, hingga tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Sementara itu, Suksuk Chandra kini diberi tugas lain oleh Papa, yakni mengatur keuangan restoran. Lalu, Encing Imas bertugas untuk mengatur stok dan pembelian. Pembagian kerja di Roemah Liem kini jauh lebih profesional, layaknya sebuah perusahaan. Kami bahkan memiliki akuntan dan konsultan pajak agar pembukuan restoran lebih teratur dan tepat.
Selain Roemah Liem yang lebih semarak, rumah kami pun demikian. Ko Dharma yang berencana akan menikah, memutuskan untuk membeli rumah di Bandung. Ia ingin agar setelah menikah nanti, ia dan sang istri bisa dekat dengan keluarga kami. Keduanya cukup sering berkunjung ke rumah kami, dan membuat suasana rumah menjadi lebih ramai.
Saat kali pertama calon istri Ko Dharma datang berkunjung, suasana tiba-tiba menjadi riuh. Penyebabnya adalah kekaguman kami pada sosok calon kakak iparku itu. Bahkan, aku tidak butuh waktu lama untuk mengakrabkan diri. Mungkin, karena Ko Dharma seringkali bercerita mengenai calon istrinya itu, jauh sebelum kami saling mengenal. Calon istri Ko Dharma itu, adalah anggota Pemuda Tanah Air dari Papua—perempuan ahli matematika yang punya IQ lebih tinggi dari Albert Einstein.
“Nama saya Aldrin Magai.” Calon istri Ko Dharma memperkenalkan diri, saat kami semua berkumpul. Ia punya wajah manis, dan punya warna kulit eksotis yang memesona. Rambutnya ikal sepetiku, tapi lebih bergelombang dan tebal.
“Kamu cantik sekali Adrin,” puji Mama. “Kamu katanya masih kuliah, ya? Magister Matematika?”
“Iya, Tante. Tahun depan baru lulus.”
“Ma, Pa, rencananya kita mau menikah kalau Aldrin sudah lulus,” ungkap Ko Dharma.
Papa menyunggingkan senyum semringah. “Bagus itu. Om harap kamu cepet lulus, ya.”
“Iya, Om. Saya akan melakukan yang terbaik biar cepat lulus,” ucap perempuan manis itu seraya tersenyum.
Aku geleng-geleng kepala. “Pantesan aja Ko Dharma selalu cerita tentang Kak Aldrin. Ternyata pacarnya, toh.” Aku menggoda Ko Dharma.
“Dharma... Dharma... suksuk bangga sama kamu.” Suksuk Chandra ikut menggoda kakakku.
“Oh... jadi udah ngefans dari lama,” ucap Encing Imas, tak mau kalah.
Ko Dharma cengengesan. “Iya, Encing. Awalnya begitu,” aku Ko Dharma. Semua orang tertawa.
“Emang sekarang udah nggak ngefans?” tanya Kak Aldrin.
“Nggak, lah,” jawab Ko Dharma. Semua orang melotot ke arahnya. “Sekarang, kan, jadi cinta.”
Aku mencubit lengan Ko Dharma. “Geli banget.”
“Makanya kamu juga pacaran, gih! Biar terbiasa denger kata-kata sweet,” kata Ko Dharma.
“Iya, iya. Liat aja nanti!” kataku sembari cemberut. Lalu aku mengarahkan pandangan malu-malu pada Kak Aldrin. “Nima seneng banget, Kak Aldrin jadi pacar Ko Dharma.”