"Valt ingin membunuhku! Valt ingin membunuhku!" Kuteriakkan kalimat-kalimat itu sambil berlari-lari di aula sekolah. Tanganku sudah berkali-kali dicakar dan dipukul olehnya. Rasa perihnya setengah mati.
"Jangan lari!" teriaknya lantang. Ia mengejarku dengan salah satu temannya yang tak kukenal, seorang kakak kelas. Ia makin mendekat dan mendekat. Seharusnya aku sudah bisa pulang sekolah dari tadi, tetapi mereka terus menggangguku. Mereka tertawa riang mengejarku. Apa mereka pikir ini lucu?
"Dapat!" Valt berhasil menjambak rambut. Aku meringis kesakitan. Kutarik rambutku sendiri, berupaya mengurangi rasa sakiitnya.
"Lepas!" teriakku. Aku tatap ia dengan tatapanku yang paling tajam. Ia malah menertawakanku. Kawan Valt lalu mangambil HP yang ada di saku celananya dan mengarahkannya ke wajahku yang basah karena air mata.
"Senyum!" Klik! Cahaya terang dari benda persegi panjang itu memaksaku untuk memejamkan mata.
"Aku mau lihat!" teriak Valt. Orang itu lalu menunjukkan foto yang baru saja ia potret. Valt tertawa puas. Semoga ia hanya bercanda. Kumohon, Valt.
"Sebarkan ke semua orang, mungkin akan menyenangkan. Iya ‘kan, Valt?” Tanya orang itu sambil mengotak-atik HP-nya. Valt mengangguk keras. Tangannya masih menjambak rambut hitamku.
"Setidaknya lepaskan rambutku," ucapku datar, masih menahan rasa sakit. Ia menatapku kesal.
"Diamlah sebentar, cengeng!" Ia langsung tertawa dengan mulutnya yang lebar. Matanya tertuju ke HP kakak kelas itu. Valt bisa dibilang murid yang sangat tinggi di kelasku, seperti anak SMP. Dengan mudah ia mengintip HP kakak kelas sembilan itu. Entah bagaimana mereka bisa berteman.
Aku sudah tidak tahan. Dengan paksa kutarik kepalaku. Lepas! Sakit? Sangat. Beberapa helai rambutku rontok di tangan Valt.
"Hei!" teriaknya, lagi. Aku langsung saja lari dari mereka. Lari keluar dari sekolah, lari ke jalanan. Aku hanya ingin pulang. Sesampainya di trotoar, aku mengecek keadaan di belakangku. Kosong, tidak ada yang mengikuti. Aku tersenyum lega.
Langit tidak terlihat. Hanya awan hitam yang menggumpal. Lampu-lampu tidak menyala, membuat suasana jalanan agak mengerikan bagiku. Angin berembus kencang. Aku menyesal mengenakan rok hari ini. Tas ransel kupegang erat-erat.
Tiba-tiba semua menjadi putih, sebuah kilat. Aku tertawa kecil. Mengagetkan saja.
Sesuatu menepuk pundakku. Spontan aku menoleh ke belakang, mendapati Valt berdiri di sana.
“Maaf,” ujarnya lirih. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, berpikir bagaimana aku harus merespons.
“Tadi agak berlebihan,” ungkapku. “… Tapi aku baik-baik saja. Sungguh.”
“Dia yang minta, jadi kuturuti saja.” Ia tersenyum kecil. “Dia juga mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari padaku. Karena itu aku saja bersamamu, oke?”
Aku mengangguk pelan. “Kau akan menemaniku pulang?” tanyaku pada satu-satunya kawan yang kupunya di sekolah—juga rumah, sebenarnya.
Ia menggaruk tengkuknya. “Ti…dak. Ibuku sedang tidak ingin sendirian di rumah hari ini. Kau tahu dia.”
“… Baiklah. Sampai jumpa besok?” tanyaku lirih.
Senyumnya merekah. “Sampai jumpa besok. Jaga dirimu.” Ia terkekeh kemudian berlalu meninggalkanku sendirian. Akhirnya sendirian, lagi.
Beberapa detik kemudian, air mulai turun. Argh, kenapa harus hujan? Aku langsung berlari menyusuri trotoar. Rumahku masih jauh. Kalau aku pulang dalam keadaan basah, ayah dan ibu pasti marah. Untungnya hujan ini tidak terlalu deras. Tapi kalau aku berlama-lama....
"Ah!" Bruk! Aku terpeleset. Kuraba bagian kepalaku yang pertama kali bertemu dengan aspal. Agak bengkak, dan berdenyut tidak menyenangkan. Pun bajuku sekarang basah total.
"Menyebalkan," gumamku kesal. Tadi cakaran, sekarang aku terpeleset. Menyedihkan sekali.
"Apa kau terjatuh?"
Aku mendongak, menatap sosok di hadapanku. Sebuah senyum mengembang di wajahku.
"Kak Gash!" teriakku. Ia tertawa, kemudian berjongkok di hadapanku. Rambutnya sudah terlihat lebih rapih, tidak menghalangi wajahnya sama sekali. Ia mengenakan kemeja abu-abu bergaris hitam dan dasi berwarna merah polos. Ia bahkan menggunakan sepatu yang biasa digunakan para pria yang bekerja di kantor, seperti ayah beberapa kali. Dan ia sedang memegang sebuah payung yang bisa dibilang lumayan besar bewarna perak dengan sebuah logo mata lingkaran berwarna biru.
Syukurlah dia datang.
"Apa kabar, Erlyn?" Ia tersenyum. "Apa kau benar-benar... jatuh?"
"Iya," jawabku pelan, tetapi terdengar riang. Aku sangat merindukannya! Padahal baru tadi malam aku bertemu dengannya. Pada akhirnya aku berdiri.
"Aku sudah berdiri, Kak. Kakak berdiri saja," ucapku. Ia kemudian beranjak sambil menggoyang-goyangkan tangan kirinya yang pada akhirnya menyentuh pundakku.
"Di situ kau rupanya," ucapnya. "Kau sangat basah. Baru pulang sekolah?"
"Betul." Aku genggam tangannya yang kering, tidak dingin seperti tadi malam. Kami berjalan bersama. Payung besar itu dapat melindungi kami dari hujan yang menyebalkan ini.
"Apa kau ada waktu luang sore ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Iya…." Kenapa ia menanyakan hal seperti itu?
"Apa kau mau menemaniku makan di sebuah café?" ucapnya agak... ragu? Aku menganggukkan kepalaku dengan keras.
"Mau sekali!" ucapku riang. Ia tersenyum.
Sore itu hujan yang turun tidak terlalu deras. Kugenggam tangan Gash dengan sangat erat. Kuayun-ayunkan tangannya. Ia hanya tersenyum mengikuti ayunan tanganku. Kutatap Gash. Tubuhnya memang tinggi. Lebih tinggi dari kakak kelas yang mengejarku tadi, walau sepertinya mereka seumuran.
"Kakak rapi sekali sore ini," pujiku. Ia mengagguk sedikit.
"Yah.... Begitulah," ucapnya. Sepertinya berbicara dengannya agak sulit.
"Eh, begitulah? Maksud Kakak?"