(Lima tahun kemudian)
Semua murid sudah pulang, kecuali aku dengan satu orang yang duduk di depan kelas. Di luar sangat gelap. Hujan turun dengan sangat deras, kami terperangkap di sini. Lampu-lampu kelas yang menyala sangat terang membuat mataku agak perih. Kelas itu tidak terlalu dingin. Aku hanya duduk di tempat dudukku, paling pojok belakang di mana tidak ada jendela ataupun pintu.
Kupeluk erat cardigan biru tua lusuhku. Tas selempang bekas ibuku sudah kutaruh di pundak, tetapi aku masih belum berani berdiri. Kutatap rok hitam selututku beberapa saat, lalu kutatap murid yang ada di depan. Laki-laki itu... laki-laki yang kusukai sejak masuk SMP, sampai SMA ini. Rambutnya yang pirang selalu ia sisir rapih. Kulitnya terang, matanya berwarna kecokelatan. Kacamatanya yang tebal membuatku makin terpesona… yah, begitulah seleraku saat ini.
Mungkin sekarang waktu yang tepat. Aku berdiri dengan perlahan, mendorong kursiku ke dalam meja. Kudekati ia dengan langkah-langkah kecil. Kugenggam erat tali tas selempangku, gugup.
"Den—"
"Apa?" Ia, Dennis, menatapku tajam. Aku meneguk ludahku. Dia memang dingin kepada semua orang. Agak menyakitkan, tetapi... aku sudah terlanjur suka dengannya. Aku menundukkan kepalaku, wajahku sudah memerah.
"Aku...." Aku mendadak menggeleng-gelengkan kepalaku. Ah, aku tidak berani berbicara dengannya!
Dennis menghela napasnya panjang.
"Apa aku sudah pernah bilang kalau aku sangat membenci tatapanmu?" tanyanya pelan.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan. "Kau... tidak pernah," ucapku lirih.
"Aku sangat membencinya. Kau selalu menatapku dengan tatapanmu itu. Baik di kelas, kantin, atau di manapun. Mengerti apa maksudku?" Ia ambil tas ransel cokelat yang sedari tadi ada di sebelah mejanya.
"Aku duluan," ujarnya seraya menatapku tajam. Aku agak bergeser, membiarkan dirinya lewat. Ia menatapku sinis. "... Menyebalkan," ujarnya pelan, sepertinya itu gumaman yang tak sengaja kudengar. Ia membuka pintu kayu kelas lalu membantingnya keras-keras. Aku masih membeku di sana, menatap kursi Dennis. Aku tersenyum kecil, berusaha untuk menghibur diriku sendiri.
"Tidak ada apa-apa, Erlyn.... Tidak ada apa-apa," bisikku. Aku langsung saja duduk lemas di atas kursi Dennis. Secara tak sadar air mataku turun. Kukepalkan kedua tanganku erat-erat dan kutaruh di atas kedua lututku. Petir menyambar, menyembunyikan suara isakan tangisku. Aku menyukainya dari dulu, aku mengaguminya dari dulu! Tapi ternyata.... Aku menggigit bagian bawah bibirku.
"Aku sangat membencinya." Perkataannya itu terus terulang-ulang di kepalaku, menusuk hatiku.
"Erlyn, kau kuat," bisikku sambil tersenyum. "Apa kau menangis hanya karena ada anak laki-laki yang menolakmu?" Tanganku bergetar. Air mataku malah turun lebih deras, sama seperti hujan di luar. Aku menyeka air mataku berkali-kali, tetapi tidak kering-kering juga. Kuperhatikan hujan melalui jendela kelas.
"Kapan kau akan berhenti...?" Aku lalu melipat tanganku di atas meja Dennis, lalu menaruh kepalaku di atasnya. Petir menyambar lagi. Mungkin aku akan terperangkap di sini dalam waktu yang lama. Andai aku terperangkap di sini bersama orang itu.... Ke mana dia? Aku menggelengkan kepalaku pelan.
Ibu dan ayah pasti akan marah besar karena ini.... Aku tak peduli dengan itu sekarang. Aku tenggelamkan wajah mungilku di atas tanganku yang terlipat. Hangat.... Hangat dan nyaman.
Biarkan aku tenggelam dalam samudra kosong nan sunyi ini. Tanpa suara, tanpa gerakan, tanpa embusan napas. Lebih baik tenggelam ketimbang terapung bersama ribuan potong manusia tak berarti, bersama manusia-manusia yang bahkan tak pernah menatapmu.
"Ah!" Kubuka kedua mataku tiba-tiba. Aku langsung duduk dengan tegak dan menatap keluar jendela. Gerimis, tapi langit sudah sangat gelap. Amat sangat gelap. Kulirik jam dinding yang ada di depan kelas. Pukul setengah enam. Pukul setengah enam sore!
Aku langsung berdiri dan memasukkan kursi Dennis ke mejanya. Sekolah harusnya sudah kosong sekarang. Kenapa tidak ada yang membangunkanku? Dengan cepat aku keluar kelas. Lorong sekolah sudah gelap dan sepi. Hanya ada suara hujan dan suara kakiku yang sedang berlari. Aku lalu menuruni tangga sekolah menuju lantai dasar, tempat anak SD. Suara hujan semakin jelas terdengar. Aku taruh tas selempangku di atas kepala untuk menghalangi laju rintik hujan.
Jalanan sangat becek. Sesekali mobil lewat dengan lampu yang menyala. Aku berlari di atas trotoar, tak banyak orang berlalu-lalang. Aku menghela napasku panjang. Lama sekali rasanya berjalan ke rumah. Sepatu dan kaus kakiku sudah basah total, juga tasku. Semoga buku-buku yang di dalamnya tidak basah… seingatku semuanya telah kusampul dengan baik.
"Uhuk!" Kututup mulutku dengan tangan kananku. Cuaca seperti ini akan membuatku sakit. Atau justru aku yang berkeras untuk pulang yang akan membuatku sakit? Kulihat sebuah rumah kecil di sana, masih agak jauh dari tempatku berlari. Aku tersenyum lemas, akhirnya sampai juga. Sesampainya, kuperpendek langkah-langkahku. Kaki-kaki ini mulai kehilangan kekuatannya. Kugenggam gagang pintu besi yang dingin. Namun terbesit pikiran lain….
Apa aku benar-benar harus pulang? Aku tertawa kecil. Umur ini, masa-masa seorang anak ingin melakukan... “penyimpangan”. Yah, aku sudah lumayan biasa dengan hukuman-hukuman. Tidak ada makanan, tusukan jarum, pukulan, yah... hanya itu. Tidak terlalu menyakitkan lagi, sepertinya. Kukembangan senyum nakalku. Ah, sesekali aku juga ingin melakukan hal yang tidak baik seperti yang dilakukan perempuan lain di sekolah! Toh, jika aku berbuat baik juga, aku tetap akan ditusuk!
Kubuka pintu itu perlahan, tidak ada tanda-tanda kehidupan saat ini. Aku menaruh tasku di balik pintu, lalu mengambil payung kecil berwarna merah tua di pojok. Jangan pikir kalau aku akan langsung menerobos hujan, aku tidak sebodoh itu.
"Hatchim!" Mulut kecilku langsung kututup dengan tangan kananku. Aku mulai agak ragu dengan keputusanku ini. Maksudku, bersinku tadi sangat keras sampai-sampai kepalaku pusing. Kugeleng-gelengkan kepalaku.
“Tidak, Erlyn, kau harus coba… sekali ini saja. Aku bisa," bisikku. Aku pun membuka payung kecil itu sembari menutup pintu. Selesainya, kupandang keadaan depan rumah. Hujan masih berlangsung, jalanan sepi, dan aku menggigil karena dinginnya tempat ini. Secara tak sengaja kulihat tempat itu. Tempat itu... tempat aku pertama kali bertemu dengannya, Gash.
Aku mendengkus, berusaha mengaburkan bayangan sosok yang telah lama meninggalkanku itu. Aku mulai berjalan keluar dari rumah, berjalan di bawah air hujan yang terus turun bagai jarum. Aku memandang sekelilingku dengan datar. Seorang anak terlihat sedang mengintip di balik jendela. Saat ia menatapku, ia palingkan wajahnya. Bahkan ia tutup jendela itu dengan gordennya. Apa... dia takut kepadaku?
Hahaha... hahaha....
Bulu kudukku berdiri. Aku langsung menatap ke belakangku. Kosong, tidak ada satu pun makhluk di belakangku. Aku memeleluk badanku erat-erat. Suara tawa itu... Gash. Apa yang terjadi dengannya? Kurang lebih sudah lima tahun aku tidak bertemu lagi dengannya, dan… dan itu lama sekali.
Aku lanjutkan jalan-jalan sore yang tidak jelas ini. Aku benar-benar bingung sekarang. Apa aku kembali saja ke rumah? Aku geleng-gelengkan kepalaku lagi. Tidak, aku ingin keluar. Kutatap langit yang hitam. Apa sudah malam? Lampu-lampu memang sudah menyala dan perumahan kosong ini kian mengerikan. Namun sebentar lagi aku bisa saja sampai ke sebuah tempat yang terdapat banyak toko-toko kecil dan sebuah taman yang besar. Tempat di mana ia membawaku. Kubuka mataku dengan lebar sembari tersenyum senang.
"Seele Café!" ucapku dengan penuh semangat. Aku merogoh saku bajuku yang ada di balik cardiganku. Masih ada uang! Kuperlebar dan kupercepat langkahku. Mungkin, mungkin saja... Gash ada di sana.
Lampu-lampu yang menyala warna-warni terlihat sangat indah pada malam ini. Aku sangat mengaguminya. Yah, aku tidak pernah keluar rumah pada malam hari. Kecuali jika aku terpaksa tentunya. Hujan yang telah berubah menjadi gerimis ini mengundang banyak sekali orang. Ada bapak-bapak yang mungkin saja baru pulang dari kerja, ada ibu-ibu yang membawa anak-anaknya, hingga seorang kakek-kakek dan kekasih tuanya tengah mengobrol bersama dengan riang. Ini merupakan pemandangn yang sangat jarang bagiku. Aku tersenyum lebar, aku tak menyesal tidak langsung pulang ke rumah... yah, tampat itu tidak pantas kusebut rumah, kalua boleh jujur.
Berada di tempat yang sangat penuh dengan orang agak menyesakkan juga ternyata. Kututup payungku walaupun hujan masih turun. Setidaknya aku hangat di tengah lautan manusia.
Perlahan aku melangkah, aku merasa agak mual di sini. Ada banyak orang, aku tidak biasa dengan hal semacam ini. Aku dengan segera menyingkir dari trotoar, menempelkan tubuhku ke kaca-kaca toko. Aku terus berjalan. Sebelah pipiku agak menempel ke kaca. Terdengar olehku tawa anak kecil dari dalam toko. Mungkin ia kira wajahku ini lucu... atau aneh?
Aku menatap lurus ke depanku. Terlihat sebuah toko kecil di sebelah kanan trotoar, berwarna cokelat tua. Aku mempercepat langkahku, hampir menabrak seorang wanita. Untungnya wanita itu terus berwajah datar, haha. Kulihat toko itu, Seele Café. Tidak ada yang berbeda, hampir sama dengan yang waktu itu. Bedanya, hampir semua meja terisi. Hanya beberapa yang terlihat belum tersentuh oleh seorangpun. Dan aku melihat meja itu, meja tempat aku dan Gash minum cokelat hangat bersama. Kosong.
Kubuka pintu café itu, menyebabkan lonceng kecil di atasnya berbunyi. Yap, café ini ramai. Terlihat orang-orang bercakap ria seraya ditemani makanan-makanan kecil, juga minuman. Aku taruh payungku di tempat Gash menaruh payungnya dulu. Kupercepat langkahku, takut ada seseorang merebut mejaku. Aku tersenyum kecil, "Mejaku."
Aku tarik kursi meja itu. Aku langsung duduk, menempelkan kedua sikuku ke atas meja. Kuperhatikan suasana di luar. Ramai, sesak dan... bercahaya. Di luar, lampu-lampu terlihat seperti pengganti bintang dan kunang-kunang.
"Hei, kau ke sini!"
Tubuhku tersentak kaget mendengar perkataan itu. Aku menolehkan kepalaku ke sebelah. Perempuan pirang yang menyajikanku cokelat panas… terlihat tak menua sama sekali.
"Aku boleh duduk?" tanyanya. Aku mengangguk kecil. Dengan bersemangat perempuan itu duduk di hadapanku. Ia masih mengenakan seragam kerjanya, terusan cokelat tua selutut berlengan pendek. Nampan plastiknya ia tempelkan di dadanya. Ia menatapku gemas.
"Rambutmu memanjang!" ucapnya. Mata birunya menatapku lekat-lekat. Aku spontan menggenggam beberapa helai rambutku yang sudah sampai punggung.
"Aku... tidak sadar rambutku sudah sepanjang ini," ucapku pelan. Aku merasa agak malu berbicara dengannya.
"Ah, iya. Aku merasa tidak sopan sekali," ucapnya tiba-tiba. Dengan gerakan yang cepat ia mengulurkan tangan kanannya ke arahku. "Siapa namamu?"
Dengan tangan yang bergetar kugenggam tangannya, bersalaman. Genggamannya sangat kuat. "Namaku... E-erlyn...."
Ia menatapku kaget. "Ah, sama-sama diawali huruf e! Namaku Elle." Ia menarik kembali tangannya. "Aku terkadang mendengar Gash membisikkan namamu saat ia tidur," katanya sambil tersenyum.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. "Apa… apa aku tidak salah dengar?"
"Aku serius! Padahal kau masih sangat kecil saat bertemu dengannya.... Aku penasaran apa yang dia impikan!" ucapnya riang. Aku menatapnya aneh.
"Itu aneh!" sahutku dengan senyuman kikuk. Sangat aneh!
"Ah, aku yakin umur kalian tidak terlalu.... Ada yang berbeda sepuluh tahun, dan Gash tidak setua itu, kok." Senyumnya melebar. Tubuhku seketika merinding. Kupeluk tubuhku erat-erat. "Ngomong-ngomong, mau cokelat hangat? Aku yang bayar!" serunya.
Aku tersenyum. Nada bicaranya sangat menyenangkan, ia terdengar seperti orang yang selalu merasakan kegembiraan. "Boleh!"
Beranjaklah ia dari tempat duduknya. Ia tersenyum ke arahku dengan bibir merah mudanya, lalu meninggalkanku. Aku menatap tiap bagian café, sudah mulai sepi. Orang-orang telah meninggalkan mejanya, yang tersisa hanyalah remah kue dan bekas cangkir. Aku tersenyum kecil. Aku memainkan rambutku, bosan. Café ini hebat, menurutku. Pelayan-pelayannya sangat beragam, dari yang masih berumur belasan hingga seorang nenek-nenek yang rambutnya sudah memutih. Nyaman rasanya mereka semua bisa bergabung dan menjadi sebuah keluarga.
Keluarga.... Seketika aku teringat ayah dan ibu. Ah, lupakan mereka! Mereka hanya menyiksaku seharian, tidak pernah berhenti. Bekas luka di seluruh tubuhku rasanya akan terbuka lagi di saat aku memikirkan mereka.
Trek! Trek!
Aku melirik ke arah atas meja. Dua cangkir cokelat hangat ada di sana dengan uapnya yang mengepul.
"Satu untukku, satu untukmu. Oke?" Ia lalu duduk lagi di hadapanku. Kuraih cangkirku yang hangat. Kuhirup uap hangatnya yang menenangkan.
"Kak," panggilku.
"Hm?" Ia menatapku dengan penuh perhatian. Cokelat hangat miliknya sudah habis setengah.
"Kak Gash ke mana?" tanyaku.
Ia tertawa kecil. "Di masih bekerja, katanya," senyumnya.
Aku mengangguk pelan tanda mengerti. "Kapan dia ke sini lagi?"
Wajahnya berubah menjadi agak datar, senyumnya memudar. "Aku kurang tahu tentang itu...." Ia meneguk minumnya beberapa kali. "Ah, kau kelihatannya sangat merindukan dia.... Gash pastinya juga merindukanmu." Kali ini senyumnya hambar. Aku menyembunyikan wajahku dengan cara menundukkan kepala.
"Dasar gadis sok pemalu!" godanya, lalu terkekeh. "Ngomong-ngomong, kau jarang loh ke sini. Ada apa?" tanyanya penasaran.
"A-aku..." Aku harus jawab apa? Kalau aku bilang karena aku rindu dengan Gash, hasilnya pasti akan... memalukan. Kutundukkan kepalaku. "Aku baru saja ditolak oleh orang... yang kusukai."
"Aw...." Elle membelai rambutku beberapa kali. "Kau sakit hati?" Ia menatapku kasihan. Aku hanya terdiam menatapnya.
"Ah, kau tenang saja," ucapnya tiba-tiba. "Masih ada Gash!"