Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #5

- Fourth Rain -

Huft, sekolah.

Aku menyenderkan tubuhku ke loker besi yang berjejer menutupi dinding putih lorong sekolah. Lampu di atas sangat silau, memaksaku untuk menatap apa yang ada di bawahku. Novel fantasi yang tebal yang baru mau kubaca (kutemukan di pojok ruangan saat aku di ruang BK kemarin, Karena masalah nilai), sepatu kets yang sudah berlubang, celana jeans yang agak ketat... ayah tidak memperbolehkanku membeli pakaian lagi, dan terlihat bagian bawah jaket putih ibu yang sudah tidak dikenakan lagi. Retsletingnya kubiarkan terbuka, di sini agak panas. Kaus hitamku yang kebesaran melapisi bagian atas tubuhku.

Aku merasa penampilan ini terlalu jantan untukku. Yah, wajar saja sih. Image-ku sudah hancur bagini. Oh, kau mau tahu kondisiku sekarang? Aku orang pertama yang keluar dari kelas ketika ujian kimia barusan. Aku sudah memperhitungkan, nilaiku di bawah C, mungkin D, minus.

Krek! "Ah... kenapa harus berkarat?!" Blam!

Aku menoleh untuk menatap sumber suara. Seorang murid laki-laki yang... familiar. Ia tengah membuka tutup sebuah loker yang sepertinya miliknya. Rambutnya yang cokelat gelap, kulitnya yang kuning, dan mata kelabu. Tampangnya agak mengerikan. Sepertinya dia bisa marah kapan saja. Kancing-kancing kemeja lengan pendeknya dilepas, terlihat kaus longgar berwarna oranye di baliknya. Ada headset melingkari lehernya. Kenapa tidak ada guru yang mengambilnya?

"Oi, kau butuh bantuan?" tanyanya, entah ke siapa. Aku buka bukuku, berpura-pura sedang membacanya. Ini agak mengerikan.

"Hei, kau tidak mendengarku?" Suara seraknya terdengar sangat keras di telingaku, seperti....

Valt.

"Dengar tidak, sih? Kenapa tadi kau melihatku seperti itu?!" Ia mulai berjalan ke arahku, sial.

"Hei." Ia bersender di loker yang ada di sebelah kananku. Kusembunyikan wajahku dengan buku. Tanganku bergetar saking takutnya. Kenapa dia ada di sini!? Elle bilang, Gash....

Tangan kanan orang itu menarik pelan bukuku, memperlihatkan sedikit bagian wajahku. Ia terdiam menatapku.

"Erlyn?"

"Me-menjauh!" Kudorong tubuhnya dengan tangan kananku. Ia agak tersentak, tetapi pandangan anehnya masih tertuju kepadaku. Ya Tuhan, ada apa ini?! Dengan cepat aku berlari menjauhinya. Kupeluk erat novel tebal yang kubawa. Aku sudah senang dia hilang dari kehidupanku dulu, membiarkanku sendirian tanpa kebohongan-kebohongannya… tetapi kenapa dia harus kembali?

Suara kakiku yang bertemu dengan lantai terdengar dengan jelas. Aku sudah muak dengan rang tuaku dan teman-temanku yang lain. Ah iya, berita baru, mereka menjauhiku karena orang tuaku. Orang tuaku yang mengerikan dan menyebalkan bagi orang tua murid yang lain. Aku baru mengerti, harusnya aku sadar dari dulu. Mereka memang aneh. Dan sekarang ada hal lain yang akan membuatku makin terpuruk.

Aku berlari keluar dari sekolah. Aku tidak mau melihat makhluk itu lagi. Kabur dari sekolah sekali lagi tak mengapa, ‘kan?

Jalan raya lumayan ramai, dan gelap karena awan. Mobil-mobil terus melewatiku. Namun tidak banyak orang yang berjalan di trotoar. Novelku masih kupeluk dengan erat.

Mendadak suara petir terdengar. Aku menghela napasku panjang. Apa hujan akan turun?

Benar saja, sebutir air menyentuh pipiku. Langkah kupercepat. Aku agak menyingkir dari tengah trotoar, berlindung di balik atap-atap kecil toko yang tertempel di dinding.

Kleneng!

Pintu café favoritku kubuka. Dengan perlahan aku berjalan ke sebuah sofa kecil yang saling berhadapan dengan meja persegi di tengahnya. Di sebelahnya merupakan tempat duduk yang langsung tertempel ke kaca besar café. Aku taruh bukuku di atas meja lalu aku duduk di sofa merah itu. Agak sepi. Beberapa menit lagi sekolah akan bubar, ujian tadi pelajaran terakhir. Aku tersenyum lesu. Kulipat tanganku di atas meja, kubiarkan kepalaku beristirahat di atasnya. Kulihat pemandangan di luar. Hujan... dan aku dapat mencium aromanya dari pintu yang terus terbuka dan tertutup.

"Hei, kembali lagi?"

Aku mendongak. Elle tersenyum dengan bibir merah mudanya. "Apa kau mau bicara lagi?" tanyanya. Aku menganggukkan kepala lambat-lambat.

"Tolong cokelat panasnya dua," ucapku pelan. Ia langsung meninggalkanku. Kutegakkan posisi dudukku. Gaya jalan yang berlenggak-lenggok Elle selalu menarik perhatianku, dan orang lain. Apa dia tidak malu? Aku tertawa kecil. Kuperhatikan ruangan ini. Terlihat ada pemuda yang memandang Elle dengan pandangan yang... mengganggu. Ah, lupakan.

Kutatap lagi kaca besar café. Nama café ini tertempel di kaca itu. Seele Café... aku ingin tahu apa artinya.

Suasananya sangat sepi. Suara rintik hujan di luar sangat terdengar. Berisik, namun menenangkan. Tidak seperti sekolah yang ramai karena gossip para perempuan atau teriakan lelaki. Tidak seperti rumah yang ramai karena amarah ayah dan ibu. Aku tersenyum kecil.

Kleneng!

Aku melirik kea rah pintu. Bukan siapa-siapa. Ah, banyak juga yang datang. Aku menghela napasku panjang. Elle lama sekali. Aku buka buku novelku. Baru saja kubuka, tiba-tiba sensasi dingin muncul depanku.

"Bolos?"

Aku langsung menutup bukuku. Kutatap orang yang tiba-tiba duduk di depanku. Seorang pemuda dengan rambut basah tersenyum di sana.

"Dari mana Kakak tahu ini aku? Aku kaget!" pekikku, dengan suara agak rendah. Ia tertawa kecil.

"Kau yang terlalu mudah kaget, Erlyn. Aku tadi baru saja keluar dari dapur. Elle yang memberitahukan posisimu tadi."

Ia menyondongkan tubuhnya ke arahku. Alis kirinya naik.

"Parfum?" tanyanya pelan. Aku menggelengkan kepalaku. Aku langsung mencium bau kausku, tidak ada bau apa-apa. Aku mengernyitkan dahi, bingung.

"Aku tidak punya parfum," jawabku. Ia terdiam sebentar, lalu menyenderkan tubuhnya ke sofa.

"Oh, hai Gash!" Elle tiba-tiba muncul dengan dua cokelat hangat di nampannya. Ia letakkan kedua cangkir itu ke atas meja. Elle menatapku bingung.

Lihat selengkapnya