Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #6

- Fifth Rain -

Hujan turun dengan sangat deras. Kuselimuti tubuhku, hanya bagian atasnya. Selimut ini sudah terlalu kecil untukku. Sebagian betisku rasanya keras, sepertinya membeku. Entah mengapa malam ini sangat dingin... sangat. Aku menolehkan kepalaku ke arah jendela yang tidak bertirai. Buram, hanya butiran air hujan yang kulihat.

Aku duduk di atas kasurku. Kugeleng-gelengkan kepalaku dengan keras. Rasa kantuk sedari tadi tidak menghampiriku. Aku beranjak dari kasur, lalu berjalan mengarah ke jendela. Embun menutupi pandanganku ke luar. Kulap kaca jendela dengan lengan baju piyamaku. Agak buram, namun setidaknya aku tahu apa yang ada di luar sana.

Seorang pria tengah berdiri dengan jaket hitam yang basah. Kepalanya ditundukkan. Dia tidak bergerak sama sekali. Eh?

Hahaha... hahaha....

Aku tersenyum kecil. Seorang pria sedang berdiri di tengah hujan lebat. Itu mengingatkanku akan—

"Diam kau, wanita sialan!" Plak!

Dengan segera aku menoleh ke arah belakangku. Aku mengernyitkan dahi. Suara itu sangat keras dan terdengar agak serak. Sepertinya tenggorkan pria yang berteriak itu penuh dengan lendir. Tapi, siapa yang berteriak tadi? Apa ayah dan ibu berkelahi lagi?

"Ku-kumohon berhenti!" Kali ini suara... Ibu?

Plak!

Astaga, suara tamparan siapa itu? Dengan bergegas aku membuka pintu kamar, hampir membantingnya. Panik, itu yang kurasakan sekarang. Apakah ada orang lain di rumah selain aku dan orang tuaku? Kuharap tidak. Aku berdiri di depan pintu kamar, bingung. Apa yang harus kulakukan?

Prang! “Aku tidak tahu siapa kau, tapi PERGI!”

Suaranya berasal dari depan rumah. Dengan cepat kulangkahkan kakiku ke arah sana, ruang tamu.

Brak! Suara pintu depan yang tertutup. Sepertinya aku tidak akan sampai di waktu yang tepat. Kupertajam pendengaranku. Hujan telah berhenti. Segalanya jadi lebih mengerikan. Hawa mencekik terasa sangat kental, aku tidak tahan. Rasanya ingin sekali aku lari dari tempat ini.

"A-ah...." Desahan Ibu yang pelan terdengar dengan sangat jelas sekarang.

Pintu ruang tamu tertutup dengan sangat rapat. Jendela ruangan terbuka lebar. Cahaya rembulan yang menembus kaca jendela menerangi apa yang ada di tengah ruangan. Kuteguk ludahku. Apa yang sebenarnya terjadi!?

Ibu di sana. Kepalanya yang berdarah-darah tertancap oleh berbagai pecahan kaca yang sepertinya berasal dari meja yang ada di atasnya. Benar saja, meja bulat berkaki tiga itu pecah. Badannya juga berdarah-darah, tersayat hingga tulangnya… Aku menggigit bagian bawah bibirku dengan sangat keras, menahan rasa sakit. Melihat benda bening itu menembus kepala ibu.... Mataku sudah berkaca-kaca. Mungkin saja aku tertawa melihat nasib ibuku yang mengenaskan ini. Namun tidak. Aku.... Aku tidak sejahat itu, walaupun Ibu sudah menyakitiku berkali-kali.

Aku berlutut di sebelahnya, menatap tubuhnya yang kaku. Kedua tanganku kukepal dengan erat. Seraya menutup kedua mataku, aku membuka mulut....

"IBU!"

---

Aku duduk di sebuah kursi besi panjang yang mengilap. Sudah berjam-jam aku duduk, menunggu kabar ibu. Rumah sakit, ini tempat yang paling kutakuti dari kecil. Aku menundukkan kepalaku. Air mataku menetes, menodai lantai rumah sakit yang selalu terlihat bersih. Tuhan, kuharap ini hanya mimpi.

"Nona... Erlyn?"

Aku menolehkan kepalaku ke sebelah. Terlihat seorang dokter tua yang tampaknya ramah menatapku dengan wajah yang cerah.

"Ibu Anda tidak mengapa."

Aku mengembuskan napas lega. Kusenderkan tubuhku ke kursi. Kutatap lagi dokter yang berdiri di sebelahku.

"Ibumu belum terbangun saat ini. Sepertinya ia akan menginap di sini selama beberapa malam. Ngomong-ngomong, di mana ayahmu?"

Aku terdiam. Di mana ayah? Saat itu ayah tidak ada di rumah. Kupikir ayah sedang tidur bersama ibu di kamar.

"A-aku bisa berikan nomor teleponnya...," ucapku pelan.

"Ah, baiklah." Dokter berjas putih itu lalu mengambil selembar kertas dari kantung celananya dan pulpen yang disangkutkan di kantung kemejanya. "Siapa namanya?"

"Lucio, Lucio Vanuella."

Dokter itu lalu menuliskan nama yang kusebutkan ke kertasnya.

"Apakah kau akan pergi ke sekolah pagi ini?" tanyanya pelan. Aku menatapnya dengan tatapan sendu.

"Sepertinya tidak untuk hari ini...." Aku menunduk.

"Hei, Nak, berapa nomornya?"

"Oh, iya...." Kepalaku menjadi agak pusing dengan ini. Aku biarkan Ibu di tangan ayah dan dokter dulu. Sepertinya aku berjalan pulang saja.

Pagi itu sangat dingin, walau tak sedingin malam tadi. Kabut menyelimuti jalanan. Tubuhku yang hanya mengenakan pakaian tipis menggigil kedinginan. Kepalaku terasa sangat berat. Seketika aku ingat, aku tidak tidur sama sekali tadi malam.

Aku terus berjalan sendirian di trotoar yang sepi. Ini masih sangat pagi, matahari belum terlihat sangat jelas. Hanya sedikit cahayanya yang terlihat. Aku memeluk tubuhku seraya berjalan. Apa yang akan kulakukan hari ini? Sepertinya tidur, aku yakin akan itu.

Gila, jarak rumah sakit ke rumah ternyata sangat jauh. Mungkin karena tadi aku pergi dengan ambulans, rasanya jadi lebih cepat. Ah, butuh berapa lama aku mencapai rumah hanya dengan berjalan kaki? Rasanya kelopak mataku sangat berat, aku bisa tidur kapan saja... seperti sekarang.

Bruk!

"Ngh...." Kenapa aku sekarang menatap langit? Bagian belakangku terasa agak perih. Aku tidak tahan lagi. Kututup mataku dengan perlahan, membiarkan dinginnya pagi menyelimutiku.

Lemas. Aku merasa tubuhku sudah hilang. Gelap, aku tidak tahu di mana diriku sekarang. Lalu aku melihatnya, Ayah dan Ibu. Mereka tersenyum, menatapku. Senyuman dan tatapan yang hangat. Mereka bergandengan tangan, suatu hal yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Mereka selalu kompak... dalam hal menyakitiku.

Ayah, Lucio Vanuella. Ibu, Celena Vanuella. Menikah dengan bahagia.... Namun apakah mereka sadar saat melakukannya?

Ibu menikahi orang yang salah. Seorang pria yang kejam. Kenapa?

Aku ingat malam itu, ibu melakukan sebuah kebaikan. Melahirkanku. Kata guru TK-ku dulu, Ibu dan Ayah tersenyum saat menyambutku ke kehidupan kalian.

Itu katanya....

Aku menutup wajahku, berusaha untuk menghindari kebohongan mereka. Mereka seharusnya menyayangiku.... Aku menggelengkan kepalaku perlahan. Kuseka air mata yang tiba-tiba sudah menetes keluar.

Lihat selengkapnya