Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #7

- There's no Rain -

"Jangan dekati dia. Mengerti, Erlyn?"

"Tenang, aku hanya sedang letih saja setelah tugas. Aku tidak marah kok."

... Cup!

"Egh!" Badanku tiba-tiba tersentak. Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Mengapa aku ingat kejadian itu?

Terasa dinginnya udara malam membelai wajah dan rambutku dengan kasar. Aku mengangkat tangan kananku lalu mengusap dahiku, tempat Gash... lupakan. Kutundukkan kepalaku, aku merasa agak aneh. Pikiranku pecah, tidak karuan.

Lampu-lampu jalanan bergerak mundur, cahayanya terlihat agak tertinggal sehingga membuat mataku agak perih. Pemandangan indah yang sangat jarang kulihat. Jujur, ini pertama kalinya aku menaiki sepeda motor. Mobil saja baru sekali.

"Jangan lepas!" Suara tegas itu mengagetkanku. Aku meneguk ludah. Dengan segera aku tarik kembali jaket Valt. Hanya jaketnya, aku tidak ingin lebih dekat lagi. Aku mendongak, menatap rambut Valt yang berkibar tertiup angin. Rasanya agak janggal, kenapa aku mau-mau saja menerima permintaan manusia setengah monster ini? Aku mendesah pelan. Kutempelkan dahiku ke punggung kerasnya yang menyebalkan, semoga ia tidak keberatan.

"Tenang saja, sebentar lagi sampai."

Aku terdiam. Dia seperti membaca pikiranku, dan aku tidak menyukainya. Di balik suara mesin motor, aku dapat mendengarnya tertawa kecil.

Tak sampai satu menit, terlihat rumah putih besar yang berisik. Lagu dimainkan dengan keras, cahaya terang keluar dari lampu taman dan tentunya isi rumah itu. Mobil-mobil dan barisan motor besar terparkir di depan rumah itu, hampir menutupi jalan. Suatu hal yang salah.

"Turunlah...."

Dengan segera aku menuruni motor Valt. Kakiku bergetar, entah kenapa. Geli. Valt lalu memarkir motornya sembarangan, lalu menarik tangan kiriku dengan paksa. Aku hampir terjatuh karenanya. Parahnya, tangan Valt berkeringat.

Di taman depan rumah terlihat pasangan yang tengah... aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku tatap wajah Valt, datar. Kutundukkan kepala sehingga daguku menyentuh dadaku. Aku merasa sangat tidak nyaman di tempat seperti ini.

Valt terus menarik tanganku, membuatku merasa seperti anak kecil yang bisa hilang kapan saja. Puluhan manusia kami lewati di dalam rumah itu. Mereka aneh. Menari-nari, menyanyi, bercakap-cakap dengan suara yang keras, mengganggu.

"Tenang saja, kita akan ke belakang. Tempat yang sepi," ujar Valt santai. Aku terdiam mendengarnya. Tiba-tiba aku merasa hal buruk akan terjadi bila aku bersamanya.

Pintu taman belakang rumah dibuka, memperlihatkan apa yang ada di sana. Aku menatap pemandangan halaman itu takjub. Danau, ada danau raksasa di sana. Cahaya bulan terlihat ada di danau yang tenang itu. Terlihat sabitnya yang sempurna, menakjubkan.

Valt menarik tanganku lagi. Kami lalu berjalan mendekati danau itu. Aku menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Kenapa tidak ada orang? Apa karena musiknya terdengar lebih keras di dalam rumah? Kuperhatikan sekelilingku. Deretan rumah ini tidak diberi pembatas, tidak ada pagar ataupun hal lain. Dan, ternyata satu baris rumah ini melingkari danaunya.

"Kau pasti tidak mengira ada danau di sini," ucap Valt pelan, yang anehnya tidak terdengar seperti sindiran. Aku mengangguk. Aku memang berpikir tempat ini tidak punya hal seperti danau atau sungai.

Valt lalu duduk di atas rerumputan, hanya beberapa meter dari danau. Kakinya diselonjorkan. Aku duduk di sebelahnya, kaki dilipat. Aku menoleh ke arahnya, ia menatap danau itu dengan mata yang agak sayu.

"Jadi, kenapa...."

"Kenapa aku membawamu ke sini?" ucapnya, memotong perkataanku. Aku mengernyitkan dahi, kesal dengan sikap tidak sopannya. Kulipat tanganku.

"Maaf, kau itu kalau bicara lambat dan pelan." Ia tersenyum lebar. Kupalingkan wajahku ke danau, terlalu malas untuk menatap wajahnya.

"Begini, Erlyn...." Mendengarnya, aku langsung menolehkan wajahku dan menatapnya dengan penuh perhatian. Ia tersenyum kecil.

"Aku... mau minta maaf."

Aku menaikkan sebelah alisku. "Minta maaf kenapa? Karena kau monster dan meninggalkanku?" tanyaku dengan nada yang polos. Ia langsung terdiam.

"Ah, aku monster di matamu ya...." Ia menggaruk-garuk kepalanya. Takut, kutatap rumput hijau gelap yang ada di bawahku.

"… Tidak juga sih," gumamku pelan.

"Maaf," ucapnya pelan. Kutatap dirinya, sekarang ia menunduk. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam.

Ia mengangguk pelan. Sebuah senyum seketika terukir di wajahnya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya, tangan direntangkan. Ia menatap ke arah langit yang kosong. Aku tertawa kecil. Kuseret tubuhku ke sebelahnya, menghadapnya.

"Oi, boleh cerita sedikit?" tanyanya.

"Tentu," ucapku pelan.

Lihat selengkapnya