Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #8

- Sixth Rain-

Jujur, aku yakin hari ini akan menjadi hari yang buruk.

Aku menyisir rambutku dengan jari tangan, kasar seperti biasa. Rasanya mataku sangat perih, entah karena akhir-akhir ini aku sering menangis atau aku kurang tidur. Aku menghela napas dalam-dalam, menahannya, lalu mengeluarkannya.

Mungkin suasana di rumah tidak semengerikan dulu Karena ibu telah pergi, tetapi sekarng segalanya makin mencekam Karena ayah.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Aku terlalu banyak pikiran sepertinya, aku butuh sesuatu yang menenangkan hati. Seperti...

... Gash?

Aku meneguk ludahku. Kupukul kepalaku berkali-kali. Ini sangat menyebalkan! Kenapa aku memikirkannya di saat aku mulai membuka diri untuk orang lain? Aku ingin menangis, tetapi sepertinya air mataku sudah habis. Kutatap boneka panda yang ada di sebelahku. Boneka kecil, manis, lucu, tersenyum ke arahku. Kupeluk boneka itu, boneka pemberian Valt beberapa hari yang lalu.

Ah iya, padahal aku masih belum menjawab pertanyaan itu…. Sampai sekarang, aku masih temannya.

Rasanya hatiku sangat tidak nyaman pagi ini. Aku belum mandi, belum sarapan, belum apa-apa. Aku bahkan hanya mengenakan celana dalam dan kaus lusuh yang sudah kekecilan.

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Langsung kututup tubuhku dengan selimut. Ayah, Ayah menatapku sambil tersenyum.

"Bicara denganku beberapa menit lagi. Ayah tunggu di ruang makan!"

           Pintu langsung ia banting. Saking kerasnya, pintu itu tidak tertutup.

"A-ah...." Mulutku terbuka. Jujur, sekilas aku bahagia melihat wajah Ayah tersenyum tadi. Namun... pastinya Ayah tersenyum akan suatu hal yang buruk.

Aku langsung menanggalkan pakaianku, lalu mengenakan kaus v-neck merah jambu yang terasa agak ketat dan celana jeans yang kepanjangan. Sepertinya aku akan mandi setelah bicara dengan Ayah.

Sebelum memasuki ruang makan, aku mengintip di balik dinding. Ayah terlihat sangat senang. Ia tengah membaca koran. Kopi hitam terletak di hadapannya. Aku melangkah pelan ke arahnya, kemudian duduk di sebelahnya.

"Kau tahu apa?" tanya Ayah tanpa perlu melihatku. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Jantungku berdegup dengan cepat. Mataku memperhatikan Ayah dengan penuh awas, takut kalau tiba-tiba Ayah melayangkan tinjunya ke arahku.

"Ma-maksud Ayah?"

"Bagaimana sekolahmu?"

Aku memandangnya kaget. Jujur, aku tercengang mendengar pertanyaan Ayah.

"Be-begitulah sekolah, haha." Aku hanya bisa tertawa canggung. Senyum Ayah melebar, tetapi pandangannya tetap ke apa yang ia baca.

"Tidak enak, ya?"

Aku terdiam sebentar. Apa sebenarnya ayah tahu kondisiku di luar sana? Kukira ia tidak perhatian sama sekali. "Iya...."

"Kau tidak usah sekolah saja kalau begini...."

"Ma-maksud Ayah?!" pekikku kaget.

Anehnya, ayah tertawa. "Lupakan. Erlyn sayang Ayah?"

Aku mengepalkan kedua tanganku. "Ah, tentu aku sa-sayang Ayah!" ucapku seraya tersenyum paksa.

"Haha, bagus. Erlyn ingin membuat Ayah senang?" Ia menoleh ke arahku. Jantungku berdetak jauh lebih kencang, rasanya sakit. Wajah ayah terlihat mengerikan. Aku mengangguk pelan menanggapinya.

"Nah, Ibu kini sudah tiada…." Ayah membenarkan kacamatanya, lalu melanjutkan perkataannya. "Sejak itu, segala hal jadi susah. Tapi di sisi lain menjadi bagus juga."

Aku mengerutkan dahiku. "Maksud Ayah?"

Senyum Ayah melebar. Ayah langsung mencengkram lengan kananku dengan sangat kuat.

"Keluar, buat Ayah bangga."

---

Aku belum bisa memahami yang baru saja terjadi.

Angin bertiup dengan sangat kencang. Awan berwarna gelap sudah bergumpal di atas. Kupegang tas ranselku erat-erat. Air mata menuruni pipiku. Aku menundukkan kepalaku.

Ayah masih seorang monster.

Aku melangkahkan kakiku yang terasa sangat berat. Kutolehkan kepalaku ke belakang, menatap pintu rumah yang sudah terkunci rapat. Aku menghentikan langkah. Kupukul pintu itu sekeras mungkin, dan aku segera menyesalinya. Kini tangan kananku luka, sedikit. Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan kesal.

Bukan, ini bukan kesal.... Aku sedih. Atau kecewa? Ah, aku sendiri tidak paham.

Aku mengusap darahku ke celana. Perih, tetapi sepertinya tak mengapa. Jadi sekarang.... Kutatap langit yang gelap. Ke mana aku akan pergi? Aku menggembungkan pipiku. Aku hanya tahu satu-satunya tempat untuk menenangkan diri....

Lagi-lagi, Seele Café.

Ke mana lagi? Tidak mungkin aku ke rumah Valt. Itu... memalukan. Aku bukan jenis perempuan yang berani menetap sebentar saja di rumah teman laki-laki. Memikirkannya saja aku geli.

Perjalanan kulalui sambil menundukkan kepalanya. Rasanya aku tidak berani menunjukkan wajahku ke orang-orang... kecuali beberapa orang tertentu. Dan, siang ini lumayan dingin. Matahari sepertinya belum nampak dari pagi. Ah, sebena—

Suara halilintar menusuk gendang telingaku.

Tuhan, langit baru saja mengagetkanku sekaligus memberikan hadiah yang luar biasa. Hujan. Spontan, aku langsung menggunakan tasku untuk melindungi diri dari air hujan. Tanpa pikir panjang, aku berlari menyusuri trotoar. Entah mengapa, rasanya aku berlari di tengah hutan yang gelap. Padahal kanan kiriku rumah-rumah tak berpenghuni. Dan aku merasa seperti orang yang... menyedihkan.

Toko permen buka, tetapi tidak ada anak kecil di dalamnya. Taman sudah penuh dengan kubangan air. Trotoar penuh dengan air yang mengalir. Orang-orang menunduk saat berjalan di bawah payung....

Lonceng pintu café terdengar lemah di telingaku. Sepertinya aku agak pusing menerobos hujan ini. Tas kupeluk seerat-eratnya. Aku dapat melihat tanganku agak bergetar. Rasanya seperti anak kucing yang nyaris mati kedinginan. Hampir seluruh tubuhku basah, terutama kaki dan rambut. Air dari rambutku terus menetes ke lantai... semoga aku tidak memberatkan siapa pun di sini. Ah, aku tolol sekali.

Untungnya café sepi. Sangat sepi, kelihatannya hanya ada aku di sini. Suara hujan di luar mengganggu suara musik yang tengah diputar. Terdengar menyedihkan.

Perlahan aku menuju ke salah satu meja yang bersofa panjang (tidak ada yang menggunakan kayu), nyaris tepat di tengah Seele Café. Aku duduk di sana dengan jantung yang berdebar-debar, takut dimarahi oleh seseorang di sana. Tas masih kupeluk. Kutundukkan kepalaku, menatap lutut dan tasku yang basah.

"Kau basah sekali."

Aku menoleh, melihat seseorang berambut merah kecokelatan menatapku aneh dengan sebuah handuk di tangannya. Aku hanya bisa menatapnya dengan mata lebar. Ia langsung saja mengeringkan rambutku dengan handuk itu.

Lihat selengkapnya