Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #9

- First Storm -

Lantai kayu, dinding yang dicat berwarna krem, dan hiasan berupa bunga-bunga plastik di tiap sudut ruangan. Aku bisa membayangkan Gash meraba-raba seluruh bunga di sini dengan kedua tangannya... dan itu terdengar menggelikan. Apartemen Elle terlihat seperti apartemen orang kaya yang tidak tahu bagaimana cara menghabiskan uang dengan baik.

Sepertinya Gash memiliki kamarnya sendiri. Dia tadi langsung masuk ke sebuah ruangan tanpa menunggu kami masuk dan membanting pintunya keras-keras. Kami, aku dan Dash, disambut dengan teriakan Elle.

"Entah kenapa, dia selalu begitu," ujar wanita itu. Senyumnya tidak menghilang. Kini aku melihat Elle dengan pandangan yang berbeda. Elle lebih terlihat seperti seorang ibu. Celemek berwarna cerah, rambut kacau balau....

"Masuklah, aku akan membuatkan teh untuk kita semua. Dash, kau yang kunci pintu!"

Dash langsung berjalan cepat ke ruang tengah, mengempaskan tubuh kurusnya ke sofa, lalu mengisyaratkanku untuk duduk di sebelahnya. Dapat kudengar Elle mengerang. Aku pun duduk di sana, merasa seperti makhluk aneh dari dunia asing. Kaki kurapatkan, rasanya tempat ini agak dingin. Sofa yang kududuki sangat besar, menurutku. Jika aku bersandar, kedua kakiku tidak akan dapat menyentuh lantai.

Aku melirik ke arah jendela. Langit terlihat lebih gelap, sepertinya malam sudah tiba. Dash menutup mulutnya, menguap. Wajahnya tampak agak letih.

"Kak Elle, di mana—"

Suara petir memotong perkataannya. Beberapa detik kemudian, Dash tertawa. "Sialan," gerutunya.

"Hei, kau bilang apa tadi Dash?!" teriak Elle dari ruangan sebelah.

"Di mana remot televisinya?!" balasnya.

“Pertama-tama, katakana di mana kau menyembunyikan satu set gigi favoritku?” Elle muncul dengan teko kaca berisi teh di tangan kanannya, dan dua gelas di tangan kirinya. Ia menaruhnya di atas meja kopi. Ia pun duduk di sebelahku, membuatku terhimpit di antaranya dan Dash. Dash memasang wajah risihnya.

“Satu set gigi… palsu?” bisikku.

Dash menaikkan sebelah alisnya. “Err… ya, gigi asli.”

"Aku tidak tahu, Dah," jawab Elle. Ia menuangkan teh ke dua gelas keramik yang dibawanya tadi. "Aku jarang sekali menonton televisi. Kau yang biasanya menaruh remot itu di sembarang tempat."

"Tapi Kakak yang merapikan tempat ini, ‘kan?"

"Yah," Elle tertawa dengan jengkelnya, "kenapa kau menganggap aku yang seharusnya merapikan tempat ini? Kenapa bukan kau saja yang merapikan tempat ini?"

Dash terdiam. Dia kemudian menenggelamkan wajahnya ke rambutku. "Kak Elle jahat," bisiknya.

"Tidak juga," gumamku pelan. Dash menatapku seraya menyunggingkan senyum penuh paksaan.

"Aku membencimu," ucapnya.

Lalu hujan turun, mengisi lagi keheningan di antara kami. Teh di meja sama sekali tak tersentuh. Kami hanya menempel dengan satu sama lain, diam, dan merasakan kehangatan yang secara tidak sengaja kami ciptakan.

Pikiranku melayang. Apa yang Ayah lakukan sekarang? Diam di rumah? Tidur? Marah-marah? Aku menghela napas berat. Kututup kedua mataku perlahan, berusaha melarikan diri dari bayangan-bayangan mengerikan itu.

Aku membuka mataku lebar-lebar. Cangkir yang ada di hadapanku retak. Kini aku sendiri, duduk di tengah-tengah sambil menatap pantulan diriku di layar televisi. Elle dan Dash sepertinya sudah pergi sedari tadi... ke mana? Mulutku terasa sangat kering, apa aku tertidur dengan mulut terbuka? Menjijikkan. Aku mengusap bibirku dengan punggung tanganku.

Hujan turun lebih deras dari sebelumnya. Terdengar suara gemuruh petir tiap menitnya. Lampu menyala dengan terangnya, tetap iaku masih saja bisa merasakan... ketidaknyamanan. Rasa takut.

Kuambil cangkir yang retak itu, kuminum tehnya, kemudian petir menyambar. Kuletakkan kembali benda mungil nan dingin di tanganku ke tempatnya.

Tiba-tiba hidungku terasa gatal, dan, "Hatchim!"

"Tuhan memberkatimu...."

Aku menoleh ke belakang, lalu meringis lemah. "Kak Gash...."

Ia menggeram pelan. Perlahan ia mendekati sofa, kemudian memeluk leherku dari belakang. "Bersinmu lucu," katanya lembut. Aku menahan rasa maluku. Aku tersenyum kecil, walau ada rasa-rasa yang agak aneh di hati.

"Kak Gash?" panggilku lirih.

"Panggil aku Gash," ujarnya pelan. Ia terus mengeluskan pipinya ke pipiku. Rasanya agak....

"Ga...sh?" Aku berusaha menjauh dari wajahnya. Kuangkat kedua tangannya, kemudian aku memojokkan diriku di sofa. Wajah Gash berubah sendu.

"Kenapa?" tanyanya pelan. Ia meraba sofa, mengitarinya, kemudian duduk di sebelahku. Wajahnya mengarah ke televisi, tetapi tangannya berada nyaris di dekat tanganku. Aku langsung menarik tanganku.

"Bukan... bukan apa-apa," ucapku. "Kau... tadi terlalu dekat. Itu saja."

Gash tersenyum kceil. "Memangnya kenapa kalau terlalu dekat?" tanyanya seraya menghadap ke arahku.

Aku memeluk lututku. Rasanya tidak nyaman... apakah aku salah? "... Sebenarnya...."

"Ini karena Valt, ya?"

Aku menatapnya kaget. "Maksudmu?"

Ia tertawa, tawa khasnya. "Apa yang terjadi di antara kalian berdua?"

Aku menggigit bibir, mulai ngeri dengan perubahan mendadaknya.

Lihat selengkapnya