Don terlalu sulit untuk ditinggalkan. Ya, aku merasa iba kepadanya, tetapi… ia memintaku untuk menemaninya ke toilet, sarapan, dan memeluknya selama beberapa menit. Lama-lama aku merasa ia terlalu manja.
Dan, awalnya ia sempat memaksaku untuk memeriksa laptop Valt yan dikatakannya mengerikan. Aku menolak. Kalau menurutnya sudah mengerikan, bagaimana denganku? Aku mungkin sudah menangis di tempat….
Aku menolaknya dengan halus, sehalus mungkin. Aku merasa tidak bisa melakukannya. Maksudku, lebih baik salah satu dari teman terdekat atau keluarganya saja yang mengurusi hal-hal itu. Maksudku... aku teman dekat yang ia bully dan mendadak sangat disayangi.
Sesungguhnya itu terdengar agak mencurigakan. Namun sampai sekarang ia bertingkah seakan-akan… ia benar-benar menyayangiku.
Ah ya, sungguh, aku merasa agak segan berada di kamarnya. Rasanya tempat itu tidak sesuai dengan diriku. Apalagi ada seuntai tali putus di pojok ruangannya. Aku langsung meminta Don keluar dan mengunci kamar itu.
Rasanya ada seseorang yang menggenggam hatiku dengan telapak tangannya yang kasar. Aku menekan dada kiriku, tempat di mana jantungku berteriak. Aku berlari di antara kerumunan orang. Matahari sudah tinggi, melayang di sebelah lampu-lampu jalan raya. Napasku memburu di tengah pelarian ini.
Aku membayangkan... bagaimana jika aku terpeleset karena genangan air di depan sana, kemudian kepalaku jatuh ke trotoar panas ini dan mengeluarkan darah. Lalu perlahan aku mati. Ya, itu hal yang bagus. Kenapa peristiwa seperti itu tak pernah terjadi? Yang ada hanya memar dan lubang-lubang yang terbuka kembali (dari jarum Ibu dulu).
Bisakah aku berkata bahwa aku merindukan ibuku? Yah, aku tahu dulu aku sangat membencinya. Mungkin saja diriku dari masa lalu diam-diam akan menangis jika ia mengetahuinya. Namun, tanpanya... dunia ini terasa senggang. Terlalu senggang.
Aku mempercepat langkahku, sekali-kali menendang udara karena kesal. Rasanya tidak menyenangkan. Ini pertama kalinya aku merasakan apa itu kesal yang sesungguhnya. Kugenggam erat keranjang Elle, kemudian mengusap wajahku. Aku bodoh sekali....
Apartemen itu sepi, sepertinya selalu seperti itu. Aku mengetuk pintu apartemen Elle. Dash langsung menyambutku dengan senyum lebarnya. Setelah membuka pintu, ia langsung berlari kecil ke dapur. Terdengar suara dengkuran dari ruang tengah, tempat aku dan Gash kemarin.... Aku langsung menggelengkan kepalaku keras-keras, berusaha untuk membuyarkan ingatan menggelikan itu.
Kuhampiri sofa asal suara dengkuran itu. Elle tertidur di sana. Wajahnya tertutup oleh lengan kirinya. Sepertinya ia sangat lelah. Aku menyenderkan diri ke lengan sofa, melihat tiap senti wanita itu. Aih, kenapa wanita ini tidak menjadi model saja ya… atau diam-diam dia memang model?
"Abaikan saja dia. Dia sangat letih." Dash terkekeh seraya menatap Elle tajam. Ia pun mengangkat wanita pirang itu, membawanya ke kamar. Tak kusangka Dash yang kurus kering itu dapat menggendongnya.
"Hahaha... hahaha...."
Aku meremas kulit lengan sofa itu dengan kuku tangan. Gash tiba-tiba muncul dari pintu kamarnya. Satu hal yang tidak terlalu kusenangi dari kamarnya, pintunya mengarah langsung ke ruangan ini. Ia terlihat seperti orang liar yang mencari mangsa, terlihat dari seringainya yang ganjil.
"Antara itu," ujarnya. Ia tersenyum tipis. "Atau seseorang membiusnya demi kesenangannya sendiri."
Aku mengernyit. "Apa yang terjadi?" tanyaku.
Dash menepuk-nepuk telapak tangannya untuk menghilangkan debu seraya menutup pintu ruangan Elle. "Haha," Dash memasang wajah datarnya, melemparkan tatapan sinis ke arah Gash. "Lucu sekali."
Gash mengempaskan dirinya ke sofa, secara tak sengaja menendang kakiku di tangan sofa. Spontan aku langsung menarik tanganku. Gash langsung duduk sewajarnya, sekilas membisikkan kata maaf seraya tersenyum tipis.
"Sekali-kali pakai matamu, Kak." Tawa Dash meledak. Aku dapat melihat Gash menyeringai. Dengan kasar, ia menarik tanganku, memaksaku duduk di sebelahnya. Keranjang yang kubawa terjatuh karenanya. Aku langsung berlutut, mengambil roti-roti tidak berbungkus plastik itu ke tempatnya. Kenapa Elle perlu banyak sekali roti.... Awalnya aku hanya ingin keluar untuk mencari udara segar. Namun ia memintaku untuk membeli barang keperluannya. Aku menghela napas panjang. Akhir-akhir ini aku jadi cepat mengeluh, ya? Menjijikkan.
"Apa itu tadi?" Gash menaikkan sebelah alisnya.
Aku mendongak, menatap wajah yang yang kebingungan. "Ini... roti Kak elle," ucapku pelan.
Ia terdiam sebentar. "... Oh," katanya. "Maaf."
Aku menunduk, melanjutkan apa yang harus kulakukan. Namun telingaku menganggur. Jadi kudengar tiap kata yang merekan utarakan pada satu sama lain.
"Kak Gash, kau jadi ikut, ‘kan?"
"Iya."
"Haha, kalian akan berkumpul lagi. Mungkin akan menyenangkan!"
"Mungkin. Terakhir kali aku ke sana itu kira-kira... beberapa bulan yang lalu. Dan mereka sedang perang besar. Mungkin sekarang sudah reda."
"Cih," Dash tertawa geli. "Lymm masih menyebalkan ya?"
“Tentu saja, Bodoh.” Gash tertawa. "Kau masih sangat bodoh, ya?"
"Tidak!" Dash mendecak kesal.
Aku bergeming mendengar percakapan mereka. Apa yang mereka bicarakan? Kawan-kawan lama Gash?
"Erlyn juga ikut, Dash?" tanya Gash. Ia tiba-tiba menarik lenganku, memintaku untuk duduk di sebelahnya.
"Pastinya," ujar Dash. Perempuan yang seperti lelaki itu menyembulkan wajahnya di antara kepalaku dan Gash. Ia melirik ke arahku. "Kau harus ikut dengan kami, Erlyn."
Aku bergeser menjauhi mereka berdua. "Ikut... ikut apa?"
"Kau tidak bisa ke mana-mana lagi, Erlyn," ucap Gash. "Di sini ada Elle."
"Lalu? Ada apa dengan Kak Elle?"
Dash menghela napas panjang. "Masalahnya bukan dia... tapi kita."
Aku meneguk ludah. "Maksud kalian…?"
Gash menundukkan kepala suram. Dash mengangguk seraya tersenyum pahit.
"... Kenapa kalian tidak meninggalkanku saja di sini?" tanyaku lirih." Aku... aku tidak mau...."
"Aku mengerti maksudmu. Pasti akan berbahaya, eh?" Dash tertawa pelan. "Yah, begitulah... lebih baik kau bersama kita."
Aku menggeleng keras. "Aku... aku tidak mau!"
Gash menggenggam tanganku lebih erat. "Ayolah," pintanya.
"Mari kita tinggalkan tante-tante itu, dan bersenang-senang saja! Ya ‘kan, Kak Gash?" Dash tersenyum sambil menyenggol pelan pundak Gash. Namun Gash mengabaikannya. Wajahnya mengarah kepadaku, seakan-akan ia sedang menatapku.
"Aku tidak mau," sungutku. "Aku takut."
Gash menautkan alisnya. "Kenapa takut?" tanyanya. "Aku pasti akan menemanimu. Tidak usah takut," ujarnya sambil tersenyum.
Aku tidak berani bilang kalau yang kutakutkan adalah mereka berdua. Dash, sosok yang masih belum kukenal. Gadis hiperaktif yang dengan mudahnya dapat mengganggu orang lain. Kuharap ia tidak pernah membunuh siapa-siapa....