Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #11

- Seventh Rain -

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Serius? Aku malah sempat mengira ia bilang bahwa Gash tidak buta… karena dia sangat tidak seperti orang buta. Seperti… ia tidak cacat. Maksudku… dia bahkan dapat membunuh orang dengan mudahnya, tepat di hadapanku saat itu. "Bagaimana bisa?" tanyaku.

"Dia bilang itu bagian dari pekerjaannya. Mungkin akan menjadi suatu hal yang wajar jika kau tahu apa yang biasa dilakukannya." Tom mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu bersender lagi. "Tapi siapa tahu? Belum tentu itu yang sebenarnya terjadi."

Belum tentu itu? Aku mengangguk pelan, mulai meragukan sosok yang bernama Tom ini. "Jadi maksudmu... dia pembohong?"

"Tidak sepenuhnya," tukasnya. "Dia biasa berbohong untung kebaikannya sendiri, atau mungkin orang lain."

Aku menganggukkan kepalaku lagi. Tiba-tiba aku ingat dulu, saat aku selalu bertanya-tanya kepada Gash. Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan satu kata, "Rahasia." Itu menjengkelkan, tetapi lucu. Aku tersenyum tipis, mengingat-ngingat masa-masa janggal dulu.

"Kau mengerti?"

Pertanyaan itu membuat lamunanku pecah. Tom menatapku tajam.

"Iya, tentunya," ujarku pelan. Memangnya orang ini siapa? Teman Gash, bukan? Kenapa kelihatannya ia memaksaku untuk menjauhi Gash? Aku tahu Gash itu orang yang baik... terhadapku. Konyol. Sepertinya aku harus lebih serius melihat mana yang baik, dan mana yang tidak terlalu baik.

"Kau merasa aman dengannya?" Ia bertanya lagi. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Ia pun beranjak dari sofa, kemudian menepuk-nepuk pakaiannya. Ia melirik ke arahku sekilas, kemudian berkata, "Hati-hati dengan orang-orang di sini." Dan ia pergi.

Baik, itu berarti aku harus berhati-hati dengannya. Hawa yang ia bawa selalu membuat bulu kudukku berdiri. Aku memijit pelan pelipisku. Saat itu aku baru menyadari, ruangan ini sangat... nyaman. Menenangkan.

Lampu duduk yang menyinarkan cahaya kekuningan di sampingku tidak menyala dengan sangat terang, seperti lilin. Tidak ada lampu di langit-langit. Bayangan menyelimuti sebagian ruangan. Tempat ini sangat cocok untuk orang yang senang mengasingkan diri dari masalah kehidupannya.

"Apa yang dia lakukan terhadapmu?"

Aku menoleh. Gash berdiri di sana, bersender ke daun pintu sambil memegang kenopnya erat-erat hingga tangannya memutih.

Aku menggelengkan kepala pelan. "... Tidak, aku tidak mengapa."

Aku hanya sedang bersusah payah untuk beradaptasi dengan lingkungan ini.

Kuhampiri ia. Wajahnya terlihat agak panik. Apakah dia mengkhawatirkanku? Aku tersenyum lebar. Kutarik salah satu kancing kemejanya, lalu menekan benda itu ke perutnya yang keras seraya tertawa kecil. "Aku baik-baik saja," ujarku lirih. "Memangnya kenapa?"

Gash meraih kedua tanganku, kemudian keduanya naik ke atas pundakku. "Kau yakin?" tanyanya, nyaris berbisik.

Aku menghela napas pelan. Orang tadi kelihatannya sangat senang membuatku ketakutan. "Te-tentunya. Memangnya ada apa dengan orang tadi?"

Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, hanya saja...."

Tangannya terus naik, meraba leherku, pipiku... semuanya ia lakukan dengan cepat. Ia tarik tubuhku, lalu meraba punggungku. Aku tersentak, rasanya geli!

"Kak Gash, hentikan!" Aku mendorongnya. "Itu geli! Lagi pula, aku baik-baik saja."

"Syukurlah kalau begitu...." Ia tersenyum hangat.

Aku tersenyum lebar, berusaha untuk tersenyum jauh lebih lebar. Aku ingin memaksa rasa perih ini hilang.

"Kak Gash...." Aku merentangkan kedua tanganku ke arahnya. Kupeluk tubuhnya.

"Hei, kenapa kau...?"

"Aku tidak mengapa...." Aku menghisap ingusku yang nyaris mengalir keluar. "Aku... baik-baik saja."

"Tidak... jangan menangis." Ia berbisik, berusaha untuk menenangkanku. Gash membalas pelukanku, membelai rambutku, membiarkanku menangis di pelukannya.

Aku lelah. Aku takut. Aku bingung. Aku tak mengerti. Aku ingin pulang. Aku ingin meminta maaf ke Valt. Aku ingin... aku menangis sejadi-jadinya.

Aku mendongak, menatap wajah Gash dengan mata yang sembab. "Kepalaku sakit...."

Ia membelai pipiku, lalu mengecup dahiku. Bibirnya cukup lama menempel di sana. Aku dapat merasakan napasku memberat. Aku ingin berada di posisi ini selamanya.

Gash mencium rambutku, lalu mengela napas panjang. "Sayang aku tidak bisa memelukmu lebih lama lagi."

Aku makin cemberut. "Memangnya kenapa?" tanyaku. "Aku... masih mau dipeluk."

"… Aku ada pekerjaan lagi."

Aku menghela napas panjang, kecewa. Sungguh kecewa. "Di mana Dash? Aku takut bersama dua orang itu," ujarku pelan.

"Ya, tentu...." Gash menempelkan bibirnya ke dahiku. Sekilas, tetapi terasa hangatnya. "Dash masih di tempat yang sama, menggelepar layaknya ikan yang sekarat."

Aku tertawa. "Kau melihatnya?"

Ia meringis. "Suaranya seperti ikan paus. Aku jadi ingat paus pembunuh...."

"Paus pembunuh? Orca?"

Gash mengangguk. Ia menarik tanganku, memintaku untuk mulai berjalan, menjauhi perpustakaan kecil Tom.

"Warnanya hitam putih," terangnya. Langkahnya, entah secara sengaja atau tidak, menyamakan nada langkahku. "Dulu kupikir bagian putih di kepalanya itu matanya. Ternyata bukan."

Aku mengangguk pelan. Rasanya sama. Kukira di balik kedua kelopak mata itu terdapat... lupakan. Kutanyakan saja sekarang.

"Erm, Gash, apa yang terjadi dengan—?"

"Tidak terlalu penting. Kita tidak perlu membahasnya." Ia mengusap-usap telapak tanganku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Apakah sebesar itu rahasianya?

Aku menutup mulutku hingga aku melihat Dash duduk di sofa ruang tengah. Sehelai kapas yang tidak terlalu tebal tertempel di dahinya. Bibir gadis itu menekuk ke bawah. Saat ia menyadari aku dan Gash memasuki ruangan, ia membuang muka. Gash melepaskan tanganku, dan pergi entah ke mana. Yang jelas, ia tahu ke mana tujuannya, secara ia tidak menabrak apapun di hadapannya.

"Hei, Erlyn!"

Sedetik yang lalu ia cemburut, sekarang aku dapat melihat seringai Dash mengembang. Sepertinya tidak ada salahnya aku memilih untuk bertemu dengannya.

Lihat selengkapnya