Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #12

- First Blood -

Aku menggosokkan kedua telapak tanganku. Kusenderkan tubuhku ke bahu Dash. Televisi di hadapan kami masih menyala, memperlihatkan program yang belum pernah kutonton sebelumnya. Yah, dulu televisi di rumahku jarang sekali dinyalakan... dan aku tidak punya sedikit pun nyali untuk menyalakannya.

Salad Dash belum tersentuh. Ternyata ada beberapa buah dan sayuran (dan banyak sekali mayonaise) di dalam kulkas. Hanya saja, Dash tidak menganggapnya sebagai makanan. Berbeda dengan Lymm yang memperhatikanku memotong-motong buah tadi, sampai memakan beberapa.

Kutatap lorong menuju perpustakaan. Kosong. Di mana Gash dan kedua kawannya itu? Tom memintaku untuk terus terjaga malam ini. Sekarang sudah jam setengah sebelas malam dan sosok yang bernama Silva belum lagi mengetuk pintu rumah.

Kuembuskan napasku pelan, takut membangunkan Dash yang sudah tertidur pulas. Silva, ya... nama itu terdengar seperti kata silver. Seperti apa dia? Dan... dia laki-laki atau perempuan? Yah, saat aku pertama kali melihat Dash aku mengira ia laki-laki. Namanya juga mendukung.

Suara klakson mobil terdengar dari luar.

Tom keluar dari lorong itu. Terlihat mengerikan. Kenapa dia selalu mengenakan pakaian hitam? Seperti vampir saja. Aku mendengus pelan.

Langkahnya lebar, dan terkesan agak buru-buru. Tak lama, suara pintu dibuka terdengar. Setelahnya sunyi senyap.

"Dia sudah datang," ucap Tom tiba-tiba. Aku menahan teriakan kagetku. Ia tersenyum tipis, mengejek. "Kupanggil Gash sebentar. Kau akan pergi bersamanya." Lalu ia pergi lagi.

Suara langkah-langkah terdengar dari pintu depan. Aku terdiam, terlalu takut untuk menengok.

"Eh?" Sosok itu berkata dengan suara cempreng. Aku meneguk ludah. Tanpa aba-aba, sosok itu berjalan ke depanku dan menatapku lekat-lekat.

"Baru?" tanyanya. Aku hanya terdiam. Sejujurnya, aku dapat merasakan bibirku bergetar.

Sosok yang di depanku ini jauh dari apa yang kubayangkan.

Dia seorang perempuan, sepertinya seumuran denganku. Suaranya cempreng seperti anak kecil, agak mengingatkanku akan Don. Rambutnya... rambut sepunggungnya berwarna keperakan. Aku tidak mengerti apakah dia mengecatnya atau apa. Akar rambut dan alisnya berwarna keperakan pula. Ia mengikat dua rambutnya, menjuntai ke bawah layaknya air terjun. Kanan dan kiri. Mata biru mudanya sangat terang, seperti biru langit. Kulit kremnya terlihat pun lembut, seperti boneka.

Dia... pembunuh juga?

"Aku...." Mulutku terasa dikunci. Aku tidak dapat berkata-kata lagi. Gadis di depanku tersenyum.

"Dash ketiduran, ya? Katanya Om Lymm mau diganti... sama siapa?" tanyanya.

"Sebenarnya... aku terpaksa menggantikannya." Aku tersenyum canggung.

Gadis itu menelengkan kepalanya. "Wah, sudah berpengalaman?"

Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku... belum pernah."

Gadis itu diam sejenak, menatapku dengan mata penasarannya. "Jadi... mau nyoba malam ini ya?"

Aku menunduk. Kudengar ia tertawa kecil.

"Hei, gak papa, kok. Aku juga sebenarnya gak terlalu suka bunuh-bunuh orang... masalahnya, ortu-ku gak ada uang lagi. Tinggal ini caranya aku membalas budi." Gadis itu menampilkan senyum manisnya.

Aku mendongak. Gadis ini... bukan orang dari sekitar sini. Atau... akulah orang asingnya di sini? Gaya bahasanya... membingungkan.

"Ngomong-ngomong, aku yang selalu mengantarkan anak-anak ini ke lokasi targetnya. Biasanya naik mobil, aku yang menyetir! Seru, loh! Pertama kali aku—"

Aku mengedipkan mata. Kenapa gadis ini langsung bicara biasa-biasa saja denganku? Bahkan ekspresinya bisa dibilang berlebihan. Gadis ini tidak berada di duniaku.

"—itu ngangetin banget, sumpah. Terus, kayak, 'Uwaa, keren banget!' ‘gitu! Terus, terus—"

Mendadak ada rasa aneh di hatiku. Rasa... rasa yang menandakan ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

"—dan akhirnya kita berpelukan~! Ah, mukaku pasti merah sekarang!" Gadis itu menutup wajahnya yang tidak memerah sama sekali.

Aku menelengkan kepalaku. "Si-siapa yang berpelukan?" kataku lirih.

"Iiih, kamu ngedengerin gak, sih? Aku sama Gash! Kyaaa~!"

Aku mengedipkan mataku berkali-kali. "Ma-maksudnya? Kenapa bisa begitu?" tanyaku. Dahiku mengernyit. Ia tertawa. Sebuah tawa jahat, menurutku.

"Ah, memangnya kenapa? Kau cemburu, ya? Aku tahu gash itu ganteng. Kayaknya kamu sama dia gak cocok. Lebih baik aku saja. Lagi pula, kelihatannya Gash agak terlalu tua untukmu."

Aku menggeram. "Aku 16 tahun!"

"Oh ya? Aku 18 tahun, kalau begitu. Dan dia 21 tahun. Beda tiga tahun, perlu kamu tahu."

"Lalu?" Kutatap ia tajam-tajam.

Perempuan itu tersenyum sinis.

"Kalian membicarakan apa? Kedengarannya seperti perang...."

Lihat selengkapnya