"Ah, Tuhan, pagi ini dingin sekali...." Aku menggaruk pelan hidungku yang rasanya telah membeku dengan tangan kananku. Kubuka mataku perlahan. Kenapa tangan kiriku terasa... hangat? Aku menoleh. Gash duduk di sebelahku, di sebuah bangku kecil dan kepalanya bersender ke dinding. Saat aku sadar, wajahku memerah.
Gash menggenggam tanganku erat-erat. Hangat, lebih hangat dari setengah bagian tubuhku yang tertutup selimut, dan rasa hangat itu menjalar dari tangan hingga telingaku.
"Hm, kau terbangun."
Aku mendongak. Dapat kulihat sebuah senyum merekah di atas wajah tirus pemuda berambut cokelat kemerahan itu. Ingin rasanya aku ikut tersenyum, tetapi masih terlalu letih….
"Kau tahu? Kau seharusnya sarapan beberapa jam yang lalu." Ia terkekeh.
Aku menelengkan kepala lemas. "Oh, benarkah?"
"Kau sebaiknya beranjak dari tempat tidurmu," ujarnya hangat. Aku tersenyum tipis. Kugaruk kedua mataku yang membengkak. Aku pun menutup kuap kecilku yang mendadak datang. Tawa geli dapat kudengar dari sebelahku.
"Sepertinya kau masih sangat lelah. Karena tadi malam, ya?"
Aku mengernyitkan dahi. Tadi malam...? Ah, ya ampun, bagaimana bisa aku melupakannya? Aku tertawa hambar.
"Sebaiknya kau tidak mengingatkanku akan hal itu, Gash," gerutuku. Pemuda itu malah tersenyum usil. Aku mengembungkan pipiku. "Tidak lucu!"
Ia mendengus pelan. "Lucu, bagiku."
Aku menoleh ke arah pintu. Pemuda jangkung yang menyesatkanku tadi malam berdiri tegap di sana, di balik pintu yang terbuka lebar. Pandangannya menusuk, seperti sebelum-sebelumnya. Namun ada sedikit rasa nyaman yang berhasil ia keluarkan. Mungkin karena percakapanku dengannya tadi malam?
Bagaimanapun sifatnya itu, aku patut mencurigainya. Masih ada sedikit rasa ganjil pada dirinya. Walau mungkin saja rasa itu akan berkurang seiring berjalannya waktu... seperti, aku dan Gash. Tunggu, aku sepertinya tidak terlalu kaku dengan Gash dari pertama kali kita bertemu.
"Kau ada perlu apa, Tom?" tanya Gash, malas.
"Erlyn harus pergi, Gash. Berbicara ke orang besar itu, ke—"
"Tidak perlu," sela Gash. Senyum misteriusnya mengembang. Hening sejenak, kemudian Gash tertawa. Tom menatapnya sinis.
"Dia baru saja membunuh orang tadi malam. Kalau nama gadis ini sudah benar-benar kudaftarkan ke—"
"Sudah kubilang, tidak perlu." Kini Gash tersenyum lebar hingga giginya terlihat. Aku mengernyitkan dahi. Sebuah perkelahian?
Tom mendecak kesal. "Apa masalahnya?" tanyanya, datar seperti biasa.
"Bukan apa-apa... lebih baik Erlyn ada di bawah pandanganku saja."
Tom mengangkat kedua alisnya. "Itu... suatu hal yang konyol," katanya pelan, tetapi aku dapat menangkap gerak-gerik bibir tipisnya itu. "Dan kau, Erlyn, berhentilah menatapku seperti itu."
Aku menundukkan kepalaku. Apa salahku? Rasanya aku tidak... keterlaluan menatapnya. Ada apa dengan tatapanku? Aku mengutuknya dalam hati. Lalu, apa maksud daftar-daftar ini? Yang ada di kepalaku, ini pendaftaran identitas diri untuk... menjadi pembunuh bayaran...?
Jadi... aku seorang pembunuh?
"Aku... mau bertanya, sebenarnya," ucapku lirih. Seluruh wajah di kamar langsung menghadapku. Keringat dingin menuruni pelipisku. "Jadi aku... benar-benar seorang pembunuh?"
"Yah, tentunya," jawab Gash, cepat dan tepat. "Dan itu luar biasa! Siapa yang menyangka...." Seringai Gash melebar. Aku bergidik melihatnya. Tom memalingkan wajah. Sepertinya mereka sudah menyangkanya....
"Apakah polisi akan mengejarku?" tanyaku. Sudah pasti aku akan berakhir di balik jeruji penjara. Hidupku ini lama-lama makin buruk saja sepertinya….
"Coba tebak pembunuh seperti Gash ada di mana," jawab Tom datar. "Kau bisa aman, dan aku tahu bagaimana cara melindungimu."
Aku menghela napas lega. Namun di hatiku masih tersisa penyesalan. Mengingat darah di mana-mana, pisau yang telah kutancap, rasa bersalah itu....
"Kita harus pergi Erlyn, sekarang." Tom kini menatapku sinis.
"Biarkan dia mandi dan sarapan dulu." Gash tersenyum lembut. Kelihatannya Gash senang sekali hari ini.
"Mandi saja, sarapan nanti. Aku akan panggil Dash untukmu, Erlyn." Tom meninggalkan ruangan, membiarkan pintu terbuka.
Baru saja Gash beranjak dari bangkunya, Dash membobol masuk.
"ALRIGHT, girls talk! GET OUT!" teriaknya, dibarengi senyum selebar senyum kakaknya. "Aku harus berduaan dengan Erlyn sekarang, dasar kakak egois!"
Gash tertawa kecil. Tangan kirinya menyapu dinding ruangan menuju pintu. "Aku pergi dulu, Erlyn," ucapnya. Lalu ia keluar dari ruangan.
Setelahnya Dash memandangku muram. Dengan langkah pelan ia menghampiriku. "Yo, Erlyn, ternyata...."
Aku menundukkan kepala. Tiba-tiba dua tangan yang terasa kurus, tetapi terasa sangat padat, memelukku.
"Akhirnya! Akhirnya ada seseorang sepertiku!" Dash memelukku erat. Aku dapat mendengar ia mengisap kembali ingusnya. Dia... menangis? Aku tidak terlalu yakin.
"Ya ampun, Erlyn, aku sangat bangga!" ucapnya, setengah berteriak. Aku tersenyum pahit.
"Begitukah?" tanyaku lirih. Kubalas pelukannya sebentar.
"Oh, kau tak tahu seperti apa rasanya dikelilingi laki-laki seperti mereka!"
"Yah, mana aku tahu, Dash.” Aku tertawa canggung. Aku hanya pernah ditemani oleh dua manusia berkepribadian seperti monster di rumahku dulu. “Ngomong-ngomong, aku harus mandi." Aku menyunggingkan senyum lemas.
"Ah iya! Ikuti aku." Dash menghapus jejak air matanya. Hatinya ternyata lembut juga....