Tom menatapku aneh. "Apa?"
"Aku menemukan sesuatu di ruangan itu," terangku. "Kertas-kertas, korban-korban...."
"Bukannya itu hal yang wajar?" Tom mulai mengoperasikan mobilnya. "Kau tahu apa pekerjaan kita. Memang mungkin saja orang yang kau kenal dibunuh oleh salah satu orang dari kami. Sudahlah, mereka sudah tiada, bukan? Jangan terlalu dipikirkan. Pikirkan saja apa yang ada di depan matamu sekarang."
"Ibuku mati karena kalian, dan ayahku selanjutnya!" teriakku, tak terkontol. Tom langsung menghentikan mobil dan menatapku tajam. Wajahnya mengeras. Tatapan itu membuatku bergetar.
"E-eh, aku...." Aku tergagap. Dia marah? Aku langsung menutup mulut dengan kedua tanganku. Aku ketakutan sekarang, sungguh. Bisa-bisa Tom membunuhku di tempat. "Maaf," ucapku lirih. Pandanganku memburam, tertutup oleh air mata. Kututup seluruh wajahku. "Maafkan aku...."
Dapat kudengar mesin mobil bersuara lagi. Aku berusaha menghapus air mataku. Namun mereka tetap keluar, keluar, dan keluar. Aku takut. Apakah Tom akan mengembalikanku ke tempatnya? Atau dia akan membunuhku? Aku baru saja membentaknya. Dan tatapan dia tadi....
"Kau sangat bodoh," ucapnya tiba-tiba. Aku tidak merespons. Rasanya tubuhku tak bisa kugerakkan. Tatapannya mengunciku. Padahal dia pasti sudah berfokus kembali ke jalan raya.
"Kau sangat bodoh, dan itu sebuah fakta tentangmu," sambungnya. Ya, lanjutkan saja ucapanmu yang menyakitkan itu. Aku akan menyimaknya, mengingatnya, membenamkannya ke dalam hatiku agar aku dapat mengerti maksudmu....
"Kenapa Gash mau bersamamu?"
Apa? Aku menoleh ke arahnya. Ia menatapku dengan penuh selidik. "Apa maksudmu?" tanyaku, berbisik.
"Kuakui kau manis, tapi kepalamu hampir kosong. Aku yakin isinya hanya pelajaran-pelajaran sekolah dan kenangan pahit keluargamu. Orang pasti mau bersamamu, dilihat dari fisik...."
Aku memalingkan wajahku, berusaha untuk menyembunyikan sebuah senyum. Kuhapus pelan air mataku. Aku jadi teringat... apa yang sebenarnya ada di kepala Valt saat itu? Kenapa ia tiba-tiba datang, dan pergi begitu saja? Kutatap jalanan yang kosong. Rasa dingin mulai menghampiri kulitku. Langit menggelap secepat kilat, diikuti gemuruh petir.
"Gash tidak dapat melihatmu. Apa yang membuatnya tertarik terhadapmu?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu...."
"Itu sudah pasti," jawabnya dingin. "Tetapi aku masih penasaran. Kenapa tidak kau tanyakan saja? Mengajak seorang gadis sepertimu untuk bekerja sebagai pembunuh bayaran itu aneh, menurutku. Atau kau sudah benar-benar tidak punya kehidupan lagi?"
Aku memang tidak punya kehidupan lagi, aku ingin sekali mengatakan itu. Namun jika aku mengatakannya, Tom pasti akan menganggapku perempuan yang benar-benar tidak berguna da akan menurunkanku dari mobilnya. Aku menggelengkan kepala lagi. "Pertanyaanmu sangat panjang... kepalaku pusing mendengarnya."
Ia terdiam. Tatapannya pun kembali ke depan. Aku menatapnya sedih. Aku berharap Gash yang sedang menyetir di mobil ini sekarang.... Aku ingin berbicara dengannya.
Mendadak Tom membuka mulutnya. "Kau tahu apa? Aku mengantuk. Teruslah berbicara."
Aku menghela napas panjang. "Aku lelah."
"Aku juga," jawabnya singkat. Katanya ia mau berbincang-bincang.... Menyebalkan sekali.
"Aku masih tidak yakin kau 17 tahun. Gash dan Lymm hanya selehermu, dan sifatmu seperti orang tua," ujarku.
"Oh, ya?" Aku dapat mendengarnya tertawa pelan. " Itu berarti aku dapat menjadi calon suami yang baik."
"Memangnya siapa yang mau menjadi istri manusia es sepertimu?" tanyaku sinis.
Ia terdiam sebentar. "Mungkin saja ada perempuan yang mau melelehkan hatiku."
Aku menatapnya geli. "Menjijikkan!"
Ia tersenyum sedikit. "Aku tahu."
---
"Erlyn! Akhirnya kau kembali. Kupikir kau diculik om-om mesum!" Dash menghampiriku dan memelukku erat-erat. Aku menoleh ke belakang. Tom masih dalam proses memasukkan mobilnya ke garasi. Sepertinya aku tidak bisa meminta tolong ke siapa-siapa.
"Da-Dash, aku harus masuk sekarang. Sebentar lagi hujan!" Aku berusaha melepaskan pelukan Dash di leherku. "Kau mencekikku!"
"Ayo, masuk ke rumah!" ucapnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Ceritakan apa yang terjadi tadi."
Dash menarikku masuk rumah. Digiringnya aku ke kamar tidur entah siapa. Ia setengah mencekikku. Dash meletakkanku di atas kasur berseprai agak lembab. Ia pun menutup pintu kamarnya.
"Dash, ada apa?" Aku menyenderkan diri ke dinding.
"Ceritakan apa yang terjadi di sana," ujarnya pelan. Ia melipat tangannya di depan dada. "Sekarang."
Ia menatapku tajam. Ternyata Dash bisa sangat serius juga.... "Memangnya kenapa?" tanyaku pelan.
Dash mengedikkan bahu. "Mungkin saja ada sesuatu yang... spesial?" Ia sedikit menyunggingkan senyum. Ia malah terlihat seperti laki-laki menjijikkan.
Aku ingin menggelengkan kepala, tetapi... hal itu, kertas itu tepatnya, mengusikku.
"Ada satu hal yang membuatku tidak enak."
Dash mendekatiku, duduk bersila di dekatku. "Orang tua aneh itu ya? Dia memang agak... begitu."
Aku terdiam sebentar. Pria tua itu memang aneh, seperti Dash, Gash, dan kawan-kawannya. Jadi pasti itu suatu hal yang wajar. "Memangnya... dia siapa?" Aku menaikkan sebelah alis.