Terkadang waktu yang kulalui sendirian merupakan waktu yang menarik, seperti saat aku mencoba keluar dari rumah tanpa izin dan waktu aku berjalan ke café yang tak akan pernah kulupakan. Pengalaman yang mendebarkan.
Seele Café memang bukan sebuah tempat yang biasa. Gash yang pertama kali membawaku ke sana, dan aku sangat menyukai tempat itu. Di sanalah aku akan mencari sosok yang membawaku ke sana.... Apa mungkin Gash tengah menyesap secangkir cokelat panas di sana?
Langit menggelap tiap kali aku melangkah, mengirimkan bulir-bulir air yang akan membasahkan tanah. Kelihatannya hujan sangat senang menyambutku lagi. Namun bukan titik air atau kilat yang kuinginkan darinya... aku ingin Gash yang biasa datang bersamanya layaknya aroma misterius yang dibawa hujan.
Kupercepat gerak kedua kakiku. Aku hanya mengenakan kemeja yang kebetulan pas denganku dari Dash dan bahannya sangat tipis. Mengerikan apabila aku kehujanan sambil mengenakan ini. Mungkin aku menggunakan payung, tetapi kalau hujannya makin deras.... Tempat ini dingin.
Siang ini lumayan ramai. Walau suara ocehan manusia jelas terdengar, suara mereka tidak meredam suara lonceng yang berbunyi ketika aku masuk. Aku menitipkan payungku ke tempat yang tersedia di samping pintu. Aku berdiri sebentar di sana, mencari rambut merah kecokelatan di antara belasan manusia di sini. Tatapanku terhenti saat kulihat sebuah meja yang terletak di pojok ruangan.
Sang pemilik rambut merah kecokelatan itu tidak sendirian.
Aku menghampiri tempat itu perlahan. Aku berusaha untuk tidak melihat wajah lawan bicara Gash. Namun tatapan mengerikan pria itu sangat menusuk saat berbicara dengannya. Pria itu tidak menyadariku berjalan melewatinya, atau mungkin ia tidak terlalu peduli. Aku duduk tidak jauh dari meja mereka. Yang pasti aku terlihat seperti gadis egois, karena tempat yang kududuki ini bisa digunakan oleh empat orang. Namun berhubung yang datang hanya menggunakan meja-meja kecil, sepertinya tidak seburuk kedengarannya.
Aku menggaruk-garuk pelan sofa yang kududuki, cemas. Suara mereka tidak dapat kudengar sama sekali. Apa yang mereka bicarakan? Apakah ini pertemuan antara seorang pembunuh bayaran dengan kliennya?
Tanpa kusadari seorang pelayan tersenyum ke arahku. "Nona mau pesan apa?" tanyanya.
"Satu cokelat panas," ujarku sepelan mungkin. Pelayan pria itu mengangguk.
"Hanya itu saja?" tanyanya sekali lagi.
"Ya."
Ia pun mencatat pesananku di kertasnya, kemudian pergi tanpa berkata-kata lagi. Aku menghenyakkan diri ke pojok sofa. Untungnya meja ini langsung bersebelahan dengan tembok. Aku melihat-lihat seisi café. Lumayan ramai, tapi tidak terlalu ramai juga. Kebanyakan yang duduk hanya beberapa pemuda-pemudi yang berkutat dengan smartphone atau laptopnya.
"Baiklah, aku pergi dulu."
Mendengar perkataan itu, aku menoleh ke belakang, ke tempat Gash dan kawannya. Kawannya beranjak, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Aku dapat melihat Gash tersenyum, lalu menyesap isi cangkirnya. Aku tatap kawannya keluar, baru aku menghampiri Gash.
"Gash," panggilku pelan.
Gash sedikit menolehkan kepalanya ke arahku. "Erlyn?"
"Aku... boleh duduk di sini?"
Gash menyeringai. "Tidak akan ada orang yang melarangmu duduk di sebelahku." Gash sedikit menggeser, memintaku duduk di sebelahnya. "Ngomong-ngomong, kau sudah memesan sesuatu?" tanyanya. Aku duduk di sebelahnya, menatapnya dengan penuh kebahagiaan. Akhirnya aku bisa bersamanya... lagi! Aku tersenyum tipis. Tipis, sangat tipis saking senangnya.
"Ya, cokelat panas," ujarku pelan.
"Sepertinya kau selalu memesan itu di sini." Gash tertawa.
Aku menggaruk pelan pipiku, agak malu mendengarnya. Aku tidak terlalu tahu makanan dan minuman yang mereka sediakan di sini. Papan menunya tergantung di seberang pintu masuk, tetapi aku tidak pernah memperhatikannya. Toh, cokelat panas di sini memang enak, kok.
"Aku hanya... tahu beberapa minuman di sini," ucapku sepelan mungkin.
Gash menopang dagunya. "Kau pernah cicip cinnamon cake?"
Aku mengerutkan dahi. Nama itu terdengar sangat asing. Aku menggelengkan kepala. "Ti... dak. Tahu saja tidak."
Gash tiba-tiba mengangkat tangannya. Seorang pelayan menghampirinya dengan langkah lebar. Pelayan itu, seperti pelayan lainnya, tersenyum ramah ke arahnya, walau Gash berbicara sambil menatap sofa yang kosong di hadapannya. Sepertinya mereka sudah sering menghadapi lelaki buta ini.
"Satu cinnamon cake, untuk gadis manis ini." Gash tersenyum.
"Itu saja?"
"Yup. Itu saja sementara ini. Nanti aku akan memesan lagi kok, tenang saja."
Pelayan itu buru-buru meninggalkannya. Wah, tempat ini makin lama makin ramai juga ternyata. Aku berusaha untuk tidak terus menatap keadaan di café. Entah kenapa akhir-akhir ini aku agak khawatir melihat kerumunan orang. Aku mengelus-elus pelan sofa yang kududuki. Ada banyak manusia di sini, orang sungguhan. Mereka bernapas, berbicara, makan... sangat menyenangkan sepertinya. Tiba-tiba rasa tidak nyaman menyambarku. Rasanya ada sesuatu yang membelah dadaku. Rasa bersalah.
Apakah aku telah merenggut kehidupan bahagia pria yang kubunuh saat itu?
Aku mengembuskan napas panjang. Ingatan itu berputar lagi di kepalaku. Aku menutup erat kedua mataku, lalu membukanya lagi. Sosok berdarah-darah itu belum hilang di kepalaku. Kututup lagi mataku, lalu kugelengkan kepalaku, kemudian kubuka lagi. Tidak, pria yang terbujur mengerikan di atas jalanan itu masih menghantuiku. Mengitari tiap ruang di kepalaku seraya melolongkan suara mengerikan dari mulutnya yang berdarah-darah.
"Erlyn, aku ada di sini. Ada apa? Tanganmu bergetar...."
Aku menoleh ke arah Gash. Ia mengarahkan wajahnya ke arahku. Kedua matanya yang tertutup entah mengapa terlihat seperti tatapan sedih. Terlihat jelas kerutan yang timbul di dahinya.
"Aku tidak mengapa," terangku lembut. "Sungguh."
Gash meremas tanganku. Baru saat itu kusadari tangannya menggenggam tangan kananku yang sedari tadi hanya meraba sofa dengan tidak jelasnya. "Kalau ada masalah, ceritakanlah kepadaku. Aku tidak mau kau merasa tertekan seperti itu. Tiap kali aku mendengarmu murung seperti itu membuatku sedih, kau tahu? Aku mengkhawatirkanmu, sungguh."