Entah bagaimana, mimpiku sekarang penuh dengan bayangan pria berdarah-darah dan wanita yang menatapku sendu. Tiap aku terjaga, bayangan itu sering sekali melintas. Aku selalu mengingat Gash untuk melakukannya, tetapi… sia-sia saja. Yang membuatku bingung, rasanya aku pernah mengalami ini sebelumnya. Sebelum aku membunuh pria itu dan sebelum Elle memergokiku.
Ayah dan ibuku.
Mengingat fakta bahwa ayahku akan dibunuh membuatku bimbang antara ingin merasa senang atau sedih. Maksudku, kau tahu ayahku? Apakah wajar aku sebagai anaknya melupakan ayah satu-satunya? Atau aku harus bertindak? Belum lagi aku terus teringat semburat senyum kejam yang sekilas mengingatkanku akan senyum ibu. Bedanya, senyum ibu terkesan mengerikan.
Mendadak sesuatu yang lembut menghantamku dari belakang. "Hei, napasmu keras sekali! Aku jadi susah tidur, tahu!" Sosok di belakangku terkekeh.
"A-ah, maaf, Dash...." Aku memperbaiki selimutku, lalu menghadap ke sebelah kiri agar tidak bertemu dengan wajah Dash. Kemarin malam ternyata aku tidur di kamar Tom, jadi tidak mengherankan tempatnya bersih dan rapi sekali. Karena aku tidak enak dengan Tom (malam itu dia tidur di sofa), aku memilih untuk tidur sekamar saja dengan Dash. Aku tidak keberatan dengan kondisi kamarnya. Lagi pula, kelihatannya Dash senang sekali menyambutku.
Namun ternyata Dash belum tidur-tidur juga. Padahal aku sudah tertidur dan terbangun berkali-kali. Aku tidak tahu jam berapa sekarang. Lampu kamar dimatikan olehnya, dan tidak ada sumber cahaya sama sekali. Sia-sia tirai jendela kamar ini kubuka sebelum tidur. Di luar, awan hitam menutup langit yang sudah cukup gelap.
"Dash, kau belum tidur lagi?" tanyaku pelan, nyaris berbisik.
"Aku terlalu bersemangat untuk tidur saat ini," jawabnya tak kalah pelan. Mendengarnya, aku membalikkan badanku, dan aku nyaris berteriak melihat wajah horor yang Dash berikan padaku. Seringai yang ia pasang seakan-akan dapat merobek kulit dan dagingku.
"Kau kenapa?!" tanyaku, agak histeris.
Dash sedikit memendekkan senyumnya. "Sudah kubilang, aku terlalu bersemangat untuk tidur saat ini."
Aku mengembuskan napas berat. Kubenamkan kepalaku ke dalam selimut. "Pasti menyenangkan," bisikku pelan.
"Nope," katanya singkat. "Karena itu aku senang kau menemaniku malam ini!"
Aku tertawa lirih. Kesepian, ya? "Apa kau begini juga bersama Kak Elle?"
Gadis itu terdiam. "Dia... sulit untuk dibangunkan," jawabnya suram. "Aku hanya dapat memeluknya diam-diam."
Seketika badanku merinding. Bayangkan wanita terhormat seperti Elle terbangun dengan tubuh digerayangi tangan seorang gadis yang lebih terlihat seperti laki-laki. "Sungguhan?"
Dash mengangguk. "Kenapa tiba-tiba kau menanyakan tante-tante itu?"
Aku menggelengkan kepala. "Ada sesuatu yang mengganjal." Aku tersenyum. Dash malah menatapku curiga.
"Kau bertemu dengannya di café tadi, ya?"
"Semacam itulah. Kelihatannya dia sedih sekali mengetahui kita pergi tanpa pamit." Kalau kuingat-ingat, tatapannya saat itu benar-benar menyiratkan rasa pedih di hatinya. "Aku merasa bersalah, Dash."
Dash tiba-tiba menepuk keningku. "Jangan seperti itu," katanya. "Kenyataannya memang kita harus terkurung di sini agar dia tidak ikut campur dengan masalah yang kita buat." Ia tertawa hambar.
"Aku merasa sangat bersalah," ulangku. Aku mengedipkan mataku, secara tidak sengaja menjatuhkan setitik air ke kasur. "Apa yang harus kulakukan?"
Dash tersenyum hangat. "Ada satu cara yang kutahu untuk menghilangkan rasa bersalah. Yaitu dengan membantu orang lain.... Kau tahu ‘kan aku suka sekali membantu orang lain?"
Aku menggeleng pelan. "Apa yang kau lakukan untuk menebus rasa bersalahmu?"
Dash mengelus-elus dagunya. "Yah, secara aku adalah seorang pembunuh bayaran, otomatis aku membantu orang dengan—"
"Baiklah, cukup!" Aku menutup kedua mataku. Kepalaku terasa dicampuradukkan oleh perkataan Dash. "Dash, aku... tidak bisa sepertimu," keluhku. Ia mendesah pelan.
"Itu hanya karena kau belum terbiasa," ujarnya santai. "Aku yakin kepalamu nanti dapat menerima semua ini."
"Aku tidak ingin cepat-cepat menerima semua ini." Aku menghapus jejak air mataku. Sedari tadi Dash memperhatikannya. "Bagaimana kau bisa menerima semua ini?"
"Yah, aku bisa karena aku bisa." Dash terkekeh. Sekilas aku dapat merasakan sedikit kesombongan dari perkataannya itu. "Aku ini sama dengan kakakku. Keras kepala, familiar dengan kekerasan.... Kami dulu sering sekali melihat orang tua kami bertempur satu sama lain. Dari sanalah kita belajar!"
Aku terdiam. Fakta itu seakan-akan menampar pipiku dan membangunkanku.
"Aku sudah pernah bilang Gash pernah kabur, bukan?" Ia mengangkat sebelah alisnya. "Satu minggu kemudian orang tuaku juga... menghilang begitu saja dari rumah. Malam itu, aku ingat sekali, aku mencari mereka.... Mungkin mereka tidak terlalu memperhatikanku, tetapi aku selalu memperhatikan mereka. Di saat mereka ikut hilang, aku dilanda kepanikan. Aku berlari-lari di rumah, mencari mereka. Aku berteriak malam itu, hingga anjing tetanggaku ikut melolong. Aku sangat takut, kau tahu?" Dengan mata yang berkaca-kaca, Dash memaksakan sebuah senyum. "Aku takut kehilangan orang yang tahu akan keberadaanku."
Aku menundukkan kepala, menerawang isi dari selimut yang kami berdua gunakan. "Aku dapat merasakannya... kehilangan seseorang yang menyadari akan diri kita," ucapku pelan.
Dash mengembuskan napas panjang. "Pada akhirnya aku memilih untuk ikut lari saja, entah ke mana. Yang penting aku hidup. Karena dulu aku juga tidak terlalu punya banyak teman...." Dash tertawa kecil. "Aku berusaha untuk mencari seseorang yang kukenal. Kebetulan yang kukenal adalah Tom dan Lymm."