Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #17

- Second Storm -

"Nah, coba kau lihat yang ini." Dash mengacungkan sebuah belati yang mengilap di bawah naungan matahari. "Stiletto, belati. Kau pertama kali membunuh korbanmu dengan benda seperti ini, ‘kan?"

Aku mengangguk lesu. Kuremas rerumputan panjang di halaman belakang rumah ini. Melihat mata belati itu yang tajam, seakan-akan dapat mengoyak isi mataku membuatku ingin muntah dan lari dari tempat. Aku yakin Dash sangat bersemangat... bersemangat untuk menakutiku.

"Ada banyak yang kumiliki di sini! Lihat, ini yang normal, this one is a trailing-point, curved blade, Cup-point, Drop-point...."

Aku memalingkan wajahku. Akhir-akhir ini Dash senang sekali mengoceh dalam bahasa asing. Kelihatannya sangat mengerikan melihatnya bicara dalam bahasa yang tak kumengerti seraya mengacung-acungkan pisau dari kotak mainannya. Di belakangku terdapat Lymm yang memperhatikan Dash dengan malas. Aku masih ingat ucapannya beberapa saat yang lalu. "Orang berkemauan bodoh sepertinya jangan dituruti. Pada akhirnya pasti kau yang merugi.”

Baiklah, kuakui dia benar.

"... spear-point, needle-point—favorite!  Sampai sekarang aku penasaran seperti apa rasa sakitnya ditusuk yang ini. Mungkin seperti ditusuk jarum raksasa? Haha! Baiklah, this one is calledSpey Blade, Kamasu Kissaki...."

"Oh, lihat itu," ujar Lymm setengah berbisik. Aku menoleh ke arahnya, kemudian mengikuti pandangannya. Di sana berdiri Tom dan Gash. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang agak mengangetkan hanyalah... Tom membawa senapan di tangannya.

"... and there's sheepsfoot, wharncliffe... dan, ini!" Dash mendadak melempar sebuah pisau, melewati pandangan kedua mataku. "Kau... dari tadi tidak memperhatikan, ya?"

Aku menoleh ke arahnya, menggeleng pelan.

Dash menghela napas panjang. "Ya Tuhan, aku benar-benar ingin membunuhmu jadinya," keluhnya. "Sini, kemarikan pisau kerenku itu."

Aku menatap sebelah kiriku, tempat pisau lemparan Dash tertancap ke tanah. Kucabut benda itu dengan tangan yang bergemetar. Pisau hitam itu tidak terlalu panjang, tetapi bisa saja seseorang menikamku dengan ini. Tepat ke jantung, dan menggores tulang rusukku.

Sial, sekarang jantungku berdetak tidak keruan hanya karena benda tajam ini.

Aku menyerahkan benda itu kembali ke pemiliknya. "Kau suka sekali yang bermain dengan benda-benda ini?" tanyaku heran. Dash berjongkok di sebelahku, lalu menyeringai.

"Ini, yang baru saja kau berikan," ucapnya pelan. "Aku pertama kali membunuh korbanku dengan ini."

Aku menggigit bagian bawah bibirku. Ternyata benda yang kusentuh itu sudah pernah bertemu dengan darah ya? Dash ini....

"Kau mau tahu bagian mana saja yang kutusuk dengan benda ini?"

Aku menutup kedua telingaku. "Tidak. Aku tidak mau tahu."

"Yah, baiklah. Pertama, aku menusuk lubang hidungnya. Kemudian, aku beralih ke telinga...."

"Itu saja sudah cukup, Dash," selaku. "Itu. Sudah. Cukup."

Dash tersenyum mengerikan. Belum sempat ia bicara, Lymm menghampirinya.

"Bukannya yang ini lebih cocok denganmu, Dash?" tanyanya seraya memainkan salah satu pisau yang diambilnya. Sebuah pisau kecil, dengan gagang pisau yang… bermotifkan bunga berwarna gelap? Feminin sekali.

"Tidak," jawabnya cepat. "Aku tidak suka motifnya. Membuatku ingin membakarnya saja. Kalau kau mau, ambil saja!"

"Kalau begitu, kenapa kau dulu memintaku untuk membelinya?! Dasar perempuan sialan!" Lymm meludah entah ke mana. Menjijikkan sekali….

Dash melototi pemuda di hadapannya. "Apa kau bilang?! Mati saja kau di rawa-rawa!"

Aku mengalihkan pandanganku lagi. Siang ini sangat terik, aku bahkan perlu menyipitkan kedua mataku untuk mencari dua sosok yang tadinya berdiri tak jauh dari sini. Namun mereka sudah tidak ada di tempat.

Kembali ke Dash dan Lymm, sekarang mereka memaki satu sama lain dengan teriakan.

"Err, aku permisi dulu," ujarku lirih. Syukurlah mereka tidak mendengarku. Dengan mudah aku meninggalkan mereka yang berbincang panas tentang benda di dalam kotak terkutuk Dash.

Dengan langkah ringan aku memasuki rumah. Hening, jauh lebih hening dari pada di luar sana. Mendadak suara air mengalir terdengar. Aku bersegera ke dapur, menghampiri asal suara itu. Kulihat Gash mencuci tangannya di keran, dan Tom tengah mengotak-atik sesuatu di meja makan.

"Hai, Erlyn," kata Gash tiba-tiba. Ia kini mengeringkan kedua tangannya dengan sebuah handuk kecil yang tergantung tak jauh darinya. "Langkahmu sangat terdengar tadi. Ada apa?"

Aku dapat merasakan Tom menoleh ke belakangnya, ke arahku tepatnya. Tom saja tidak menyadari kehadiranku, kenapa Gash bisa?

"Aku haus," jawabku secepat mungkin. Gash mengangkat kedua alisnya.

"Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu," ujarnya. Ia berjalan pelan menuju pintu keluar.

"Sendirian?" tanyaku lagi. Aku dapat mendengar Gash sedikit tergelak.

Pemuda buta itu berbalik arah menghadapku. Seraya tersenyum riang, ia berkata, "Kau khawatir? Tenang saja, aku selalu keluar sendirian... manisku." Kemudian ia membuka pintu dan menutupnya secepat kilat. Aku terdiam.

"Menggelikan," ujar Tom tiba-tiba.

"Iya, ya?" tanyaku lirih. Gash berkata manisku kepadaku.... Itu menggelikan, ya? Yang ada, aku hanya tidak bisa memaksakan bibirku untuk berhenti tersenyum. "Sangat menggelikan, ya?"

Tom mengedikkan kedua bahunya. "Menurutmu?"

"Menurutku...." Aku terkikik. Entah kenapa, aku jadi bahagia sekali mengingat Gash memanggilku manis tadi. "Menurutku itu... manis."

"Gash akan berada di luar hingga besok pagi," ucap Tom. Uh, kenapa dia mengalihkan pembicaraannya, sih? "Aku juga akan keluar dengan Silva nanti malam. Tolong jaga dua anak tolol di belakang, baik?"

Aku menggelengkan kepalaku, gusar. "Iya, iya, aku paham...." Aku mengambil sebuah gelas kosong dari rak piring, kemudian mengisinya dengan air dari keran.

"Hei."

Aku menoleh ke arah Tom, mendapatkan tatapan tajam dari orang itu. Aku meneguk ludah.

Tom menatapku dingin. "Kau mengerti maksudku?"

"I... iya, tentunya." Tanganku terasa basah. Aku segera mematikan keran, mendapati gelasku sudah dipenuhi air.

"Apa... apa kaitannya manis denganmu?" Pertanyaan itu terdengar pelan di telingaku.

Aku mengerutkan dahi. "Apa?"

Tom menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau kau mau tahu... semua hal yang kau lalui itu terasa seperti kopi pahit," ujarnya lirih. "Kau akan melihatnya nanti malam...."

"Apa maksudmu?" tanyaku. Tom hanya tersenyum sedikit, mengingatkanku akan senyum ayah.

"Kau... tahu apa pekerjaanku."

Pemuda itu beranjak dari kursi, meninggalkan sebuah senapan di atas meja. Aku tahu ia sudah pergi, tetapi sakit rasanya menarik napas lega. Belum lagi senapan itu, mengganggu pemandangan. Kenapa aku malah terikat dengan urusan pembunuh-pembunuh ini?

Aku meminum air yang kuambil. Riak demi riak timbul pada permukaan air. Tanganku bergetar, dan aku lepas kepalan tangan yang sedari tadi kutahan.

Aku mulai tidak suka dengan semua ini.

---

"Tidakkah itu berisiko?"

Dash menatapku bingung. Yah, wajar dia bingung. Aku meminjam hoodie hitam tak bersletingnya, dan ini hoodie pertama yang pernah kukenakan. Baik, bukan itu yang membuatnya bingung. Yang membuatnya bingung adalah... keputusanku untuk mengekori Tom malam ini.

"Aku... hanya ingin mencoba," sanggahku. Mungkin aku terlihat seperti gadis mungil yang akan keluar dengan tampang sok jagoan, tetapi sebenarnya... aku tidak punya nyali yang besar untuk melakukan ini. Namun, Tom bilang....

Hei… aku takut. Kau paham perasaanku? Aku terpaksa.

Ruangan ini terasa lembab. Ah, tipikal kamar tidur Dash yang membuat orang ingin pingsan di tempat. Dash menyenderkan dirinya ke pintu, menghalangku keluar.

"Kalau kau yang mati malam ini bagaimana?" tanyanya lirih. Aku dapat melihat dari kerutan wajahnya, rasa khawatir yang jarang sekali orang tampilkan kepadaku. Ah, aku merasa bersalah lagi....

"Tidak mengapa," jawabku ringan. "Doakan saja."

Dash tersenyum kecut. "Jangan sia-siakan pisau yang kuberikan itu." Ia tertawa, kemudian menyeringai. "Setelah makan malam, Tom pasti pergi. Kau harus bergegas untuk memperingatkan ayahmu."

Lihat selengkapnya