Pernah merasa sangat lelah seakan-akan seluruh tubuhmu berhenti berfungsi, tetapi kau masih bernapas? Aku tidak dapat merasakan sesuatu, seakan-akan melayang di atas udara. Pandanganku buram. Hanya beberapa lingkaran cahaya lewat perlahan, dan kelihatannya ada sesuatu yang... mengikat tubuhku.
Mungkin ini semua hanya halusinasi... karena beberapa saat kemudian, aku terjatuh. Gravitasi menarikku dalam kecepatan luar biasa. Dunia menghitam. Aku terjatuh di dalam kehampaan, dan aku masih tidak dapat menggerakkan tubuhku. Angin menerpa wajahku, meniup-niup rambutku dengan ganas. Sebuah jatuh yang lama... air mataku mulai menetes, lalu meninggalkanku yang terjatuh makin dalam.
Dan aku terbangun.
Kepalaku terasa sangat sakit. Sulit bagiku untuk membuka mata, atau secara tak sadar aku hanya sedang malas. Yah, badanku masih terasa lumpuh tetapi dapat kugerakkan apabila kupaksa. Tidak sakit, tetapi sangat melelahkan.
"Kau mau susunya?"
Aku mengerang pelan. Suara itu, suara pemuda yang telah membunuh ayah dan mungkin ibuku. Si sialan itu....
"Kalau kau tidak mau, lebih baik buatku saja. Susu itu berharga," sambungnya.
Perutku tiba-tiba melontarkan suara keras. Memalukan. Aku membuka mataku perlahan, sedikit menyipitkannya karena cahaya lampu langsung mengeringkan keduanya, lalu secara tidak sengaja menatap rambut gelap Tom dan wajah murung Gash di seberang kasur.
"Ayolah Erlyn, kau harus bangun," ujar Gash pelan. Rambutnya terlihat lebih acak-acakan dari biasanya. Ia menyenderkan bahunya ke Tom yang membelakangiku. "Jangan terlalu lama tidur, setidaknya makan dulu. Nanti kau lemas. Setelahnya kau boleh tidur lagi. Kasihan perutmu...."
Aku mengubah posisiku, duduk menyandar. "Di mana... susunya?" tanyaku lirih, dan agak berbeda dengan biasanya. Apakah suaraku habis?
"Di rak sebelah kirimu, tempat lampu duduk," jawab Tom datar. Ia belum lagi menoleh ke arahku.
"Oh, Erlyn sudah bangun?!" Sebuah senyum lega terukir di wajah Gash, mengajakku untuk tersenyum pula.
"Iya, sudah...." Aku mengusap-usap wajahku, mengumpulkan semua kesadaranku yang telah tercecer entah ke mana. "Tapi rasanya masih sangat lemas."
"Kau tadi merasa tidak kakimu digelitiki?" tanya Gash.
Aku mengerutkan dahi. "Tidak, tidak sama sekali." Aku menggelengkan kepala. "Tidak, malah aku sepertinya... baru saja mengalami mimpi buruk."
Gash mengangkat kedua alisnya kaget. Tom mendengkus, "Sudah kubilang itu ide yang buruk. Mana mungkin seseorang terbangun dari pingsan hanya dengan… melakukan hal hina itu?"
Gash terkekeh. "Itu karena aku belum mencoba di ketiaknya."
Samar-samar, aku dapat mendengar suara halaman dibalik. Ah, apakah Tom sedang membaca buku? Aku teringat akan perpustakaan mininya. Ternyata dia memang kutu buku, ya.... Tidak, aku tidak mengatakan menjadi sosok yang rajin membaca alias kutu buku itu buruk. Justru aku menghormatinya. Namun di sekolahku, sosok seperti mereka biasanya ditindas. Tidak secara fisik, tetapi... mereka menganggapnya tidak ada.
Kurang lebih sama sepertiku.
"Itu sama saja, Gash," komentar Tom, dingin seperti biasa.
"Kalau begitu, seharusnya aku mempraktikan apa yang ada di cerita Snow White ya?"
"Snow White?" tanyaku pelan. Lagi-lagi, sesuatu yang asing dari telingaku. Namun sepertinya aku pernah mendengarnya... sekitar, saat aku melewati masa-masa sekolah dasarku. "Apa itu... Snow White?"
"Kau belum pernah mendengarnya?" tanya Gash. Ia kini menaiki kasur di hadapanku, lalu mengempaskan tubuhnya. Aku hanya dapat melihat rambutnya dari sini. Jadi aku merangkak ke arahnya, menelentangkan tubuhku di sebelahnya, kepala sejajar dengan kepala. Hanya saja, kaki Gash masih menapak lantai. Sedangkan kakiku menendang-nendang bantal yang kutiduri tadi.
"Belum," jawabku pelan. Gash menghadapkan tubuhnya ke arahku, tersenyum.
"Di situ kau rupanya!" katanya riang. Ia menghadapkan tubuhnya ke arahku. Namun karena posisi kami, aku hanya dapat melihat mulut Gash. Aku harus agak menunduk untuk melihat kedua matanya yang selalu tertutup. Bisa dibilang posisi kami seperti lambing yin dan yang. Dapat kulihat mulut Gash tersenyum lebih lebar."Mau kuceritakan?"
Aku tertawa pelan. "Dengan senang hati."
"Baiklah, dikisahkan dulu... ada seorang putri yang cantik jelita bernama Snow White. Itu kau, ngomong-ngomong." Gash menyeringai.
Aku tertawa pelan. "Lanjutkan...."
"Aku tidak tahu lanjutannya."
Aku menatapnya bingung. "Eh?"
"Pokoknya yang kutahu, Snow White diberikan apel beracun oleh... aku lupa siapa. Lalu Snow White memakannya, dan dia pingsan. Agak seperti mati, sebenarnya. Dia tidak bangun-bangun. Hingga seorang pangeran tampan mendatanginya dan membangunkannya."
"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran. Kalian boleh bilang aku aneh, tetapi aku belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya. Sepertinya "perlindungan" orang tuaku cukup sukses.
"Dengan cara yang buruk," sela Tom. "Snow White bisa saja mengadu perbuatan sang pangeran yang tidak senonoh ke polisi, atau prajurit kerajaan, apalah itu."
Aku menatap Tom, rambutnya sebenarnya. Mengapa ia berbicara tanpa menghadap ke arahku? Sepertinya buku yang ia baca sangat menarik. "Benarkah?" tanyaku. Aku meremas seprai kasur. Apa yang dilakukan sang pangeran? Mengiris jarinya? Menusuknya? "Seburuk itu?"
"Itu tidak buruk sama sekali," ujar Gash pelan. "Sang pangeran hanya... menciumnya."
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Sungguhan?"
"Seingatku seperti itu." Gash menyeringai. "Tapi tadi Tom melarangku...."