"Aku tidak percaya kau menuruti saran Lymm." Dash mendengus tepat di depan wajahku. "Membunuh orang untuk membuang kepenatan, ya? Padahal aku sudah menyarankan itu dari kapan tahu!"
Aku menunduk. "Maafkan aku. Sepertinya aku lupa," jawabku pelan.
Siang itu siang yang kelabu. Yah, seperti biasa. Sepertinya suasana kediaman Tom selalu begini. Agak lebih kelabu dari rumahku, sejujurnya. Apakah karena para pembunuh di rumah ini… termasuk diriku sendiri?
Dash mengembuskan napas panjang. "Harusnya kau menunggu sampai badanmu ini benar-benar pulih. Kalau kau mengayunkan pisau dengan loyo, kau yang akan mati duluan," cemohnya. Aku tertawa pelan.
"Sepertinya begitu," ujarku. "Namun kuusahakan aku yang akan bekerja sendiri. Kau lihat saja." Aku memberikannya senyuman terbaikku, walau aku sendiri tidak terlalu yakin dengan perkataanku barusan.
"Kau seharusnya bersyukur aku ada bersamamu." Dash terkekeh. Ia menoleh ke arahku, menaikkan sebelah alisnya disertai senyum yang kuanggap senyum kagum. "Sejak kapan kau jadi pemberani seperti ini?"
Aku menelengkan kepalaku. Kugenggam pisau pemberian Dash erat-erat. "Aku sendiri tidak tahu...."
"Tidak perlu tahu kalau kau menganggapnya seperti itu," seringai Dash. "Anyway, kapan kita akan memulai?"
"Sebentar lagi. Aku perlu menyiapkan mentalku," kilahku. Sebenarnya aku tidak terlalu ingin melakukan ini....
Dash tersenyum. "Sudah kuduga," ujarnya. "Tempat sasaran kita kali ini lumayan terbengkalai, dan kita melakukannya di siang bolong seperti ini.... Sepertinya akan menyenangkan, ya? Ngomong-ngomong, kita harus bergegas. Sepertinya sebentar lagi hujan...."
"Benarkah itu?" tanyaku, mendongak ke arahnya. Dash mengangguk.
"Dari tadi awan sudah memenuhi langit," terangnya lirih. "Mau pergi sekarang? Baik!" Mendadak Dash menarik lenganku.
Aku meneguk ludahku. "Tu-tunggu sebentar!"
"Tidak ada kata 'tunggu' di kamusku! Cepat atau lambat, kita akan melaluinya juga!" Gadis itu terkekeh seraya menyeretku keluar kamarnya.
---
Aku menatap rumah kecil di hadapanku dengan dahi berkerut. Sebuah rumah kecil yang sebagian besar terbuat dari kayu, dan sepertinya bagian belakang rumah ini memang sudah bobrok. Lokasinya tidak jauh dari rumah Tom. Seperti rumah-rumah di sampingnya, pohon-pohon mengelilingi bangunan kecil itu. Namun kesan yang diberikan rumah ini jauh berbeda dengan rumah lainnya.
Ini satu-satunya rumah yang tak layak dihuni.
"Wah, sepertinya target kita kali ini wanita yang benar-benar kacau, ya?" Dash mengayun-ayunkan tangannya, tak menyadari bahwa dirinya sendiri wanita yang kacau pula. "Aku penasaran dengan apa yang ada di dalam sana...."
Aku mengangguk suram. "Sama."
Dash mengangkat kedua tangannya, lalu menghela napas dalam-dalam. "Baiklah!"
Tanpa peringatan, Dash menarik lengan sweater-ku, membuatku nyaris terjatuh karenanya. Sesampainya ke pintu masuk, Dash melepaskan tanganku dan mengetuk pintu.
"Halo, ada orang di rumah?!" teriaknya. Tidak ada jawaban.
Aku menatap Dash yang kini memasang wajah masamnya. "Kau... yakin dia mau membukakan pintu?" tanyaku lirih.
Dash mendecak. Digedornya pintu lebih keras. "Oi, tamumu menunggu di sini!"
Terdengar suara kunci pintu dibuka. Pintu lapuk kemerahan itu berayun ke dalam, memperlihatkan seorang wanita semampai berbalut gaun strapless merah darah yang seragam dengan bibirnya yang berisi. Aku sempat terpana menatapnya. Bagaimana bisa wanita secantik dan seglamor ini tinggal di rumah yang mirip sampah?
"Maafkan aku terlalu lama," ucapnya lembut, terlalu lembut. Sepertinya dibuat-buat. "Apa yang bisa kubantu?" tanyanya sambil tersenyum. Aku yakin apabila ada seorang laki-laki di antara kami, detak jantungnya dapat terdengar sampai telingaku.
Aku dapat melihat Dash menjilat bibirnya sendiri. "Kau tahu apa yang aku mau," ujarnya dengan nada suara rendah. Aku menatapnya kaget. Sekarang aku paham kenapa Tom meminta Dash ikut denganku.
"Bagaimana dengan gadis manis ini?" Tangan wanita itu tiba-tiba menyentuh daguku, kemudian naik membelai pelan pipi kananku. Saking syoknya aku tidak bisa bergerak.
"Biarkan dia bergabung di akhir nanti." Dash mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Mulutku sedikit ternganga.
Jangan bilang wanita kotor ini benar-benar mengira Dash laki-laki. Kalau iya, ia pasti akan kecewa berat.
"Baiklah kalau begitu, Tuan Muda." Wanita itu menutup mulut dengan salah satu tangannya, menyembunyikan sebuah kikikan feminin. "Lebih baik kita tidak menyia-nyiakan waktu ini. Kau tahu wanita di hadapanmu sudah menunggu mangsa sejak beberapa jam yang lalu...."
Aku menatapnya kaget. Beberapa jam yang lalu? Apa maksudnya?!
"Ayolah, ayolah...." Dash tertawa. Digaetnya pinggul wanita itu. "Kita masuk?"
Wanita itu tidak bicara lagi. Pandangannya terkunci ke mata Dash, dan tangannya telah membuat lingkarang-lingkaran kecil di perut gadis kelaki-lakian itu.
Baiklah, suatu kesimpulan kecil dariku... Dash merupakan aktris yang hebat.
Ya, dia aktris. Bukan aktor.