"Oh, kau tidak menyukainya?" Aku mendekati pemuda dingin itu, seraya tersenyum simpul. "Mengapa kau memberikan matamu untuknya?"
"Masalah sepele," ujarnya datar.
"Benarkah?" Aku mengejar lelaki itu, entah kenapa langkahnya dipercepat. "Apa masalahnya?"
"Kupikir...." Tom terhenti, menelengkan kepalanya seraya menatapku dalam-dalam. "Kupikir kau akan... sedikit lebih bahagia kalau Gash bisa melihatmu."
Aku membeku di tempat. Untuk melihatku bahagia? "Kau serius? Tidak ada maksud lain?" Kini aku yang menelengkan kepala bingung.
"Bonusnya, Gash memiliki kemampuan untuk mengalahkan si nomor satu."
"Nomor satu?"
"Orang tadi."
Lalu kenapa saat itu ia memperingatiku juga? "Aku pernah bertemu dengannya sekali!" ujarku. Ia malah menaikkan sebelah alisnya.
"Sebenarnya, sekarang ada yang lebih penting dari itu," ucapnya, lirih. "Kau tahu keluarga Gash pernah memelihara seekor kucing?"
Aku menggelengkan kepala. Kenapa Tom malah mengajakku bicara tentang kucing? "Apa maksudmu?"
"Kau tanya saja Dash nanti." Kemudian Tom menyalakan mobilnya.
Aku mengembuskan napas frustasi. Kuharap Dash tidak bisa tidur lagi malam ini.
---
Malam berjalan jauh lebih lambat dari biasanya. Aku tidak tahu mengapa. Sedari tadi mataku terus menatap bulan yang belum lagi menghilang ditelan fajar. Ah, bukankah bulan selalu ada di sana? Begitu pula dengan bintang-bintang? Bercahaya di tengahnya kegelapan, tetapi ketika pagi hari datang....
Mereka tak terlihat. Namun mereka ada di sana.
"Tahu tidak? Lymm dan aku sempat memporak-porandakan tempat di mana kalian menitip kami."
Aku mengerling ke arah pintu kamar. Dash berdiri di depan pintu, menatapku khawatir. Aku tersenyum.
"Dash, aku ingin menanyakan sesuatu!" sahutku, melupakan fakta bahwa Dash dan Lymm telah menodong sebuah toko kecil saat kami menyerang Ninox Craulle. Aku menepuk-nepuk kasur di sebelahku, memintanya duduk di sana.
"Kau... mempunyai kantung mata. Kau tak mengapa?" Ia mendekatiku.
"Aku hanya ingin bertanya," ujarku singkat. Ia mendengus, menghentikan langkahnya.
"Perasaanku buruk tentang ini," ucapnya lirih. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"... Tom bilang kalian dulu punya kucing."
Dash mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia terdiam sebentar, lalu tiba-tiba menatapku tajam.
"Sepertinya aku paham apa maksud Tom," ujarnya riang. Namun tatapannya tidak berubah. "Tanyakan saja ke Lymm. Aku... terlalu malas membicarakannya."
Aku mengerutkan dahi. "Mengapa kau terlalu malas membicarakannya?" tanyaku. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku? Atau kalian semua menyembunyikan sesuatu dariku? Tidak, 'kan? Namun saat kaubilang kau terlalu malas untuk membicarakannya, rasa curigaku memuncak."
Aku dapat melihat mata Dash berkilat. Basah?
"Itu karena kau kucingnya, Erlyn." Dash berjalan mendekatiku lagi. "Kau kucingnya."
"Aku tidak paham," ujarku datar. Dash tersenyum. Ia duduk di sebelahku, kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur.
"Makan pagi sebentar lagi siap," katanya. Ia menatapku seraya tersenyum. Senyum termanisnya yang pernah kulihat. "Aku dulu punya seekor kucing. Aku menyayanginya, tetapi Kak Gash amat sangat menyayanginya."
Aku menunduk, menatap gadis itu lekat-lekat. Gadis yang tadi malam baru saja dapat makan gratis bersama lelaki yang tidak ia sukai, tetapi sepertinya ia hanya menyembunyikan perasaannya. Kalau kupikir-pikir lagi... Dash sangat normal. Amat sangat normal, seperti orang biasa lainnya. Terlebih, dia suka kucing.
"Kucing itu lucu," lanjutnya. "Gash bahkan sering menemaninya tidur. Namun kau tahu mengapa... Tom memintamu untuk mencari tahu tentang kucingnya?"
Aku menggelengkan kepala. Mendadak rasa tidak nyaman timbul. "A-apa?"
"... Sebenarnya dia sudah melakukan ini dari dulu." Gadis itu menghela napas, kemudian mengembuskannya kasar. "Semoga kau bukan kucingnya."
"Jujur, aku tidak terlalu suka kucing." Aku terkikik, berusaha untuk mencairkan suasana. Tatapan Dash yang mengarah ke langit-langit terlihat mengerikan. "Aku... lebih suka... anjing?"
"Gash suka kucing," ulangnya. "Dia sangat menyayanginya. Terkadang dia lebih mengutamakan kucing itu dari pada diriku sendiri."
"Apa yang terjadi terhadap kucing itu?" tanyaku lirih. Dash menatapku sendu.
"Tidak mengapa," ujarnya. "Gash hanya... mencincangnya, lalu menghanyutkannya ke sungai."
Aku meneguk ludahku. Ia serius?
"Kucing itu mati di tangan pemiliknya yang sangat menyayanginya," ujar Dash. "Mungkin... itu yang Tom maksud. Kalau tidak salah, dia sudah memintamu untuk menjauhinya dari awal, bukan?"