"Dia tidak membunuhmu?"
Aku menoleh ke belakang, lagi-lagi berpandangan dengan Dash. Ah, siapa diriku yang senang sekali melamun di kamar tidurnya? Seakan-akan aku ini penunggunya saja.
"Dia tidak membunuhku," bisikku. Dash bergeming.
"Bukan," ujarnya. "Dia belum membunuhmu."
Aku merengut, memojokkan diriku di kasur. "Jangan katakan itu...."
"Kau tadi bertemu dengannya?" Dash mengunci pintu kamarnya. "Maaf, aku tidak ingin seseorang mendadak masuk ke percakapan ini."
"Mengapa dia ingin membunuhku?" tanyaku. Telunjukku menjalar ke bibirku. "Dia baru saja melakukan sesuatu terhadapku...."
Dash mengernyitkan dahi. "Lama-lama aku jijik dengannya," katanya. "Apa sebenarnya yang dia lakukan terhadapmu?"
"Cium." Kukatakan itu dengan suara sekecil mungkin.
Aku dapat melihat Dash menahan tawanya. Ia bahkan menggigit bibirnya.
"Benar-benar, orang itu...." Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Keparat. Bagaimana kabar pacarmu setelah mengetahuinya?"
“Dia bukan pacarku, dia hanya teman baikku… yang menganggapku sebagai pacar.” Aku menghela napas perlahan. Ah, mengapa rasanya jantungku mendadak tertusuk oleh oksigen yang kuhirup? Ini semua melelahkan. "Aku tidak akan bisa memberitahukannya, Dash."
Kututup wajahku. Bukan karena malu, bukan karena kecewa... aku hanya ingin wajahku segera terhapus dari dunia ini, dan tak akan ada yang pernah melihatku lagi. Aku tidak tahu ini rasa bersalah atau rasa takut. Tanganku bergetar hebat. Apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali normal? Bukan di saat-saat aku satu rumah dengan orang tuaku, dan bukan di saat-saat Gash terlihat mengerikan.... Tidak bisakah aku kembali ke waktu di mana Gash berbincang-bincang denganku, dan mentraktirku secangkir cokelat panas di Seele Café?
Sebuah sentuhan hangat terasa di pundakku. Aku segera mendongak. Pandanganku yang buram terhalang air mata menangkap segaris senyuman di wajah perempuan berambut cokelat kemerahan itu.
"Seharusnya kita berharap agar hal itu tidak terjadi," ucapnya. "Come on, sebelum waktumu benar-benar habis. Sepertinya kau belum memberitahukanku sesuatu." Ia tertawa. Mengapa ia dapat tertawa pada waktu yang tidak tepat?
"Aku tidak tahu dia benar-benar melakukan itu," ujarku lirih. "Kau tahu apa maksudku?"
Dash tertawa canggung seraya menggaruk-garuk belakang lehernya. "Mana aku tahu? Kau belum memberitahuku."
Aku memalingkan wajahku. "Dia benar-benar suka membunuh makhluk hidup ya?"
Hening seketika. Apakah kalimat itu membuat Dash terpukul? Tidak mungkin. Dia tahu kakaknya memang bermasalah... dan aku yang bodoh baru menyadarinya. Aku benar-benar berbakat menciptakan suasana canggung.
Aku menelengkan kepalaku lelah, kemudian menutup kedua mataku rapat-rapat. Dapat kurasakan hawa dingin ruangan Dash, mungkin karena hujan deras tadi. Aku juga baru saja membilas tubuhku, tetapi... aku merasa jauh lebih menjijikkan dari sebelumnya.
"Dia memberi tahu bahwa...." Aku meneguk ludah. Mendadak rasa darah itu kembali menyentuh lidahku. Berkali-kali aku menggosok gigiku, rasa itu tetap ada.
Dash menyahutku tidak sabar. "Bahwa...?"
Aku meremas lengan bajunya. "Secara terang-terangan Gash bilang bahwa ia membunuh Valt beberapa saat yang lalu," isakku. "Aku berbuat salah lagi, bukan? Ini salahku!"
Air mataku tumpah kembali. Dash menatapku hampa. Mengapa ia memberikanku tatapan seperti itu? Apa benar aku salah?
"Well... that's screwed up." Dash menepuk-nepuk kepalaku. "Sepertinya bukan kau yang salah."
"Benarkah?" tanyaku lirih. "Kalau aku tidak mengenalnya, mungkin semuanya menjadi lebih baik. Seandainya aku bukan perempuan tolol yang rela memberikannya minum pada tengah malam, aku pasti baik-baik saja!"
Dash membiarkan tangannya di atas kepalaku. Tangan kirinya ia masukkan ke saku. Wajahnya tidak seekspresif biasanya. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kau melakukan hal yang benar saat itu. Kau tidak salah. Toh, kalau tidak ada dia... kau pasti masih terperangkap bersama orang tuamu itu, 'kan?"
Gash yang salah! Ingin aku meneriakkannya sekeras mungkin. Namun belum tentu itu kebenarannya. Bagaimana kalau aku perempuan yang memancingnya untuk berbuat salah? Bisa jadi Gash memang laki-laki yang baik, tetapi aku merusaknya. Kujambak rambutku sekeras mungkin, berusaha melampiaskan amarahku hingga tetes terakhir.
"Sayang rambutmu yang bagus itu," ucap Dash tiba-tiba, "jangan dijambak. Butuh waktu lama untuk memanjangkan rambut."
Kulonggarkan sedikit jambakanku, kemudian tertawa hambar. "Mungkin jika aku menjambak habis rambutku, Gash tidak akan mengenaliku. Aku tidak akan dibunuh olehnya!"
"Jangan konyol!" teriak perempuan itu. Aku sedikit terperanjat karenanya. Ia menatapku tajam-tajam. "Aku ini lumayan sensitif soal rambut," seringainya. "Ngomong-ngomong, pertama kali ia bertemu denganmu itu di saat ia sudah kehilangan matanya, bukan? Dia yang dari awal tidak dapat melihatmu tetapi familiar terhadap suara dan tingkah lakumu pasti dengan mudah mengenalimu. Karena itu, jangan korbankan rambutmu."
Gemuruh langit memekakkan otakku. Bagaimana bisa? Suara itu terus bergema di dalam kepalaku, mengalahkan perkataan Dash yang sedikit membuatku tertawa. Aku menutup telinga dengan kedua tanganku.
"Kepalaku agak sakit," ucapku lirih. "Apa lebih baik aku beristirahat saja? Rasanya tubuhku sangat letih...."
Dash mengerang. "Yang benar?"
Aku mengangguk pelan. Gadis itu mengerang lagi.
"Terserah kau sajalah," ujarnya, melambaikan tangannya ke arahku. "Tidur sana. Aku akan membangunkanmu saat makan siang. Get well soon!"
Aku tersenyum. Setelah mendengar suara dobrakan pintu, kepalaku langsung bertemu dengan bantal. Kututupi badanku dengan selimut, lalu meringkuk di dalamnya. Mataku yang tadinya basah sekarang kering. Kututup keduanya erat-erat. Kubiarkan suara gemuruh petir dan rintik hujan menina-bobokanku.
---
"Panas...."
Aku mengusap-usap wajahku. Apa ini... mengapa tanganku basah? Gila, siapa yang menumpuk selimut-selimut ini di atas wajah hingga kakiku?! Keringat sudah membasahi seluruh bagian tubuhku. Baju dan celanaku sudah menempel ke tubuhku. Aku langsung menyingkirkan selimut-selimut itu dan duduk bersender ke dinding. Aku tersenyum kecil.