Petrichor

Sylicate Grazie
Chapter #2

- First Rain -

"Kakak itu masih di sana," ucapku lirih. Kutatap dirinya melalui jendela rumah. Badannya berdiri tegap, kepala memandang ke atas. Seluruh bagian dari dirinya basah oleh ribuan bulir air yang berjatuhan. Ekspresi kenikmatan terpancar dari wajahnya. Aku mengernyitkan dahi bingung. Apa yang menyenangkan dari hujan? Hujan membasahkan bajuku, membuat jalanan licin, belum lagi suara petir... mengerikan. Kupalingkan wajah ke belakang, menatap sosok yang tengah duduk di sofa, sibuk sendiri.

"Ayah, Ayah tidak akan memberikannya sebuah payung?" tanyaku.

Ayah yang sedang menyeruput kopi hangatnya sambil membaca koran langsung memandangku kesal. "Biarkan saja. Mungkin dia hanya akan bunuh diri," jawabnya datar. Ia lalu membenarkan kacamatanya dan melanjutkan bacaan. Aku mendesah pelan. Kenapa ayahku selalu berbicara seperti itu?

Kutolehkan lagi kepalaku ke jendela. Berembun. Kuusap embun di jendela itu dengan lengan baju kuningku, dan pemuda itu masih ada di sana.

Ini baru pertama kalinya aku melihat pemuda itu. Ia mengenakan kaus lengan pendek hitam lusuh dan celana jeans biru, seperti seseorang yang tidak memiliki rumah. Kalau diperhatikan lagi, sepertinya umurnya belum sampai dua puluhan. Kenapa orang semacamnya ada di sana?

Tidak akan ada orang yang mau keluar rumah di cuaca seperti ini. Matahari tak terlihat, hanya awan hitam yang menurunkan air. Hawanya dingin. Seluruh kaca-kaca jendela sudah basah di luar, berembun di dalam. Kira-kira hujan sudah turun selama nyaris satu jam, tetapi pemuda itu masih berdiri di sana. Tidakkah ia takut sakit? orang tuanya pasti akan membunuhnya jika ia sakit.

"Tidurlah!" teriak ibuku mendadak dari arah belakang. Aku hampir jatuh saking kagetnya. Ia menjewer telingaku dan menariknya keras-keras. "Dasar anak nakal!"

"Ini masih sore!" Aku membantah seraya meronta-ronta dari tangan ibu. Namun tangan dinginnya tetap saja berhasil menangkapku.

"Kau lebih baik tidur dari pada memperhatikan orang itu!" teriaknya lagi. Yah, mungkin ada benarnya... tetapi aku bosan! Salah mereka sendiri mengurungku di rumah. Tidak, aku tidak akan mengucapkan kata-kata itu kepada ibuku. Aku tidak berani.

Kutatap ibuku dengan mata yang berkaca-kaca, berharap wanita itu melembutkan wajahnya kemudian memelukku. Suatu hal yang tidak akan pernah terjadi. Ia kini memandangku rendah. Wajahnya yang berkerut membuat tampila-nnya menjadi jelek. Sangat jelek. Aku membencinya.

Ibu lalu menyeret tubuhku. Aku diam saja. Ini sudah biasa terjadi. Tubuhku bergesekan dengan karpet biru rumah. Bagian belakang bajuku selalu kotor dan berdebu karena ini. Telingaku memerah, dan rasanya panas. Ibu lalu melemparkan tubuhku ke atas kasurku. Ia banting pintu kamar keras-keras. Debu langsung beterbangan mengelilingi kamarku.

Mengembuskan napas pasrah, aku mengalihkan pandangan ke jendela. Kamarku hanya mempunyai satu jendela. Satu jendela kecil yang mengarah ke depan rumah. Aku menyipitkan mata, hendak mengintip keluar melalui jendela itu. Sialnya, pemuda tadi sulit dilihat dari sini.

"Ah, Ibu menyebalkan," bisikku. Kupukul-pukul kasurku yang berdebu, membuat benda kecil layaknya peri itu melayang. Setelah meluapkan rasa amarah ke kasur, kuganti pakaianku. Kukenakan piyama putih polos yang selalu kupakai tiap malam. Bahannya tipis dan kasar. Yah, setidaknya lumayan nyaman dipakai. Aku ingat sekali pernah muntah saat mengenakannya. Bagian itu sekarang menguning, tidak bisa dihilangkan. Sesekali aku tertawa menatapnya, mengingat saat aku muntah di tengah tidurku. Sampai sekarang aku tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.

"Ibu... aneh," bisikku lagi. Aku menelentangkan tubuh di atas kasur. Kutatap jam di dinding cokelat tua ruangan ini. Baru jam empat sore! Tiba-tiba perutku berbunyi. Sepertinya aku kelaparan. Aku harus bersabar untuk menunggu makan malam. Makan siang jarang sekali diberikan untukku... entah karena tidak ada makanan atau apa. Aku terlalu takut untuk membuka kulkas. Suara dengungnya membuatku tidak nyaman.

Aku menututup tubuh kurus dan mungilku dengan selimut. Selimut yang tebal, sayangnya terlalu kecil. Kalau aku sudah besar nanti, kakiku akan menyembul keluar saat menggunakannya. Kupejamkan mataku. Ruangan ini agak dingin, jari-jemariku menjadi berkeriput. Dingin... dingin sekali. Aku pun dilahap gelapnya kantuk.

Hahaha... hahaha....

Secara mendadak kubuka mataku. Jantungku berdetak cepat. Mimpi, mimpi buruk lagi. Aku terduduk di atas kasur, memegang kepalaku yang berkeringat. Apa yang kudengar tadi? Suara tawa? Apapun itu, aku... aku ingin tahu siapa itu. Suaranya sangat halus walaupun mengerikan. Suara seorang laki-laki. Tepatnya, pemuda.

Ah, pemuda di depan tadi!

Kusingkirkan benda yang menyelimutiku. Aku melompat dari kasur, lalu segera berlari ke jendela. Langit sudah gelap, dan hujan sudah berhenti. Aku tersenyum lebar. Tak peduli sekarang sudah waktunya tidur, aku akan memeriksanya!

Kubuka pintu kamarku perlahan. Ayah dan ibu belum terlihat. Hawa terasa ruangan lebih dingin dari sebelumnya. Mungkin karena sekarang sudah malam. Aku mengendap-endap ke ruang tamu, ruangan di mana aku mengintip pemuda tadi. Aku mengintip ke luar, dan... ia masih ada di sana! Pemuda itu tengah duduk menyender ke sebuah tiang lampu. Ia terlihat sangat kedinginan. Wajahnya menunduk dan tertempel ke dengkulnya. Nah, pasti ia merasa sakit karena hujan-hujanan tadi!

Aku langsung berlari ke arah dapur. Tentunya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Di sebelah kompor dapur terdapat kulkas—berusaha keras untuk mengabaikan suaranya—dan di sebelahnya lagi terdapat kardus-kardus berisi botol minum air mineral. Kuambil salah satu botolnya.

Kembalilah aku ke ruang tamu dan mengambil jaket ayah yang ada di atas sofa. Jaket kulit yang kelihatannya mahal dan enak dipakai, entah kapan dibelinya. Warnanya merah marun. Ukurannya besar, pemuda itu pasti muat mengenakan jaket ini.

Kubuka kunci pintu, lalu aku berlari ke arah pemuda yang ada di seberang jalan. Napasku terengah-engah. Aku bukan anak yang aktif ataupun senang berolahraga. Sesampainya, wajah pemuda itu seperti menatapku, menyadariku. Anehnya, rambut pemuda itu menutup dahi dan matanya. Namun dapat kulihat dengan jelas bahwa ia memejamkan matanya itu.

"Ini," bisikku. Ia tetap terdiam.

"Buka matamu, Tuan," bisikku lagi. Ia malah tersenyum kecil.

"Maaf, aku buta," ucapnya. Suaranya tidak terlalu berat, tidak terlalu cempreng. "Dan cukup panggil aku dengan panggilan Kak."

Aku terdiam mendengar perkataannya, merasa bersalah.

Cahaya lampu jalan menerangi kami berdua. Tidak ada bintang yang terlihat karena lampu-lampu kota. Di sini jarang ada pohon, hanya beberapa semak-semak dan rerumputan. Di pinggir jalan hanya ada trotoar dan sederet rumah tetangga. Namun di depan rumahku tidak ada rumah sama sekali. Hanya ada sebuah tiang lampu, dan pemuda ini.

Aku berjongkok di hadapannya. Kubuka tutup botol minum yang kubawa.

"Minumlah, Kak," ujarku lirih. Kugenggam tangan kanannya dan kutuntun tangannya ke botol yang kupegang. Ia pun meraihnya pelan. Didekatinya mulut botol itu ke bibirnya yang basah.

"... Tak mengapa?" tanyanya.

"Minumlah," pintaku. Pemuda itu tersenyum. Ia minum air di dalam botol minum itu. Hanya dalam berapa kali teguk, air itu sudah habis.

"Kakak haus sekali, ya?" tanyaku. Kuperhatikan dirinya yang bersimbah air. Rambut pemuda itu berwarna cokelat kemerahan, acak-acakkan. Badannya terlihat tinggi, jauh melebihiku. Mungkin tinggiku hanya seperutnya.

"Iya.... Beberapa hari ini belum makan minum." Ia terbatuk (sudah kuduga dia akan sakit), lalu tersenyum. Senyum yang ia gunakan sangat khas, entah kenapa. Agak berbeda dengan senyum-senyum yang pernah kulihat.

"Kakak tidak pulang saja? Apa Kakak tidak akan sakit?" tanyaku cemas. Ia tertawa kecil.

"Aku justru lari dari rumah. Hahaha... hahaha...." Ia tertawa lemas. Tawa itu....

Hahaha... hahaha....

Aneh sekali.

"Sedang apa di sini, Dik?" tanya pemuda itu tiba-tiba. Lamunanku seketika pecah.

"Tidak ada apa-apa," jawabku pelan. "Kenakan ini, Kak. Jaket," ucapku sambil menyodorkan jaket ayahku kepadanya. Kubantu ia mengenakan jaket itu.

Lihat selengkapnya