Hari itu berjalan biasa-biasa saja seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang istimewa. Ayah Cho-Cho sudah sibuk dengan jaring dan sampan, ibunya sudah sedari subuh wara-wiri mempersiapkan dagangan di pasar, dan Cho-Cho sudah berlari kesana-sini bersama kedua sahabat lucunya. Hari minggu yang menyenangkan.
“Rambutan di rumah Kakek sudah matang. Kesana, yuk!” ajak Rocky pada kedua temannya yang sudah nampak bosan berebah di teras rumah Cho-Cho.
“Nyolong lagi?” balas Cho-Cho.
“Bukan nyolong, aku sudah minta izin ke Kakek.”
“Serius?” jawab Rambo tidak percaya pada ucapan saudara kembarnya.
Rocky mengangguk.
“Boleh?”
“Boleh!”
Benar. Rambutan gemuk dan merah menyala itu nampak melambai-lambai untuk dipetik. Diambilnya galah bambu untuk meraih tangkai-tangkai rambutan. Seorang lelaki paruh baya keluar menyapa dari dalam dapur samping rumah.
“Sini, Kakek bantu.” Beliau adalah seorang yang paling dihormati di kampung. Orang-orang memanggilnya ‘Pak Kades’ alias Kepala Desa, sedangkan anak seumuran Cho-Cho memanggilnya ‘Kakek’.
“Kek! Aku mau yang itu!” teriak Rambo menunjuk-nunjuk buah rambutan gemuk yang bergerombol di atas pohon.
Satu jam yang mereka habiskan di bawah terik matahari terbayar lunas dengan rasa manis rambutan yang membuat lidah mereka enggan berhenti mengunyah. Sembari berhaha-hihi, Kakek bercerita ngalor-ngidul perihal masa mudanya, juga bagaimana cara beliau memikat hati wanita. Sebuah kiat yang sangat pas diberikan pada seorang remaja yang sedang dimabuk cinta. Yah, walaupun mereka sebenarnya belum bisa disebut remaja.
“Oke. Aku sudah memutuskan kalau besok senin aku mau nembak Raya!” ucap Rocky.
“Sama! Aku juga mau nembak Annie!” sambung saudara kembarnya.
“Hahaha! Begitu, dong! Laki-laki harus berani! Kalau kamu, Cho-Cho?”
Cho-Cho sibuk mengupas kulit rambutan. “Aku mau memikat hati Tuhan aja.”
Si Kembar kompak menghela nafas panjang. Tak ada yang lebih membosankan dari jawaban yang keluar dari mulut Cho-Cho.
“Kamu enggak punya pacar, Cho?” tanya Kakek sembari menyeruput kuah rambutan.
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Saya masih kecil, belum bisa menafkahi seorang perempuan."
“Hahaha. Tidak menafkahi juga, lah.”
“Tapi, kata Ibu, pacaran itu untuk menikah. Menikah berarti saya harus memberi nafkah dia.”
Kakek tertawa kencang. “Bukan begitu, Nak. Pacaran itu belum tentu menikah, dan yang menikah itu belum tentu diawali dengan pacaran. Kalau gampangnya… pacar itu seperti penyemangat, lah. Biar kamu semangat terus masuk sekolah.”
Cho-Cho tidak membalas dan hanya menganggut-anggut kecil sambil mengemil rambutan dengan tangannya yang basah terkena kuah rambutan. Dia tidak tertarik.
“Percuma dijelaskan, Kek. Dia ini enggak punya gairah dan selera sama sekali!” saut Rocky.
“Hahaha. Enggak apa-apa, nanti kalau sudah waktunya pasti paham. Waktu orang, kan berbeda-beda. Dulu ada teman Kakek seumuran kalian gini sudah menikah.”
“Ha?!”
“Iya, namanya siapa ya....”
Obrolan mereka terus berlanjut. Membahas hal-hal tidak penting hingga hal ajaib lainnya. Tentang luar angkasa, negeri dongeng, peri-peri cantik, kerajaan hewan yang bisa berbicara, kota hantu, dan banyak hal mustahil lainnya yang entah apa itu benar-benar mustahil atau sebenarnya ada namun sengaja dikatakan mustahil dengan alasan dan tujuan tertentu? Yang pasti, topik ini tidak lagi membuat Cho-Cho hanya menganggut-anggut kecil. Wajahnya sangat antusias mendengar dongeng Kakek yang bercerita tentang masa kejayaan kerajaan semut yang berhasil mengusir kerajaan gajah, atau cerita tentang penyihir baik yang dituduh mengkhianati kerajaan karena berhasil menemukan ramuan ajaib yang bisa mengubah seorang biasa menjadi raksasa digdaya. Cerita-cerita itu lah yang menjadi selera Cho-Cho. Cerita tentang keajaiban-keajaiban, kemustahilan, dan segala kemungkinan yang bisa dan telah terjadi di dunia.
Sedari kecil, lahir dan besar di pesisir pantai dan hidup dikelilingi oleh rutinitas dan orang-orang yang sama membuat Cho-Cho sedikit merasa sumpek dan terbatas. Namun, ia selalu tersihir dengan buku-buku tipis bekas berisi kisah petualangan dan keajaiban dunia yang dibelikan ibunya di pasar. Dirinya sering bertanya-tanya: Bagaimana dunia di luar sana? Apa lebih indah dari rumahku? Apa lebih menyenangkan dari sini? Bagaimana orang-orang di negeri asing sana? Aku ingin berteman dengan mereka. Seringkali imajinasinya itu membuatnya merengek untuk ikut sang ayah pergi memancing di tengah lautan, menerjang ombak dan badai, berpetualang seperti di buku-buku dongeng fantasi miliknya.
Apa yang dikatakan si Kembar tentang Cho-Cho yang membosankan dan tak memiliki gairah atau selera sama sekali salah. Cho-Cho adalah anak kecil dengan imajinasi liar, matanya selalu berbinar ketika melihat hamparan air laut dan gelombang-gelombang awan yang selalu memiliki bentuk dan arahnya sendiri. Ia hanya tidak menunjukkannya. Dan mungkin, Rocky dan Rambo bukan tempat yang tepat untuk membicarakan hal-hal ajaib yang ada di pikiran, telinga, dan mata Cho-Cho.
Cho-Cho terlahir bebas.
***
Perut si Kembar sudah menggembung, mata mereka terlelap dan mulut mereka mendengkur sepeti anak babi yang kekenyangan. Sedangkan Cho-Cho masih duduk terpaku dengan hamparan pantai yang terlihat jauh di depannya. Keadaan sangat tenang, hanya sepoi-sepoi angin lembut yang mengalun di telinganya. Matanya terpejam, angin meniup-niup rambut mangkok dan bulu matanya yang lebat seakan tak pernah berhenti tumbuh.
Jika dunia hancur besok… akan seperti apa diriku ini….
Jika dunia benar-benar berakhir, apa aku bisa menerima akhirnya?
Apa hidupku hanya sebatas ini saja?
Sepertinya hidupku terlalu membosankan dan terlalu sia-sia untuk dunia yang sangat amat luas ini.
Aku… ingin… terbang….
Udara segar merasuk ke dalam hidung dan dadanya.
Koak! Koak!
Cit-cit.. Cit-cit…
Langit yang tadi tenang mendadak sangat ramai. Telinganya yang tadi sunyi mendadak sangat riuh, membuyarkan lamunanya. Burung-burung terbang cepat menjauhi pantai. Mata Cho-Cho terkagum-kagum melihat ratusan kawanan burung yang melintas diantara langit sore. Bill, anjing milik Kakek berlari kesana-kemari, melolong-lolong, membuat si kembar bangun dari tidur lelapnya.
“Bill kenapa, Kek?”
Kakek keluar dari rumah, memeriksa apa ada yang salah dengan Bill. Namun pandangannya juga beralih pada burung-burung yang terbang ramai di langit, kuping tuanya masih bisa mendengar jelas lolongan hewan-hewan ternak milik tetangga. Awan yang tadi bergelombang elok menjadi kelam.
“Pak Kades! Antena saya kayaknya ambruk!” teriak salah seorang tetangga yang ikut keluar. “TV saya jadi burek!”
Kakek tak menjawab, pandangannya masih terpanjat pada langit-langit yang kian menghitam. Gemuruhnya terdengar semakin keras, bersahut-sahutan dengan suara hewan-hewan yang seolah memberi peringatan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Suara berisik terdengar dari rumah ke rumah. Pot gantung milik Kakek berjatuhan. Tiang listrik jatuh nyaris menimpa rumah Kakek.
“Gempa!!!”