Apa maksudnya tadi?
Tas-nya berat sekali.
Otot-otot di lengan cungkringnya menonjol saat berusaha mengangkat tas cokelat yang diberikan lelaki misterius itu padanya. Lebih berat daripada membawa lima buku paket tebal di hari senin. Ia taruh tas di keranjang sepeda biru yang sudah ia klaim jadi miliknya. Kakinya mulai menggowes pedal menuju tenda dengan rencana ingin membuka dan mencari tahu isinya. Tidak boleh ada yang tahu, hanya dia dan dirinya saja.
…
Giginya bergoyang kecil menggigiti kuku jari jempolnya, matanya mendelik serius mengamati tas cokelat yang tergeletak di hadapannya. Satu menit… dua menit… tiga menit… hingga sepuluh menit berlalu namun jarinya belum berani membukanya.
“Bagaimana kalau bom?” Cho-Cho bergumam sendirian. “Atau narkoba? Terus nanti kalau aku dituduh pengedar gimana coba?”
Jari-jemarinya menggosok kulit kepala seakan ada koloni kutu yang bersarang di sana. Rasanya lebih stress dibanding memikirkan ulangan harian guru matematika atau tugas roll depan guru olahraga. Cho-Cho merasa muak! Ia tinggalkan tas sialan itu di antara baju dalam lemari kecilnya. Hatinya masih terlalu takut untuk tahu apa yang sebenarnya berada di dalam tas misterius itu. Pikiran mengajaknya untuk pergi sesaat mengalihkan perhatian.
“Hah! Aku tidak peduli!” Cho-Cho pergi meninggalkan tenda tanpa tahu bahwa selalu ada sepasang tangan jahil mengikutinya.
“Ini apa, Cho?” Remaja yang sudah tidak buncit itu berdiri di samping ranjang Cho-Cho sambil menenteng tas cokelat yang seharusnya berada di dalam lemari.
Cho-Cho yang baru kembali dari luar langsung tersentak, matanya membulat besar. Insting hewan dalam dirinya keluar tanpa aba-aba, siap menerkam orang yang ada di depannya.
Gubrak! Gubrak!
Kasur mendadak menjadi arena perebutan benda yang bahkan mereka belum tahu apa isinya. Bagaimana kalau benar-benar bom? Itu bisa meledak! Dasar anak-anak ceroboh!
“Rambo! Ngawur kamu ini! Ini itu isinya bom!”
“Hah? Yang benar?”
Cho-Cho mengangguk mantap.
“Ya sudah, kita buka saja, biar meledak.”
Arena kembali dibuka hingga salah satu dari mereka menyerah karena darah menetes keluar dari lubang hidung.
“Janji enggak rebutan lagi?” kata Cho-Cho dengan jari kelingkingnya dan tisu yang menyumpal di hidungnya.
“Iya.”
“Oke, kita lihat bareng-bareng.”
Mereka berdua saling angguk seraya bersiap membuka tas yang membuat rambut mereka menjelma bak sarang burung. Dengan sangat pelan dan hati-hati Rambo memasukkan tangan kanannya, membiarkannya menjelajah ke seluruh penjuru tas. Jarinya menangkap satu barang pertama. Sebuah kotak yang besarnya hampir sama dengan telapak tangannya. Halus dan kering.
“Apa ini?”
Sebuah buku kecil bersampul hitam tebal menjadi barang pertama yang menarik perhatian mereka.
“Bukan bom, Cho.”
“Iya, bukan.” Cho-Cho terdiam sesaat memandangi buku itu. “Mau buka bareng, enggak?”
Dan lembar pertama siap menyambut Cho-Cho. Lembaran yang terlalu lama menjadi rahasia yang tersimpan rapat, yang sudah menantinya selama ini. Halaman pertama. Sebuah tulisan singkat menjadi kalimat pembuka. Tulisan latin yang sangat rapih itu tampak familiar bagi Cho-Cho.
Ira Jan Amerta
Ini nama Ibu.
Masuk ke halaman kedua. Satu lembar foto tertempel dengan beberapa hiasan stiker jadul dan coretan spidol warna-warni. Foto seorang anak perempuan dengan dress biru muda dan rambut panjangnya yang dikepang rapih sedang menggendong seekor anak anjing.
19*5-Aku dan Kinkan.
“Kinkan?” ucap Rambo kebingungan. “Kamu dapat ini dari siapa, sih?”
Cho-Cho diam, tak menoleh, tak mengecap. Fokusnya terpaku ke foto, keningnya yang mengernyit bisa-bisa membuat wajahnya keriput di usia remaja.
“Ini… Ibu.”
“Hah?” Mata Rambo melihat Cho-Cho dengan tajamnya.
“Ini foto ibuku,” ulangnya sambil menunjuk foto. “Ini nama ibuku, Ira. Tapi setahuku nama ibuku Mahira, bukan Ira Jan Amerta.”
“Hah?!”
Satu benang kembali muncul di udara, benang yang menghubungkan Cho-Cho dengan ruang dan waktu yang lain, membuat semuanya semakin runyam dan sulit diurai oleh seorang Cho-Cho.
“Aku benar-benar enggak ngerti,” kata Cho-Cho masih memandangi selembar foto yang ia pegang.
“Apalagi aku.” Rambo menghela napas.
Wajah yang sudah lama tidak ia lihat terpampang di sana. Wajah asing yang tidak benar-benar asing karena dirinya langsung bisa mengenali rupa sang ibu. Pertama kali baginya melihat sosok Ira kala masih belia. Dirinya baru tahu bahwa rambut hitam panjang sang ibu memang sudah menjadi salah satu identitasnya sedari kecil. Dia baru tahu bahwa ibunya memelihara seekor anjing yang diberi nama Kinkan. Dia baru sadar bahwa ibunya pernah punya masa kecil, sama seperti dirinya. Masa kecil yang selama ini seperti sebuah misteri yang sama sekali tak pernah terungkap di dunia, di dunia Cho-Cho. Tak pernah terlintas satu pun pemikiran tentang itu. Seketika dia sadar, bahwa ternyata dia sama sekali belum mengenal ibunya. Dia tidak tahu apa pun tentang seorang perempuan yang paling dicintainya bernama Ira. Cho-Cho tidak tahu apa-apa dan itu membuat dirinya semakin hancur. Air mata yang sudah membatu mendadak leleh di pelupuk matanya. Pikirannya diajak mengembara oleh sang album menuju tentang dimana keberadaan sang ibu. Dicengkeramnya kuat-kuat sampul hitam itu hingga hampir membuatnya robek lalu menutupnya keras-keras, ogah membuka halaman berikutnya. Ia takut, membuka lembar berikutnya berarti membuka lembar abu-abu yang siap membuatnya senang atau malah lebih sedih dari sebelumnya. Kepalanya tertunduk sangat dalam namun tetap saja tak bisa ia sembunyikan wajah sedih di hadapan sang kawan.
“Mau ke sana?” tanya Rambo mengelus kepala Cho-Cho seperti seekor anak anjing.
Cho-Cho menoleh ke arah Rambo, seakan paham apa yang dimaksud kawannya lalu menganggut pelan.
“Kita ke sana sekarang.” Rambo menepuk lembut pundak sahabatnya.