Sudah satu jam semenjak ia bangun dari pingsan lalu duduk di pojok tenda sambil menggigiti jari dan matanya yang tajam mendelik ke arah Rev, seperti tatapan seorang tikus yang takut dimangsa oleh ular atau kucing. Sepertinya menggigit jari dan menampari pipi sudah menjadi kebiasaan Cho-Cho kala dirinya bingung, terkejut, atau cemas. Ia kucek-kucek mata bulatnya lalu melotot dengan mulutnya yang tak bisa berhenti menganga. Semuanya terasa tidak masuk akal, tidak bisa dicerna oleh otak Cho-Cho, waktu terasa berhenti dan bumi menjadi sunyi, hanya ada keheningan di antara mereka sekarang. Sementara Cho-Cho masih bergelut dengan pikirannya, Rev mondar-mandir mengelilingi tenda dan isinya sambil sesekali bertanya, “Ini apa?” atau “Itu apa” walau Cho-Cho tak pernah menjawab dan hanya bisa geleng-geleng tak percaya. Siklusnya terus berulang seperti itu selama beberapa saat hingga Rev perlahan merasa bosan melihat Cho-Cho yang masih tersudut di pojok sambil memeluk kedua kakinya, menatapnya seakan dirinya adalah monster mengerikan.
“Hei! Sampai kapan kamu mau duduk di situ? Tidak capek?” celetuk Rev dengan nada malas.
Mata bulatnya kembali membesar. “AAAAAAA!!!” teriak Cho-Cho histeris. Kakinya langsung beranjak lari keluar tenda dengan niat memberi tahu semua orang bahwa ada sepeda misterius yang bisa bicara di dalam tendanya.
Byurrr…
Kakinya melesat mulus di atas tanah licin, badannya jatuh keras ke belakang. Nasib baik bukan kepalanya yang jatuh lebih dulu, nasib baik tanah empuk yang menyambutnya, walau basah dengan lumpur. Badannya jatuh ke genangan air, setinggi tumit. Mendadak dirinya terlihat seperti tidak mandi selama berbulan-bulan. Kotor, basah, bau. Satu dua titik noda menghiasi pipi dan hidung mancungnya, mulutnya meringis memamerkan gigi yang berjajar rapih di sana, tangannya mengusap-usap kepalanya yang sudah basah dengan air dan lumpur.
“Makanya hati-hati. Kalau jalan itu bukan cuma pakai kaki, mata juga harus awas. Kalian manusia ini ceroboh sekali.” Rev menyusul keluar dari dalam tenda.
Cho-Cho kelabakan langsung bangun dari tanah. Telunjuknya tajam menunjuk Rev bersamaan dengan badannya yang terus melangkah mundur dan bibirnya yang terus mengoceh. “Kamu!!! Kamu robot, kan?! Kamu pasti mata-mata!!!” Matanya mendelik tajam ketakutan. “Katakan!!! Siapa yang mengirimmu!!!” lanjutnya.
Dua buah mata seukuran jeruk nipis muncul dari keranjang cokelat Rev. Bola mata berwarna biru terang itu menyapa Cho-Cho dengan riangnya. Entah keberapa kalinya mulut Cho-Cho menganga lebar dan matanya melotot membuat wajahnya nampak konyol.
“Hahaha. Wajahmu lucu sekali. Baiklah, sepertinya aku harus memperkenalkan diri sekali lagi.” Ban depan Rev sedikit mengempes hingga membuatnya sedikit rendah bak seorang yang sedang menunduk. “Hai Cho-Cho, aku Rev, sepeda ajaib. Senang bertemu denganmu.”
Tak merespon, Rev berjalan mendekati Cho-Cho yang masih mematung tanpa kedip.
“Kamu boleh menyentuhku kalau kamu mau. Setidaknya itu bisa meyakinkanmu bahwa aku ini nyata. Dan oh ya! Aku ini bukan robot! Aku cuma hidup saja.”
Cho-Cho masih diam seperti seekor anak anjing yang tubuhnya semakin mengecil.
“Tidak usah takut, aku tidak menggigit,” kata Rev.
Dengan penuh keraguan dan rasa takut kaki Cho-Cho mencoba melangkah menuju sepeda yang ada di hadapannya. Ujung jarinya perlahan menyentuh benda yang sedari tadi mengoceh padanya. Dan semuanya nyata! Memang benar yang ada di depannya sekarang adalah sepeda ajaib yang bisa bicara!“
Aku tahu ini semua tidak masuk akal. Tapi, nikmati saja dulu. Tidak usah dibuat pusing.” Rev tersenyum tipis pada Cho-Cho yang masih mengelus-elus dirinya. “Daripada kamu bingung dengan rupaku, mending sekarang kamu lihat sekeliling.”
Sekeliling?
Cho-Cho menoleh melihat sekeliling. Bagaimana bisa ia tak sadar akan apa yang ada di sekitarnya. Sebuah lukisan yang sangat indah, dilukis langsung oleh Tuhan. Mahakarya tiada tanding. Mungkin alasan Tuhan menciptakan mata adalah agar kita bisa menikmati indah karya-Nya. Sebuah padang rumput yang sangat luas, savanna, hijau sekali. Rumpu-rumput menari riang di bola matanya, bau basah dan genangan air menjadi bukti jejak bahwa hujan baru saja berkunjung beberapa saat di sini. Udara dingin terselimut embun basah perlahan memeluk lembut dirinya. Hamparan padang rumput yang sangat luas, sangat-sangat luas seperti lautan tanpa ujung, namun ini rumput.
“Wah….” Matanya berubah menjadi tatapan takjub. “Aku dimana?”
Cho-Cho kembali mengingat-ingat apa yang terjadi. Dimulai dari seorang lelaki misterius yang memberikan tas cokelat kepadanya… lalu saat dia pergi ke Taman Bintang dengan Rambo. Saat pesta malam hari. Saat ia sendirian di tenda. Saat…
“Kamu yang membawaku ke sini?” Cho-Cho menoleh ke arah belakang, Rev berdiri tenang di sana. Tendanya menghilang! Tak ada tenda, tak ada relawan yang berlalu-lalang, tak ada Rachel atau Rambo, hanya padang rumput luas, tas cokelat yang tertanggal di punggungnya, dirinya, dan Rev.
“Kamu sudah tidak histeris denganku? Baguslah.” Roda Rev perlahan berjalan mendekati Cho-Cho.
“Kita dimana?”
Rev tersenyum lalu berjalan memutari Cho-Cho, dirinya berlagak bak seorang pemandu wisata yang sedang menjelaskan destinasi wisata pada turis. “Selamat datang di Anca Ladori!” serunya. Mungkin kalau ia punya tangan, tangannya sudah membentang lebar seperti orang yang sedang menyambut tamu, seperti patung Tuhan Yesus di Rio.
“Anca Ladori?” kening Cho-Cho membentuk lipatan.
“Tempat semua kemustahilan bisa terjadi.” Rev kembali berputar mengelilingi Cho-Cho. “Tempat bersemayamnya pada dewa-dewi.” Suaranya membesar.
“Wah… kamu benar-benar punya mata, ya!”
“Tiba-tiba?”
“Itu mata asli?”
Rev mendengus kesal. “Kalau tidak asli aku tidak mungkin bisa melihat!”
“Oh, kamu juga punya mulut.”
“Kamu ini bodoh, ya?”
“Berarti kamu juga punya telinga?”
“Memang bodoh.”
“Jadi kamu ini sebenarnya apa? Monster? Alien? Sepeda kok bisa melihat, bisa bicara? Enggak masuk akal, kan?” Ia kembali mencubit-cubit pipi tembam. “Pasti ini mimpi.”
Gubrakkk!!!
Cho-Cho tersungkur di tanah. “Aduh! Kamu nabrak aku?!”
“Sakit, kan? Berarti bukan mimpi.”