Ibu… aku meminum racun…
Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah aku meminum ‘racun’ yang diberikan oleh orang-orang itu. Aku bangun dengan kepala pusing dan perutku rasanya seperti diaduk-aduk, mual sekali. Aku sendirian di ruangan kecil ini, sepertinya ini kamar. Wahh… kukira rumahku adalah rumah paling sederhana dan yahh… jelek di dunia, ternyata ada yang lebih sederhana. Semuanya terbuat dari jerami dan daun yang tak kuketahui namanya, yang pasti punya tulang daun yang menjalar panjang dan daun yang sama panjangnya, hum… seperti daun kelapa tapi bedanya, daun ini berwarna merah. Atapnya berwarna merah, begitu pun dindingnya. Badanku rasanya lemas sekali sampai aku tidak kuat berdiri. Oke, semakin lama perjalanan ini semakin membuatku takut. Minuman apa itu? Ramuan? Jamu? Atau benar racun? Apa aku sudah berubah menjadi monster atau makhluk aneh di komik fantasi yang sering aku baca? Apa telingaku berubah menjadi telinga kelinci? Apa aku punya ekor? Sial! Badanku mati rasa. Sepertinya indra perasaku belum berfungsi dengan baik, pun pengelihatanku, tapi syukurlah… penciumanku masih tajam. Aku bisa mencium bau sedap dari luar, cacing di perutku sudah meronta-ronta meminta makanan. Aku baru sadar, kapan terakhir kali aku makan nasi? Kalau kuingat adalah ketika acara di pengungsian, itu pun hanya kulahap sedikit. Sekarang aku kelaparan. Dimana Rev? Rev… aku lapar….
“Sudah bangun?”
Rev!
Samar-samar kulihat Rev masuk dari balik pintu. Meski dalam pengelihatanku hanya nampak semacam siluet, namun aku yakin betul bahwa ada sosok yang berdiri di belakang Rev. Aku ingin berteriak! Mengatakan bahwa ada seseorang yang mengikutinya, tapi badanku lemas dan suaraku tak mau keluar. Aku sudah berusaha memberontak, tetap saja tanganku tetap tak bisa kugerakkan. Tapi… apa ini? Sepertinya mereka berbincang santai? Mereka seperti sudah mengenal satu sama lain? Di detik itu juga aku baru sadar, kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang terkejut pada Rev? Pada sepeda yang bisa bicara?
“Kaget? Rev ini temanku.”
Dia bisa mendengarku?
Perempuan itu tiba-tiba duduk bersimpuh di sampingku, benar-benar! Aku ingin menghempasnya! Berteriak bahwa aku akan melaporkan mereka ke polisi karena sudah menculik remaja sepertiku.
“Di sini tidak ada polisi.”
Dia benar bisa mendengarku!
“Aduh!” Kulitku rasanya nyeri sekali saat ia mengusapnya dengan kain basah. Indra perasaku! “Sedang apa kamu?” Suaraku juga keluar!
“Mengusap badanmu biar bersih.” Dia menyentuh badanku tanpa izin! Tapi ya sudahlah! Kuberi izin untuk kali ini saja! Berterima-kasihlah pada tubuhku yang lemas dan lidahku yang kelu.
Selama dia membasuh diriku, semuanya tampak baik-baik saja. Tak ada ancaman atau gencatan senjata dan semacamnya, tak ada pula racun yang membuatku seperti ini. Perempuan itu hanya sibuk bercakap dengan Rev, aku sudah seperti nyamuk! Kalau boleh aku bicara jujur, sepertinya perempuan ini bukan orang jahat. Air yang dibuatnya membasuhku sangat harum, seperti harum air yang dicipratkan padaku saat ritual penyambutan, membuatku melek. Katanya, air harum ini adalah air suci yang bisa membuat tubuh kita kembali segar, menghilangkan segala rasa sakit yang ada di dalam maupun luar, benar saja! Aku merasa sehat! Sangat bugar! Mataku bisa melihat wajahnya dengan jernih. Aku perhatikan bulu matanya yang lentik, cekung di bola matanya, kantung matanya yang hitam, hidungnya yang mancung, serta bibir merahnya. Sekarang aku mengerti kenapa banyak orang yang ingin memiliki kulit sawo matang, karena gadis berkulit sawo matang yang ada di depanku sekarang ini… sangat… sangat… cantik.
***
Cho-Cho keluar dari sebuah rumah paling besar yang berada di paling ujung–rumah utama–mengikuti Rev dan perempuan cantik yang sudah lebih dulu keluar dari rumah. Matanya menjelajah sekeliling. Perkampungan yang masih sangat terbelakang jika dibandingkan dengan tempat dimana ia tinggal. Rumah-rumah yang masih sangat alami, hampir semua terbuat dari anyaman daun dan bambu. Tidak ada keramik mengkilap atau kursi minimalis, tak ada mesin cuci, televisi, atau radio untuk menghibur telinga. Hanya rumah berukuran besar dengan beberapa perabot sederhana seperti panci dan ketel, karpet masih terbuat dari anyaman bambu, tidak ada lemari untuk menyimpan pakaian, tempat tidur yang terbuat dari kayu dan selimut yang terbuat dari bulu-bulu hewan perburuan.
“Seperti di film-film.” Cho-Cho terkagum-kagum dengan segala hal yang ada di Sabasani. “Ini bukan zaman batu, kan?” lanjutnya dibalas senyuman Rev.
Mereka berjalan mengelilingi desa. Cho-Cho terlihat lebih santai dan sangat menikmati perjalanannya kali ini. Semua itu bisa terjadi tentunya dengan penjelasan dan cerita panjang lebar tentang desa, orang-orang Sabasani, dan yang paling penting: minuman yang diminum Cho-Cho.
“Itu air suci, diracik langsung oleh kepala suku,” ucap gadis yang biasa dipanggil ‘Ni’–gadis berkulit cokelat cantik yang menyambut Cho-Cho di pesisir–yang membasuh badan Cho-Cho dan membuat perutnya kenyang.
“Lalu, kenapa aku pingsan?”
“Itu memang salah satu efek sampingnya. Selain untuk upacara, fungsinya memang membuat tubuhmu lebih rileks, meregangkan otot-otot kakumu, reaksinya memang sangat cepat. Para wanita di sini rutin meminumnya sebelum tidur agar keesokan harinya bisa bangun dengan tubuh segar. Kamu itu bukan pingsan, tapi tidur.”
“Lalu? Perihal aku yang tidak bisa bicara? Sungguh! Lidahku sangat kelu! Juga tubuhku yang seperti mati rasa?”
“Oh… hehehe. Kalau itu… maaf ya, aku tidak sengaja mencampur daun rong di minumannya. Sebenarnya itu kubuat untuk menangkap rusa, tapi malah kumasukkan ke minumanmu. Jangan bilang ayahku, ya!”
“Daun rong?”
“Iya, sejenis…” Ni berhenti sejenak, mendekat ke telinga Cho-Cho lalu berbisik, “…daun beracun.”
“Sepertinya aku salah menilai kamu. Lalu… kenapa harus minuman itu? Kenapa bukan air putih, teh, atau kopi saja?”
“Itu memang sudah menjadi tradisi kami. Sebagai penyuci badan seseorang sebelum masuk ke wilayah kami.”
“Aku ternoda rupanya.”
“Bukan begitu… maksudku….”
“Iya, paham, yang penting aku masih hidup. Tapi! Awas saja kalau kamu berani macam-macam denganku!” Jarinya menunjuk Ni.
“Mana berani saya macam-macam dengan kamu.”
Cho-Cho mengulurkan tangan kurusnya. “Oh ya, aku Vicho, kamu boleh panggil aku Vicho atau Cho-Cho.”
Ni menerima uluran tangan Cho-Cho. “Riani. Tapi panggil ‘Ni’ saja.”
Namanya adalah Riani, tapi semua orang di desa ini memangginya hanya dengan sebutan ‘Ni’. Dia adalah anak dari sang kepala suku–laki-laki tinggi besar bermata elang yang menyambut Cho-Cho di Sabasani. Usianya sepantaran dengan Cho-Cho, tapi jika mereka dijajarkan orang-orang pasti mengira bahwa Cho-Cho adalah adik Riani. Ibunya sudah tiada tatkala melahirkannya ke dunia, ia diasuh langsung oleh sang ayah. Tegas, kuat, berani, dewasa itulah Riani. Paras cantiknya pasti menurun dari mendiang ibunya.
Mereka berjalan sembari menebar senyum, menyapa segerombolan ibu-ibu yang sedang membersihkan sayuran di teras rumah, sedikit bermain-main dengan anak-anak kecil, juga memberi makan hewan liar: monyet, anjing, dan burung yang berkeliaran bebas di pulau. Itu sudah menjadi kebiasaan bagi Riani yang selalu membawa beberapa daging ayam dan biji-bijian untuk diberikan pada hewan-hewan. Dalam sekejap hubungan Cho-Cho dan Riani kian membaik, mereka sudah seperti kawan lama yang akhirnya bisa bertemu kembali, berbincang ngalor-ngidul perihal dunia yang tidak diketahui Riani. Cho-Cho bercerita bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang memiliki kotak ajaib di dunia, yang bisa mengeluarkan gambar warna-warni dan suara yang beragam, seluruh dunia bisa dilihat hanya dalam sekotak ajaib itu, kotak ajaib yang ia maksud adalah televisi. Dengan wajah polos dan mata berbinarnya, Riani seperti seorang anak kecil yang sedang didongengi kisah Cinderella dan sepatu kaca, ekspresi wajahnya sangat lucu, membuat Cho-Cho tak kuasa menahan tawa, sedangkan Rev hanya menyimak mereka sambil sesekali ikut tertawa.
“Kamu? Tidak punya hal yang diceritakan padaku?” tanya Cho-Cho.
“Cerita apa?”
“Ya… cerita ajaib seperti yang aku ceritakan padamu.”
“Daripada bercerita aku lebih suka menunjukkannya langsung. Sebentar lagi kita sampai.”
“Ke mana?”
“Tempat ajaibku.”
Kaki membawa mereka berjalan menjauh dari desa, melewati jalan setapak yang hanya muat untuk satu orang. Hutan lembab nan basah menjadi teman perjalanan, sebelah kanan adalah tebing tinggi dan kiri adalah jurang curam, salah selangkah saja bisa membuat mereka pergi dari dunia. Aroma tanah basah dan lumut-lumut yang tumbuh subur di batang pohon-pohon besar yang menjuntai bak rambut pohon itu sendiri membuat hidung terasa ringan. Menakjubkan. Naik-turun-belok kanan-belok kiri-kembali naik-dan turun lagi. Semakin dekat… dari kejauhan terdengar deras suara air yang jatuh ke tanah, hawa semakin sejuk, pohon dan tanaman semakin rapat, hawa menjadi lembab.
“Sampai.”
Aliran air yang deras menyapu jari jemari Cho-Cho dengan dinginnya. Batu-batu licin menyambut mereka, lumut bebatuan membuat mata lebih awas, menuntut kaki dan tangan mereka untuk bekerja lebih keras. Hutan yang masih sangat hijau nan asri seakan belum pernah dijamah oleh manusia luar.
“Ayo!” teriak Riani yang sudah dulu pergi menyusuri sungai.
Ini bukan hal yang baru dan menakutkan bagi Cho-Cho. Air sudah seperti jiwanya sendiri, Cho-Cho lahir dan besar di dekat laut, dalam dekapan laut.
“Tanganmu harus kuat!” seru Riani memanjat satu per satu dinding batu besar di antara sungai.