Cho-Cho mematung dan wajahnya kaku. Matanya mengisaratkan banyak sekali pertanyaan namun sebenarnya pikirannya sedang kosong, tak tahu harus berpikir apa. Sementara itu, kepala suku memilih meninggalkan Cho-Cho dan kembali ke rumah utama. Langit kian temaram, hawa kian dingin, Cho-Cho merinding, ia langsung berlari menyusul ke rumah utama. Sampai di sana, kepala suku sudah duduk bersama dengan yang lain, Riani berdiri di bibir pintu menyambut Cho-Cho.
"Jadi kita ini saudara?" kata Cho-Cho. Sama sekali tak ada satu pun raut terkejut, marah atau apa pun yang keluar dari wajah Riani, begitu juga Rev yang ikut bungkam.
Cho-Cho mengatukkan kedua alisnya. "Kalian sudah tahu, kan?"
"Kakekku, Ronald, adalah adik dari Nenek Rai," jawab Riani.
"Siapa Nenek Rai?" tanya Cho-Cho.
"Nenekmu."
Nenekku?
Riani dengan sangat hati-hati mencoba menggandeng tangan Cho-Cho, mengajaknya masuk ke dalam dan menjelaskan tentang semuanya. Semua mata di ruangan menatap Cho-Cho, ada yang tersenyum ramah, ada yang keheranan, hingga tatapan sinis.
Cho-Cho duduk bersimpuh di hadapan kepala suku. "Tolong." Suaranya menjadi berat. "Tolong ceritakan pada saya tentang semuanya." Wajahnya yang sedari tadi menunduk tak berekspresi kini mendongak tajam. Ini pertama kalinya ia berani menatap sepasang mata tajam yang selalu menusuknya itu. Walau hatinya bergetar dan bibirnya kelu untuk mengucap kata, suaranya tak pernah terdengar parau.
"Om! Tidak. Kepala suku! Tolong ceritakan pada saya tentang semuanya!" Kepalanya yang tadi mendongak kini bersujud, membuat semuanya terkejut.
***
Sebuah pohon yang sangat besar berdiri kokoh, daun-daunnya menutupi benda-benda yang ada di sekelilingnya, teduh sekali. Pohon itu lebih besar dari yang ada di Taman Bintang. Lebih besar, lebih rindang, dan lebih tua. Cho-Cho berdecak kagum, ia dekatkan diri ke pohon lalu melihatnya dengan saksama. Ada yang berbeda dengan pohon ini. Semakin dekat, semakin jelas. Badan pohon besar itu bukan kayu biasa, melainkan serangkaian kayu-kayu kecil yang panjang dan meliuk-liuk seperti tubuh ular, menjalar dari bawah hingga ke titik paling ujung.
"Ini adalah jantung kedua Sabasani. Pohon Sabasani," kata Riani.
"Ini ular?" tanya Cho-Cho.
Riani mengangguk. "Kepercayaan kami mengatakan bahwa dulu pulau ini dihuni oleh ribuan ular selama ratusan tahun. Sampai akhirnya peradaban mereka mulai mengalami kemunduran karena ulah raja ular yang baru."
"Kenapa?"
"Raja ular yang baru mengambil bisa dari semua ular yang ada di sini, membuat mereka kehilangan kekuatannya. Beberapa memilih melarikan diri dari pulau, beberapa lagi berakhir mati."
"Memang kenapa diambil?"
"Katanya, dia dapat bisikan dari dewa bahwa suatu hari ada satu ular yang akan membunuhnya dengan bisa paling mematikan di dunia. Yah dia jadi menggila. Hingga titik akhirnya adalah ketika dia mengambil bisa dari anaknya sendiri. Kebencian dimana-mana, huru-hara terjadi di sini. Sang dewa pun turun mengutuk si raja gila dan antek-anteknya atas segala perbuatan mereka. Dewa mengutuk mereka, melelehkan sebagian tubuh mereka lalu menempelkannya manjadi satu, dan jadilah pohon ini."
"Ambil satu daunnya," celetuk ayah Riani pada Cho-Cho.
Tanpa bersusah payah, dirinya berhasil meraih selembar daun yang lebih lebar dari wajahnya. Ia berikan daun itu pada ayah Riani. Dalam sekali lahap daun itu hancur, mengeluarkan warna merah darah yang membuat mulut ayah Riani seperti habis meminum darah segar. Sang kepala suku meludah, mengeluarkan ampas daun dari mulutnya lalu ia remas dalam kepalannya. Cho-Cho bergidik jijik melihatnya, Riani tersenyum melihat ekspresi Cho-Cho.
"Duduk," katanya pada Cho-Cho.
Cho-Cho bersila tepat di depan pohon diikuti yang lain. Remasan daun tadi dibakar tepat di hadapan Cho-Cho, mengeluarkan bau yang sangat pahit.