Petualangan Cho-Cho dan Sepeda Ajaib

Alisya Yuke Pradinta
Chapter #10

JAN AMERTA

Siapa yang tidak kenal keluarga Jan Amerta. Semua orang di Kota Lawuni akan menyombongkan mereka bila ada seseorang yang bertanya. Pebisnis cengkeh terbesar di Pulau Timur. Salah satu keluarga yang paling berpengaruh di Kota Lawuni. Keluarga terpandang yang selalu hadir dan berdampingan dengan para pejabat kota. Keluarga yang dipandang sebagai pemimpin perkembangan ekonomi Pulau Timur yang bersinar.

Johannes Jan Amerta. Nama dan wajahnya sering muncul di majalah dan koran-koran nasional. Anak sulung dari keluarga Amerta yang terpilih menjadi penerus bisnis ayahnya. Kecerdasan dan keuletan Johan berhasil membuat bisnis Jan Amerta mencapai titik puncak kejayaannya. Di masa kepemimpinan Johan, bisnis Jan Amerta meluas di berbagai bidang, bukan hanya bisnis baku cengkeh. Bisnisnya merambah ke sektor makanan, minuman, dan farmasi. Sektor makanan dan minuman yang membuat nama Jan Amerta kian naik hingga digemari kawula-kawula muda. Mereka tidak bisa disebut sebagai ‘Anak Muda Kekinian’ bila belum mencoba lezatnya kue cengkeh di toko roti milik Jan Amerta. Di samping karena besarnya nama keluarga Amerta dan kuenya yang memang membuat lidah ketagihan, alasan sebenarnya dan yang paling utama mereka rela mengantre selama berjam-jam adalah tak lain tak bukan karena ingin melihat rupa sang pemilik. Apalah itu rasa kue yang enak, wajah Johan lebih bisa mengenyangkan perut para kaum hawa. Terkadang Johan datang ke toko untuk sekadar mampir seraya mengecek ini dan itu. Rasanya seperti membeli lotre, menebak-nebak apakah hari ini Johan datang? Atau besok? Lusa? Tidak ada yang tahu, Johan datang sesuka hatinya. Hanya mereka yang beruntung bisa bertemu langsung dan bisa merasakan kue cengkeh langsung dari tangan Johan. Ya, resep kue cengkeh memang asli buatan Johan. Dibalik kepiawaiannya dalam dunia bisnis, Johan sering menghabiskan waktu luangnya untuk membuat kue, itu adalah sesuatu yang disukainya sejak kecil dan obatnya meredakan stress karena pekerjaan. Sementara sang kakak sibuk mengurus bisnis, Johanna, si adik lebih memilih untuk berkelana dari negara satu ke negara lain untuk memotret dan menjual hasil karyanya.

“Aku tidak bisa membayangkan diriku harus duduk di depan meja kantor seharian, menandatangai beberapa dokumen yang membuatku pusing. Belum lagi kalau ada masalah ini itu. Hahh… memikirkannya aku sudah ingin mati,” kata Johanna. Alhasil, bisnis cengkeh milik keluarga murni dikelola oleh Johan.

Semuanya tentang Johan. Johannes Jan Amerta. Tak ada gadis kota yang tidak tergila-gila padanya. Johan bak sebuah permata langka yang selalu bersinar seakan tak akan pernah padam. Keindahannya diingankan oleh banyak orang. Seorang ayah yang bijak pasti sangat menginginkan Johan menjadi menantunya. Seorang ibu pasti mendidik anaknya sebaik mungkin agar bisa bersanding di sisi Johan. Seorang anak laki-laki pasti ingin sekali menjadi teman Johan, dan seorang anak perempuan pasti ingin menjadi pendamping dan kelak menjadi ibu dari anak-anak Johan. Beberapa kali dia mendapat lamaran dari para gadis dari keluarga terpandang, tapi jawaban Johan tetap sama: “Saya memiliki gadis yang saya suka.”

Sekeras apa pun gadis atau wanita yang mendekatinya, seorang Johannes Jan Amerta hanya memandang ke satu arah dan menetap di sana untuk waktu yang lama. Seorang gadis anggun nan rupawan itu telah berhasil mengail hati Johan. Irish, putri semata wayang pendeta gereja tempat Johan biasa sembahyang setiap minggu. Kisah mereka berdua bukanlah kisah cinta yang rumit dan klasik. Tak sulit bagi Johan untuk bisa mendapatkan hati Irish karena gadis bermata cokelat itu juga diam-diam menaruh hati pada Johan. Pernikahan keduanya bukan pernikahan yang megah dan mewah. Johan dan Irish sepakat untuk melangsungkan pernikahan sederhana di gereja, disaksikan oleh Tuhan. Walau sederhana, pernikahan keduanya berhasil membuat banyak laki-laki dan perempuan di seluruh Lawuni iri, tak sedikit pula yang patah hati.

Tidak menunggu lama, di usia satu tahun pernikahan mereka dikaruniai seorang putri cantik bernama Anna. Saat usia Anna menginjak lima tahun, bayi laki-laki mungil ikut hadir menyempurnakan hidup mereka.

“Alan. Kita beri nama Alan.”

Masa kecil Anna dan Alan sama saja dengan anak-anak lain. Bermain, belajar, dan berbuat nakal. Mereka juga pergi ke sekolah negeri seperti anak pada umumnya, tidak ada sekolah swasta bergengsi atau seragam yang membuat mereka nampak elit. Mereka sama seperti yang lain.

Kesibukan Johan dan Irish membuat Anna dan Alan menjadi anak-anak yang mandiri dan tidak bergantung pada apa pun dan siapa pun. Mereka bukan anak yang suka merengek minta jajan atau mengamuk jika permintaan mereka tidak dikabulkan. Kesederhanaan Irish berhasil ditularkan ke anak-anaknya, dirinya benar-benar mendidik Alan dan Anna menjadi anak yang sangat rendah hati dan penyanyang. Tumbuh dewasa, Anna menjadi gadis yang sering memikat hati para lelaki dengan paras eloknya. Wajahnya yang putih susu dan rambut cokelatnya benar-benar turunan dari Irish. Di sisi lain, Alan… bisa dibilang dia sama sekali tidak tertarik pada wanita. Hidupnya hanya diisi dengan belajar, memasak, dan berburu.

“Kalau kamu benar-benar tertarik dengan menembak, masuk saja ke militer.” Suatu kala, Robin-teman Alan-berkata bahwa Alan memang punya bakat dalam menembak dan memanah.

“Sepertinya kamu tidak benar-benar punya hal yang diinginkan. Cita-cita tidak punya, perempuan juga tidak kau ingin,” Robin mendengus. “Karaktermu itu sudah cocok sekali dengan dunia militer. Sudah! Masuk saja ke militer!”

“Haruskah?”

Lihat selengkapnya