Jadi ini ibuku?
Tak ada hal lain yang dirasakan selain rasa takjub akan manusia yang ada di hadapannya. Sama sekali tak pernah ada pemikiran bahwa dirinya bisa bertemu dengan sosok ibunya yang masih ompong. Tingginya bahkan masih sejajar dengan dada Cho-Cho. Ditambah, berhadapan langsung dengan seorang lelaki yang dipanggil ‘Ayah’ oleh Ira membuat Cho-Cho terlihat seperti seseorang yang baru bisa melihat–tak berkedip, tak bicara, dan hanya takjub. Dirinya seolah sedang berada di nirwana. Segala hal yang berkecamuk di kepalanya hilang dalam sekejap. Telinganya penuh dengan suara nyaring Ira kecil yang menggemaskan. Mata yang berbinar, pipi tembam yang penuh dengan noda roti, dan senyum lebar memamerkan gigi ompongnya seolah menghipnotis Cho-Cho. Hatinya perlahan berdenyut. Pelan… pelan…. Denyutan kecil itu berhasil membuat air mata mengalir lembut di antara pelupuk matanya.
“Kamu kenapa?” Loncatan kecil Ira berhenti tatkala melihat Cho-Cho menangis.
Kakinya sedikit berjinjit demi bisa sejajar dengan wajah Cho-Cho. Tangan mungilnya itu menangkap wajah Cho-Cho yang kian tirus. Mata bulat berwarna cokelat terangnya seakan menghipnotis Cho-Cho untuk masuk ke dalamnya. Terlihat bayangan dirinya dalam mata yang sesekali berkedip kecil itu lalu berubah dengan wajah ibunya. Mata itu adalah benar milik Ira. Cokelat… terang… dan bersinar…. Mata lembut yang selalu membawa ketenangan dan kenyamanan bagi Cho-Cho. Mata yang selama ini ia rindukan.
“I-ibu….” Tak bisa ia tahan untuk tidak memeluk Ira dalam dekapannya.
Mata Ira penuh dengan tanda tanya, batinnya penuh dengan suara-suara, dan mulutnya ingin sekali berteriak namun memilih untuk diam tak bereaksi. Yang ia lakukan hanya menepuk-nepuk pundak Cho-Cho dengan tangan kecilnya seraya berkata, “Kenapa kamu menangis? Kamu sakit?”
Air mata Cho-Cho semakin deras mengalir dan pelukannya semakin erat hingga membuat Ira tak bisa bernapas.
“Hei! Kamu apakan anak saya!” teriak singa mengerikan bermata menyala yang tadi sempat melipir mengambil perkakas yang ia tinggal. Hendak menarik kerah Cho-Cho dari belakang namun tangan kecil Ira menggenggam jari Alan sambil mengangguk kecil seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
Badan Cho-Cho bergetar hebat, mulutnya terus memanggil, “Ibu… Ibu....”
Topeng kemarahan yang menutupi wajah Alan perlahan pudar. Bocah kecil itu tanpa sadar mengingatkannya pada dirinya. Ada Alan dalam diri Cho-Cho. Memori-memori masa lalu kembali terbayang dalam ingatan Alan. Suara parau si bocah kecil yang terus memanggil-manggil nama sang ibu memenuhi telinga Alan. Tanpa sadar hatinya ikut jatuh dan larut dalam kesedihan.
Apa yang terjadi dengannya?
Apa yang membuatnya sampai menangis seperti itu?
Apa yang terjadi dengan ibunya?
Duka masa lalu yang pernah menggerogoti dirinya kembali datang.
Hening.
Rimba seakan ikut merasakan kesedihan. Burung-burung diam, pohon-pohon bergoyang pelan, yang terdengar hanya suara tangis Cho-Cho. Udara terasa kelam.
“Ayo kita pulang,” ucap Alan mengingat waktu sudah menjelang petang. Berbahaya bila lama-lama berada di hutan kala malam.
Berada di pelukan Ira selama beberapa saat ternyata sudah cukup untuk mengisi kosong dan rasa rindu yang selama ini ada di hati Cho-Cho. Matanya sembab seperti disengat tawon, napasnya naik turun. “Sudah petang?” katanya yang baru bangun dari pelukan Ira.
Tangan kekar itu menarik baju Cho-Cho menjauh dari putri kecilnya. “Ini yang pertama dan terakhir kamu menyentuh anak saya. Ngerti?” Tegasnya garang.
Badan Cho-Cho menciut.
“Ayah! Jangan galak pada temanku!”
Seakan dibela oleh bidadari khayangan, badannya kembali membesar.
Teman? Wajahnya sumringah.
“Oh ya! Boleh kutahu namamu?”
“Vicho! Tapi Ibu-”
Eh harus kupanggil apa dia? Ibu? Ira?
“Ka-kamu boleh panggil aku Cho-Cho.”
Ira mengangguk mantap. “Baiklah, Cho-Cho! Ayo kita ke rumahku dulu! Ibuku memasak makanan lezat. Kamu pasti lapar, kan? Wajahmu kurus sekali seperti tidak makan berhari-hari.”
Cho-Cho melipat bibir, matanya membesar melihat ke arah Alan dengan wajah memelas. Matanya berkedip sesekali seperti seekor anak kelinci yang sedang memohon sepotong wortel.
Ira yang sadar akan hal itu langsung meminta izin. “Boleh, kan, Yah?”
Raut wajah Alan seolah berkata, “Dasar rubah kecil! Kalau bukan karena anakku kau pasti sudah kutenggelamkan ke sungai!” namun sudut bibirnya melengkung kaku berkata, “Boleh.”
“Horeee!!! Aku punya teman baru!!!” Ira melompat-lompat seperti seekor anak katak. “Ayo kita pergi! Akan kukenalkan kamu ke ibuku, ke adikku, juga ke teman-temanku!” celotehnya antusias.
Adik? Sejak kapan Ibu punya adik? Ah! Atau jangan-jangan….
Cho-Cho melangkah antusias. Betapa serunya jika ia bisa melihat laki-laki berwajah ketus yang selalu membuatnya merinding dalam bentuk anak kecil. Kaki panjang Cho-Cho menapaki jejak Alan, di belakangnya ada Ira kecil yang meloncat-loncat menapaki jejak Cho-Cho.
“Rambutmu bagus!” celetuk Ira saat melihat rambut panjang Cho-Cho sedikit tertiup angin.
Sejenak Cho-Cho sempat lupa perihal rambut yang membuatnya nampak konyol. Bersamaan dengan itu, ia baru sadar bahwa dua orang yang sedang bersamanya memiliki rambut yang juga panjang dan pakaian yang sama dengan yang digunakan Riani dan orang Sabasani lainnya. Ada banyak pertanyaan dalam dirinya namun rasanya saat ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan banyak hal. Lebih baik menikmati waktu saja bersama sang ibu tercinta yang mungil dan menggemaskan. Hutan basah, pohon-pohon yang diselimuti lumut, harum aroma khas dedaunan, kicauan burung yang melambai dari atas, serangga-serangga kecil yang berlalu-lalang. Semua hal di Sabasani benar-benar indah.