Di Kantin SHS 001
“Guilak! Badanku, tanganku, kakiku, oh, mataku yang biasanya membaca komik harus terkapar di atas kasur,” keluh Hayfa. Sesekali menyeruput jus mangga.
Gyn diam, menikmati menunya. Salad tomat ditambah telur setengah matang. Kesukaannya.
“Nyut, nyut, kepalaku ikut berdetak seperti jantung. Argh, Gyn, bisa-bisanya kamu per...eh, nggak juga. Ih, imbalan anak rajin olahraga jadi nggak capek.” Hayfa merengut sebal. Sebenarnya, dia ingin menyerah, memilih ikut eskul kesayangannya. Namun, sudah diingatkan Gyn untuk selalu berada di dekatnya, batal. Lagipula, memang keinginan Hayfa untuk mengikuti Gyn ke manapun.
Dia mempunyai janji yang harus dia tepati.
Gyn meminum air putih tanpa sedotan. Bila yang lain berseru-seru untuk memakai sedotan sekali pakai, Gyn memilih tidak memakai sedotan atau tempat minum sekali pakai. Ajaran ketat dari dia kecil. Bahkan, tidak pernah sekalipun dia membeli jajan menggunakan kantong plastik. Selalu membawa wadah dari rumah.
Gyn meng-scroll handphone-nya. Tipis, elastis, dan bisa dilipat sehingga mudah dibawa ke mana saja. Ditambah tidak ada peraturan untuk melarang setiap siswa membawa handphone. Lah, mereka tanpa disuruh dua kali, tahu kapan saat-saat krusial untuk bermain handphone atau belajar. Sudah sadar diri. Kalaupun membuka, kebanyakan dari mereka adalah membaca.
Namun, buku elektronik yang tersebar sudah dikendalikan oleh pusat. Semuanya soal berita kebaikan yang dibuahkan oleh pusat. Berita kemajuan negara, perjanjian dan hubungan bilateral dengan negara luar, dan tentu soal proyek kelapa sawit. SHS 001 selalu menjadi bahan tulisan soal pendidikan. Kurikulum yang perlu dicontoh untuk sekolah-sekolah lain.
Gyn menghela napas keras. Malas, dia lipat handphone-nya. Makan lagi.
“Tumben langsung lipat aja?” tanya Hayfa sambil memijit kepalanya—sepertinya pusing betulan.
Gyn diam tidak menjawab. Mengunyah salad tomat.
“Tumben juga seorang Gyn bosan membaca?” tanyanya lagi. Kali ini bahunya yang dipijat—dibutuhkan tukang pijat untuk anak muda berbadan jompo.
“Jus yang kamu minum bila kebanyakan gula, enak?” tanya Gyn.
Hayfa tersenyum. Yes, pasti dia mau ngobrol kali ini! “Sesuatu yang berlebihan kan nggak enak, Gyn? Mana ada yang mau jus dengan gula takarannya pakai sendok sayur?”
“Persis seperti yang kubaca setiap pagi,” jawab Gyn malas. Menyeruput air putih.
Hayfa menoleh ke kana dan kiri. “Gyn, bisa nggak jangan ngomong hal ‘terlarang’ di kantin?” bisik Hayfa.
Gyn kembali sibuk makan.
“Akhir-akhir ini cuaca semakin panas!” keluh Hayfa lagi. Mengalihkan pembicaraan tepatnya.
“Deforestasi,” seru Gyn. Seisi kantin menoleh padanya.
Hayfa mulai beraksi. Tersenyum ke seluruh pengunjung kantin. “Ah, lidahnya memang ke utara-utara-an. Beku dan selalu terpeleset. Maksudnya adalah demokrasi.”
Pengunjung melambaikan tangan, lantas sibuk berbincang dengan teman meja mereka.
Hayfa melotot. “Gyn! Sudah kubilang jangan ngomong di sini! Nanti aja kalau nggak ada kerumunan, sumpah, bukan aku ngelarang kamu ngomong,” bisik Hayfa serius.
Gyn diam, sibuk menghabiskan sisa salad. Bersih tandas. Meneguk air, juga tandas. Melihat jam.
Ibu kantin datang membawa sup brokoli pesanan Hayfa.
“Wah, makasih Ibu cantik awet muda yang baik hati pake banget.”
Ibu Kantin tersipu malu. “Oke, diskon empat puluh persen untuk Hayfa.”
Hayfa tertawa riang, “Tambah bersinar wajah Ibu yang awet muda.”
Ibu Kantin semakin tersipu, “Gratis sajalah.”
Hayfa berseru riang, “Makasih Ibu berhati malaikat!”
Ibu kantin tersipu lagi—kapan ini selesainya, meninggalkan Hayfa untuk melayani pemesan.
Hayfa mengangkat alis, “Lihat! Ibu Kantin terpedaya. Kamu bisa menggunakan jurus yang sama.”
Gyn menatap datar Hayfa.
Hayfa tersedak. “Maaf, Gyn. Dasar mulutku!”
TIRIRIT
TIRIRIT
Alarm jam Gyn dan Hayfa menyala bersamaan. Gyn menatap Hayfa.
Hayfa terkekeh. “Haruskah kita mendebatkan soal alarm jam yang sama? Gyn, di dunia ini juga sama kali soal waktu! Cuma geser doang.”
“Terima kasih.”
Gyn tahu. Hayfa sengaja menyalakan alarm jamnya sama persis dengan dirinya. Hayfa tahu bahwa dia benci sekali saat mendengar alarm itu. Alarm yang mengharuskan dia meminum obat, membuatnya mengingat kenangan itu.
Hayfa menatap Gyn. Menghela napas pelan. Lantas terbahak untuk mencairkan suasana. “He? Sogokan agar aku kasih sup brokoliku? No No, mending sekarang kamu minum obatnya.”
Gyn diam, menatap luar jendela.
Hayfa menghela napas panjang. Dia tahu, Gyn terlampaui lelah soal obat-obatan itu. Setiap hari, harus berdampingan dengan sesuatu yang kalian muak, apakah menyenangkan? Itu yang dirasakan Gyn.
“Gyn, minum obatnya, semakin....”
“Obatnya habis,” jawab Gyn lirih. Tidak mengalihkan pandangan.
Muka Hayfa berubah sendu. “Jam berapa ke sana?”
Gyn melihat jam tangan. “Sepuluh menit lagi.”
Hayfa mengangguk-angguk. Nafsu makannya berkurang. “Izin aman?”
Gyn mengangguk. Merapikan meja—kebiasaannya bersama Hayfa, setelah makan merapikan meja agar membantu pemilik kedai atau kantin, beranjak. Dia pergi meninggalkan Hayfa tanpa berkata apapun.
Mata Hayfa berkaca-kaca. “Kamu perempuan tangguh, Gyn.”
*****