Petualangan Coelogyne Pandurata (Season 1)

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #6

Pendakian (Kedua)


Hayfa menatap cemas ke gerbang. “Duh, di mana, sih, itu anak?”

Bus sudah tertata rapi. Calon anggota Pecinta Alam sudah berbaris rapi. Kurang satu lagi. Gyn belum juga muncul. Semua kasak-kusuk membicarakan bagaimana perjalanan nanti saat sampai puncak. Pasti sangat menyenangkan dan menantang.

 Ini adalah pemandangan spektakuler.

Sebelum masuk POS 1 pendakian, kamu akan disuguhi kelapa sawit berjajar di sebelah kanan dan kiri. Tidak hanya itu, lekukan gunung juga sangat terlihat. Masih hijau dan ada pepohonan besarnya, walau sebagian sudah ada yang gundul. Warga penduduk yang ramah, menawarkan rumahnya sebagai singgahan sementara sebelum pendakian.

“Coelogyne Pandurata?” absen Kakak Senior dari depan.

Hayfa menggigit jari. Duh, dia emang sengaja cari masalah.

Ketiga Kakak Senior—salah satunya yang mengejek Hayfa kemarin tertawa terbahak-bahak.

“Terkencing-kencing dia. Cuma gaya sok-nya aja. Tapi melempes kaya agar-agar. Meleot-leot.”

“Haha. Bener banget tuh. Gayanya bak pahlawan, pahlawan yang bener-bener kesiangan.”

 Mereka tertawa lagi.

“Dimohon untuk Kakak Senior mengecek semua peserta!” Kakak Senior pengabsen mengingatkan mereka.

Mereka bertiga bergerak dengan mengkal. Kalian bisa menyebut mereka Geng Penguasa. Mereka semua anak orang kaya raya. Anak pengusaha yang sangat berpengaruh bagi kemajuan Negara Cosnuci. Dan, ketua dari geng itu bernama Franzoni.

“Zon, liat itu!” tunjuk salah satu temannya.

Franzoni melihat pangkal yang ditunjuk. Hayfa.

“Kita ke sana, ledek saja sampai anaknya menangis,” usulnya.

Franzoni tersenyum sinis. Toh, tidak ada anak sialan itu. “Lets go!”

Mereka bertiga mendekati Hayfa.

“Anak Mami sehat?” tanya Franzoni.

Hayfa hanya menatap ke kakinya. Memainkan jari-jarinya. “B-baik....” Badannya mulai menggigil. Kenangan buruk itu datang lagi.

“Eh, kalau ditanya natap orang yang nanya dong!” seru teman Franzoni.

Hayfa mendongak dengan tangan yang bergetar. Dia takut sekali kalau Franzoni sampai mengejeknya di depan orang-orang. Terlebih, tidak ada Gyn.

Calon anggota hanya menatap, tidak berani membela.

“Mau pipis? Haha, Anak Mami itu nggak boleh takut dong,” ledek Franzoni.

“M-m-maaf, K-kak...,” jawab Hayfa gugup.

Franzoni mencengkram bahu Hayfa. “Nanti, di atas gunung sana, kegelapan menantimu. Apalagi, di hutan itu ada Harimau ganas, yang akan menerkammu.” Franzoni berkata sambil melotot. Menakuti Hayfa.

Mata Hayfa berkaca-kaca. Gyn, cepatlah!

Franzoni dan teman-temannya terbahak-bahak. “Kan? Kubilang apa. Aku yakin, dia berani ikut ekskul ini karena berteman sama si Pahlawan Sok itu.”

“Si Pahlawan Sok ada di sini.”

Mereka bertiga menoleh ke belakang. Gyn datang dengan mata mengantuk—efek obat pertama yang harus diminum.

“GYN!” seru Hayfa tetiba. Matanya sudah berair.

Gyn yang melihat mata Hayfa, langsung menatap tajam ke Franzoni—yang mengejek Hayfa. “Minggir!”

Franzoni tidak mau pindah. “Apa? Memang kamu pikir ini jalan Mamimu?”

“Minggir!” seru Gyn dengan nada rendah. Tatapannya semakin tajam. Anak-anak lain bergidik melihat ekspresinya.

Franzoni sedikit gentar, tapi dia mencoba tidak takut. “Kalau kamu kupukul nanti nangis sampai terberak-berak—”

“KUBILANG MINGGIR!” teriak Gyn tepat di telinga Franzoni.Gyn mencengkram kerah Franzoni. Cengkraman Gyn sangat kuat, membuat kerah Franzoni sedikit robek.

Anak-anak semakin bergidik melihat kemarahan Gyn. Kakak Senior dan Pembina menoleh ke sumber suara. Salah satu di antara mereka bergerak ke sana.

Franzoni membeku. Telinganya berdenging. Mukanya mulai pucat, tatapannya mulai menandakan ketakutan.

Hayfa cepat-cepat menarik tubuh Gyn. Membungkuk di depan Franzoni. “Maaf, Kak, Gyn memang terlambat. Maafkan sekali lagi.”

Jantung Franzoni berdetak cepat. Kekuatan macam apa cewek kaya gitu? Padahal tubuhku gendut begini. Dia mengatur napas. Tangannya mulai menggigil kedinginan.

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Kakak Pengabsen. Dia memegang toa di tangan kirinya.

Hayfa sekali lagi membungkuk. “Maafkan kesalahan kami, Kak.”

“Franzoni, harusnya kamu mengecek setiap calon anggota, bukan bermain-main!” serunya.

Franzoni diam, menatap marah bercampur takut pada Gyn. Tatapan Gyn tidak sedikitpun jengah. Dia terus melihat Franzoni dengan tatapan tajam dan amarahnya. Geng Penguasa pergi dari hadapan Gyn. Dia tetap menatap tajam ke mana mereka pergi.

“Dan kamu, calon anggota yang telat tidak usah berulah!” seru Kakak Pengabsen lagi.

“Kamu harus punya sopan santun!” serunya lagi.

Gyn menatap tajam ke arah Kakak Pengabsen. “Sepertinya matamu harus bisa terbang kemana-mana!”

“GYN!” bentak Hayfa. Dia menatap tajam Gyn. Matanya berair.

“Kamu bisa diam nggak? Udah telat banyak ngomel!” seru Hayfa.

Hayfa sekali lagi membungkuk di depan Kakak Pengabsen. “Maafkan kami, Kak. Kami janji akan lebih sopan.”

Kakak Pengabsen mengangguk, menatap tajam Gyn, lantas kembali ke depan. Memandu setiap anak untuk memulai kegiatan.

Hayfa menarik kencang Gyn. Ikut berbaris dengan calon anggota lain. Yang tentu ditatap dengan tatapan yang kurang nyaman.

“Jangan buat masalah di sini!” lirih Hayfa.

“Dia menarik juga.”

“Menarik apa? Kamu suka sama dia?”

Gyn menatap datar Hayfa. Apa itu rasa suka?

“Nggak mungkin, kan? Kamu harus nurut aku kali ini!” seru Hayfa lagi. Dia mengelap matanya—mungkin mau menangis tapi dia tahan.

Gyn menatap tajam ke depan. Mendengarkan intruksi. Mereka semua menarik, sangat menarik. Aku yakin, kelompok-kelompok itu jauh lebih menarik. Kita tunggu saja tanggal mainnya.

*****

Hayfa dan Gyn terpisah. Mereka berbeda kelompok. Kakak Senior sengaja mengacak setiap anggota, sebisa mungkin berbeda kelas. Hayfa di kelompok satu, Gyn dikelompok lima.

Setiap kelompok terdapat enam sampai tujuh calon anggota. Untuk berhasil menjadi seorang anggota Pecinta Alam, kelompok harus bisa mendapatkan bendera di puncak gunung. Bendera sesuai dengan warna pita setiap kelompok. Dan, kelompok Gyn berpita hitam.

Ketua dari kelompok Gyn membuka peta. Semua mengamati termasuk Gyn.

“Kita harus berhati-hati mengambil jalur. Ada jalur punggung gunung, mata air, dan jurang. Kita ikuti petunjuk ini,” Ketua menunjuk tanda centang hijau.

“Dalam keterangannya, kita harus ikuti pohon yang diikat dengan pita berwarna kuning. Jangan sampai salah,” Ketua menatap satu persatu anggota—kecuali Gyn.

Mereka mengangguk serempak.

“Aku di depan dan....” Ketua ragu-ragu menunjuk Gyn. “Kamu di belakang, Gyn.”

Gyn mengangguk setuju. Lebih menyenangkan di belakang.

“Perbekalan harus kita bagi rata di masing-masing tas. Tenda aman?”

Dua anak mengangkat tangan. “Aman. Aku dan dia saja yang membawa tenda. Sudah dari dulu ikut Pecinta Alam sejak JHS.”

Ketua mengangguk. “Air harus ada disetiap tas, juga makanan ringan.”

“Aman,” jawab serempak. Gyn hanya mengangguk.

Kelompok lima dipanggil untuk melakukan perjalanan. Gyn sudah berpikir lebih jauh. Cepat atau lambat, Geng Penguasa pasti akan membalaskan dendamnya. Jam tangan Hayfa dan Gyn sudah terhubung. Jadi, kalau ada apa-apa Gyn bisa langsung lari menyelamatkan Hayfa.

Lari? Memangnya bisa Gyn berlari dari jarak kelompok lima dengan mendaki menyusul kelompok satu?

Ini rahasianya. Sekalipun Gyn saat JHS tidak mengikuti ekskul apapun, dia sudah terlatih soal berlari, bela diri—tidak hanya karate, dan mendaki gunung. Setiap seminggu sekali, pasti dia akan pergi sendiri ke gunung—tentu hanya gunung ini, berlari dari bawah sampai puncak lantas kembali lagi. Jadi, dia sudah paham setiap lekuknya.

Gunung yang boleh didaki terletak di Kota Oleum—kota yang Gyn tempati sekaligus tempat SHS 001 berada. Gunungnya juga bernama Oleum. Gunung di Negara Cosnuci memiliki tinggi yang rata-rata hampir sama. Sekitar 3500 mdpl. Dan, semuanya aktif.

Walau aktif, tetap ada para manusia yang menghuni tepat di bawahnya. Jelas, tanahnya subur. Tidak heran banyak sayur mayur dan buah-buahan yang tumbuh di sini. Soal pertanian cukup canggih. Tidak menggunakan pemotong biasa, melainkan mobil yang sekaligus bisa membersihkan sayur mayur dan buah secara otomatis. Petani tinggal menjaga agar mobil bergerak stabil.

Masyarakat di sini termasuk penduduk yang paling sederhana dibanding penduduk kota. Pakaian mereka sahaja, sederhana, dan rumah-rumah mereka tidak semewah di kota—tetap dengan aturan luasnya. Jarang ada yang mempunyai rumah berlantai dua. Kalaupun iya, lantai bawah dipastikan untuk menyimpan hasil panen.

Kelompok Gyn mulai mendaki bukti pertama. Gyn terlihat enjoy, menikmati pemandangan.

“Ssst...kenapa sih kita harus satu kelompok sama dia?” bisik salah satu calon anggota. Melirik ke Gyn yang sedang menikmati pemandangan.

“Sebenarnya, aku juga takut. Kelompok kita yang paling suram. Aku yakin, kelompok lain pasti bersenandung ria, becanda tawa, nah, ini kaya mau melayat aja!” jawab satunya dengan bisikan.

“T-tapi kamu nggak tahu?” sahutnya lagi. Tentu dengan berbisik-bisik.

“Apa?”

“Dia cewek paling kuat di ekskul karate!”

“Jangan sok tahu kamu!”

“Eh, sumpah! Bahkan....” Perkataannya terhenti, melihat Gyn. Memastikan dia tidak mendengar. “Sebelum bertarung, dia mendatangi si cewek kelas IPS itu—“

“Jangan bilang yang kaki dan tangan kanannya patah?” seru satunya.

“SSTTT!” Calon anggota satunya melihat Gyn untuk memastikan. Gyn tetap menatap pemandangan sekitar.

“Kalau ngomong jangan keras-keras!” ujarnya sambil melotot.

“Maaf-maaf. Lanjut!”

Dia menghela napas. “Bener! Itu ceweknya! Katanya sebelum bertarung, dia ditanya, mau bertarung sungguh-sungguh, biasa, atau Gyn yang kalah.”

“Eh, pertanyaan macam apa itu?”

Dia mengangguk. Meyakinkan. Benar sekali apa yang dikatakan salah satu calon anggota itu. Gyn mematahkan tangan dan kaki cewek anggota ekskul karate.

Kejadian itu sekitar dua minggu lalu. Di mana dia dan Hayfa sudah menjadi anggota karate. Mereka memenuhi syarat, yaitu bisa berlari sejauh tiga puluh kilometer. Hayfa tentu bisa lolos, walau ada sedikit kecurangan—ya tidak bisa dikatakan curang juga karena tidak ada peraturannya. Gyn menggendong Hayfa sejauh sepuluh kilometer.

Setelah ujian awal lolos, diberi pengarahan gerakan-gerakan karate, diadakanlah latihan tanding antar anggota—yang memang diadakan setiap dua minggu sekali. Pelatih yang mengupayakan. Alasannya sederhana. SHS 001 memang selalu menang kalau soal otak, tapi lemah dalam bidang fisik.

Giliran Gyn dan seorang cewek dari kelas Social.

“Silakan menempatkan diri!” seru Pelatih.

Gyn tidak. Dia berjalan mendatangi lawannya. Yang didatangi bingung. Ini kenapa dia malah ke sini?

Hayfa yang tahu itu, melambaikan tangan pada cewek itu. Intinya, untuk berkata Gyn kalah saja. Si Cewek tidak paham, bertanya pada Gyn. “Ada apa?”

“Kamu ingin pertandingan yang sungguh-sungguh, biasa saja, atau main-main?”

Si Cewek mengerutkan alis. Menggaruk lehernya. Ini, kok, kaya game? Ada level-levelnya?

“M-maksudnya?”

“Kau ingin pertandingan yang sungguh-sungguh, biasa saja, atau main-main?” Gyn mengulang pertanyaan.

“Ya sungguh-sungguhlah! Masa tanding cuma main-main?”

Lihat selengkapnya