Aku anggap itu hanya efek obat.
Setelah berhasil menuju puncak—walau paling telat, kelompok lima berhasil dilantik. Gyn, masih susah payah mencerna apa yang dialaminya saat di hutan. Terlebih, Geng Penguasa mendadak lupa ingatan apa yang mereka alami. Ingin sekali Gyn bertanya pada Ketua, apakah melihat apa yang dia lihat. Apakah mendengar suara-suara itu. Kepalanya penuh, membuatnya sedikit pening memikirkan banyak kemungkinan.
Kendaraan bergerak, kembali ke SHS 001.
Hayfa membantu Gyn. Mukanya pucat—karena masih memikirkan hal yang di luar nalar, lantas memberinya air putih hangat.
“Diminum dulu!” Suruh Hayfa.
Gyn mengangguk, meneguk air perlahan.
“Apakah ada sesuatu yang terjadi?” tanya Hayfa.
Gyn tidak menjawab. Menatap ke luar jendela.
Apakah saat kukatakan apa yang kualami, Hayfa akan menjauh dariku? Menganggapku gila?
“Gyn, aku tidak akan menganggapmu gila.”
Gyn menoleh. Perkataan Hayfa sama persis apa yang dia pikirkan.
Bus bergerak mulus melewati kelokan jalan. Ya, tepat sekali. Pohon-pohon sawit mulai terlihat lagi.
“Ada apa? Ini ada hubungannya, kan, sama luka Kak Franzoni?” tanya Hayfa lirih. Dia menahan tangisnya—sangat khawatir Gyn akan marah semarah-marahnya.
“Ya.”
Hayfa menghela napas. “Kamu apakan dia sampai lukanya begitu? Luka yang cukup parah, seperti terlilit sesuatu dengan cengkraman kuat.”
Gyn diam. Menatap Hayfa. Apakah, dia akan percaya apa yang akan kuceritakan?
“Kalau kamu nggak mau cerita, juga nggak papa.” Hayfa menyandarkan punggungnya, mememjamkan mata. Memberi ruang untuk Gyn.
“A-apa kamu percaya sesuatu hal di luar nalar manusia?”
Hayfa menoleh. Membuka mata. “Contohnya seperti hewan yang bisa ngomong?”
Gyn menelan ludah. “Anggap saja begitu.”
Hayfa menatap fokus ke Gyn. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Gyn.”
“T-tapi, tidak masuk akal bukan, hewan bisa bicara?”
Hayfa mengangguk. “Betul!”
“Lantas, kenapa kamu percaya?”
“Bukankah kita hidup di bumi juga tidak masuk akal?”
“Maksudmu?”
Hayfa mengendik. “Penelitian mengatakan kita hidup karena adanya pertemuan sperma dan sel telur, betul?”
Betul.
Hayfa tersenyum lebar. “Lebih masuk akal kalau kita langsung masuk surga saja, bukan? Tak cocok dengan aturan, lempar saja ke neraka.”
Betul juga.
“Kenapa kita harus di Bumi? Tidak di Mars atau Saturnus yang terkenal sebagai planet paling indah.”
Hayfa sampai bisa berpikir sejauh itu?
Hayfa menatap serius Gyn. “Karena memang semua sudah direncanakan dan sengaja untuk dibuat.”
“Kamu tidak termakan cerita komik, bukan?”
Hayfa meringis. “Sedikit.”
Gyn menghela napas keras. Sudah kuduga.
“Tapi, Gyn. Aku tetap percaya suatu keajaiban dan sesuatu yang di luar nalar manusia. Seperti bayi saat berumur dua bulan, apakah sudah bernyawa? Peniupan nyawa ke dalamnya bukankah misterius? Lewat angin? Lewat sperma yang bisa hidup? Atau apa?”
Hayfa menghela napas. “Aku percaya itu. Di alam semesta yang besar banget kaya gini, nggak mungkin hanya dikendaliin sesuatu yang hampir sama kaya manusia.”
Gyn tetap fokus mendengarkan.
“Kehidupan itu misterius. Makanya, aku selalu percaya sesuatu yang mungkin bagi kita bener-bener gila.”
Gyn menelan ludah. “A-apakah kamu percaya pohon beringin yang bisa gerak sendiri?” tanyanya hati-hati.
Hayfa menoleh pada Gyn. “Kamu mengalaminya?”
Gyn diam.
Mata Hayfa membulat, berbinar. “K-KAMU NGELIAT ITU?” teriaknya. Membuat beberapa penumpang menoleh.
Gyn menatap tajam Hayfa. “Kamu percaya?”
Hayfa menelan ludah. Mana mungkin Gyn berbohong. Dia tidak pernah berbohong. Muka Hayfa mulai pucat.
Hayfa menarik napas, membuangnya perlahan. Dia percaya hal aneh, tapi, kok kaya tahu bulat. Dadakan tanpa Gyn harus berterus terang dulu. Akhirnya dia mulai tahu siapa jati dirinya. Yang Hayfa sendiri sebenarnya sudah tahu sejak lama siapa Gyn sebenarnya.
“Mau kuberitahu sesuatu yang kusimpan sendirian selama ini, Gyn?”
*****
Gyn izin sekolah. Entah kapan dia memutuskan akan berangkat.
Dia terdiam di dalam kamar selama dua hari setelah kejadian itu. Dan yang membuatnya lebih terkejut adalah mendengar pernyataan Hayfa. Sesuatu yang tidak bisa dia percaya selama ini. Gyn berdiri, mengobrak-abrik laci, mencari kertas hasil pengobatan beberapa hari lalu. Dia membaca dengan cermat.
Positif, alexithymia.
Gyn menghembuskan napas keras. Meremas kertas itu. Masih sindrom yang sama, tapi kenapa serasa aku sudah gila?
“Gyn, mau ikut bareng Ayah ke klinik?” seru Ayahnya dari luar kamar.
Tidak ada jawaban dari Gyn. Dia masih memikirkan banyak kemungkinan. Ayah Gyn menggeleng. Dia tidak tega meninggalkan putri kesayangannya. Meletakkan tasnya, lantas menyiapkan sarapan terbaik untuk Gyn.
Di dalam kamar, Gyn meraih ponselnya. Membuka lipatan, lantas mencari satu kontak yang sangat dia butuhkan saat ini.
TUT...TUT...TUT....
Gyn menunggu si penerima.
TUT...TUT...TUT....
Gyn mengepalkan tangannya keras. Bisakah angkat teleponnya sekarang?
Panggilan terangkat.
"Halo, Gyn? Hai, tumben sekali kamu menghubungiku. Kamu kangen, ya?”
Suara nyaring si Psikater terdengar nyaring.
“Maaf, Dok, bisakah kita bertemu nanti malam?”
Belum ada jawaban dari seberang.
“Dok?”
“A-a, ah, maaf Gyn, aku shock mendengar kamu ingin bertemu denganku. Sesuatu yang kutunggu-tunggu selama ini. MAU BANGET! Di kedai es krim? Nonton film? Wahana permainan bianglala? Atau mau naik sekuter di tengah kota? Atau—“
“Di rumahmu saja.”
Tidak ada jawaban.
“Bisa?”
“Kamu serius mau ke rumahku? Boleh-boleh saja, tapi, aku tidak pandai memasak.”
“Aku tidak butuh masakan, Dok.”
“B-baiklah, aku akan melonggarkan waktu. Kutunda pasien malam ini juga, agar bisa pulang lebih awal.”
Gyn mengangguk. “Terima kasih. Jam tujuh sore.”
TUT! Gyn mematikan ponselnya. Dia harus memastikan apa yang dialami dirinya sendiri.
“GYN, Ayah memasakan salad tomat kesukaanmu!” seru Ayahnya dari depan pintu kamar.
Gyn menghela napas keras. Apakah Ayah juga tahu semua tentangku?
*****
“Gimana, enak?” tanya Ayahnya.
Gyn mengangguk. Memakan salad dengan malas. “Ayah tidak berangkat?”
Ayah menggelengkan kepala. “Tidak, Ayah cukup lelah dari kemarin. Kamu tahu anjing peliharaan yang berwarna cokelat putih?”
“Enggak,” jawab Gyn sambil memainkan makanannya.
“Ah, iya juga kamu jarang ke sana. Ah, pokoknya Ayah mau cerita. Jadi si Anjing itu, patah kakinya, mau Ayah mau operasi, kamu tahu apa yang dia lakukan?”
“Berlari-lari.”
Ayah Gyn tertawa. “Salah. Dia melolong minta kawin.”
Gyn diam. Memperhitungkan situasi untuk bertanya sesuatu.
“Jadi, saat itu juga ada Anjing perempuan cantik datang untuk berobat rutin. Biasalah, Anjing orang kota diberi vaksin. Eh, si Anjing cokelat itu tiba-tiba terpaku melihat si Anjing putih yang emang cantik. Ahahaha, bubar sudah semua alat-alat Ayah. Dia mendekati si Anjing putih, mengendus-endus. Namun sayang, Pemiliknya tidak memberi restu.”
Kalau ada Hayfa, pasti tertawa. Tapi, Gyn hanya menatap datar Ayahnya.
“Begitulah cerita Ayah, bagaimana ceritamu saat di gunung?” tanyanya sambil mengiris roti gandum.
Ini saatnya. “Melihat akar bisa berjalan sendiri, mengikat kaki si Gendut.”
Ayah Gyn menghentikan gerakan makannya. Menatap Gyn tanpa berkedip.