KRIEEET!
Gyn membuka pintu rumahnya perlahan. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Di dalam dirinya yang sudah tenang, ada perasaan bersalah berani marah pada Ayahnya yang selalu ada untuknya. Walau, dia sendiri tidak tahu, apakah itu Ayah asli atau bukan.
Lampu rumah masih menyala. Gyn tertegun sebentar, melihat Ayahnya yang ketiduran di atas sofa. Masih menggunakan pakaian yang sama, dan dia terdiam. Celana Ayahnya masih ada bekas robek-robekan sedikit.
Gyn menghela napas keras. Tentu, sisa amarahnya masih ada, sudah lebih baik karena harus dipacu obat—yang dia lupa membawa obat, diberi si Psikiater. Gyn membuka pintu kamarnya, terduduk menatap jendela.
Melihat lampu-lampu jalan yang bersinar temaram.
Kejadian di hutan....
Beringin itu....
Akar-akar....
Tangan tak terluka....
Gyn memegang kepalanya. Seperti ada suara yang membuatnya mendengung di kepalanya. Ada ledakan kecil-kecil di dalam otaknya. Pemikirannya, hipotesanya, semua berkelindan begitu saja menjadi satu dalam saluran syarafnya.
Napas Gyn terengah-engah. Tangannya bergetar hebat.
“AGH!” kepalanya semakin berdenyut. Efek samping apabila dia terlalu memikirkan banyak hal.
Napas Gyn mulai kembang kempis. Dia berdiri, mengambil obat penenang, langsung dia makan tanpa air. Tangannya mulai berhenti bergetar, pusingnya mulai berkurang, Gyn menghela napas keras.
Menatap lampu jalanan. Gyn memilih duduk. Menghela napas sejenak, mengosongkan pikiran. Gerimis mulai turun, membasahi jalanan. Gyn menghirup bau hujan dalam-dalam. Membuatnya lebih tenang.
Pikirannya mulai kembali ke percakapannya dengan Hayfa saat di Bus. Mengembalikannya atas ingatan masa lalunya.
*****
8 tahun lalu.
Saat pembangunan belum gila. Saat pohon-pohon rindang tertata dengan apik. Tentu, tetap ada kelapa sawit, tapi keberadaannya hanya sekitar dua puluh persen. Saat petani bersorak gembira hasil panennya selalu menggembirakan. Saat udara bersih juga masih bisa dihirup dengan bebas. Saat semua keadaan jauh lebih tenang, tapi tidak dengan adegan satu ini.
Seorang anak perempuan berumur enam tahun dikejar empat anak laki-laki berumur dua belas tahun. Dia terus berlari, menghindar masuk ke hutan, sedang empat laki-laki itu tetap mengejar tanpa lelah.
“WOI! KEJAR DIA! JANGAN SAMPAI LOLOS!” seru anak laki-laki berbadan besar.
“YO! DIA YANG MEMBUAT BURUNG-BURUNG ITU PERGI!” jawab satu anak laki-laki berbadan kerempeng.
Dua lainnya bersorak-sorak dari belakang. Ikut berlari di belakang anak laki-laki berbadan besar. Mereka terus berlari mengejar anak perempuan berkucir dua itu.
Anak perempuan itu mulai menangis sambil terengah-engah.
“MAMA...MAMA...,” teriaknya.
Si Bos mereka memberi kode, mengitari dua pohon lantas mencegah anak perempuan itu dari depan. Anak laki-laki kerempeng dan satunya mengangguk. Mereka menambah kecepatan berlari.
Anak perempuan itu tetap berlari sambil menangis. Napasnya mulai tersengal, larinya mulai melemah.
“EIT... Mau ke mana?” cegah satu anak laki-laki kerempeng di depannya.
Anak perempuan itu semakin ketakutan. Dia terhuyung, jatuh ke tanah.
Si Bos dan satunya di belakang sembari mengatur napas. “Anak sialan!”
“AKHH!” Anak perempuan itu menjerit. Rambutnya dijambak tinggi oleh si Bos.
“Sakit? Banget pasti!” serunya sambil ketawa.
Si Bos semakin menjambak.
“LEPASIN!” anak perempuan itu. Tangannya dia kibaskan, berhasil mencakar lengan si Bos.
“AKH!” Si Bos berteriak kesakitan.
Anak perempuan itu berlari lagi, lengannya dicengkram si Anak Kerempeng.
PLAKK!
Anak perempuan itu ditampar hingga membuatnya terjatuh.
“RASAIN!” serunya.
“Ini akibat kamu ngusir burung-burung itu!”
“MEREKA BUTUH IBUNYA, HIKS... KALIAN TEGA MEMBUNUH MEREKA!” bentak anak perempuan itu sambil terisak. Dia meringis mengelus pipinya.
“BUKAN URUSANMU!” Si Bos menendang.
DAGG! Kaki si Bos ditendang seorang anak perempuan berambut pendek. Mata hitamnya begitu indah. Dia mengangkat anak perempuan yang menangis.
“SIAPA KAMU?” bentak si Bos.
“JANGAN IKUT CAMPUR KAMU!” teriak si Kerempeng.
Anak perempuan berambut pendek itu tertawa keras. “HAHAHAHAHA....” Dia menunjuk satu persatu empat anak laki-laki itu.
“KALIAN BANCI!” bentaknya sambil tertawa.
Si Bos naik pitam. “APA KAMU BILANG?”
Anak perempuan berambut pendek itu tertawa lagi. “Kalian tuli, ya? B-A-N-C-I!”
Satu pukulan mengarah ke anak perempuan berambut pendek itu. Telak! Dia justeru mencengkram pukulan itu. Mencengkram tangan anak laki-laki itu.
“AKHH, BOS TOLONG!” teriaknya.
Si Bos menendangnya, tapi dia tendang balik.
BUG! Membuat si Bos terjatuh ke tanah.
“HAHAHAHAHAHA, astaga! Betapa kalian lebih banci daripada banci!”
“AWAS KAU!” seru salah satu anak laki-laki. Mereka meninju anak perempuan itu.
Anak perempuan itu mundur. Kedua anak laki-laki itu malah saling pukul.
BUG!
BUG!
“AKH! BODOH, BUKAN AKU YANG HARUSNYA KAMU TINJU!” serunya sebal.
“KAMU ITU YANG BODOH!”
Mereka malah berantem sendiri.
“AKHHHHH! A-ampun, sumpah ampun!” Anak laki-laki kerempeng semakin kesakitan atas cengkraman anak perempuan itu.
Anak perempuan berambut pendek itu semakin tertawa girang. Bahunya sampai berguncang saking bahagianya menertawakan anak-anak nakal itu.
Tapi, anak perempuan itu lupa satu anak.
BUG! Si Bos meninju pipi anak perempuan itu saat dia tertawa.
Anak perempuan itu terjatuh, mengelus pipinya. Lumayan sakit.
Si kerempeng mengibaskan tangannya, melotot pada anak perempuan itu. Si Bos sudah memberi kode, mengerubung anak perempuan itu untuk diberi pelajaran. Anak perempuan satunya sudah kabur, sembunyi di balik pohon ketapang besar.
Anak perempuan berambut pendek itu berdiri, lantas berlari. Berhenti sejenak. “SINI KALAU BERANI!” teriaknya sambil menginjak tanah kuat-kuat.
Suasana menjadi lebih hening.
Geng anak nakal itu terdiam, melihat ketakutan.
Anak perempuan yang sembunyi di balik pohon lebih tidak percaya apa yang dilihatnya.
“HAHAHAHA, kan? Kalian memang banci!”
Bibir si Bos menggigil. “K-kamu melihat itu?”
Kaki si Kerempeng bergetar. “I-itu a-pa?”
“A-a-akar?” tanya satunya.
Satunya lagi sudah ngompol berdiri.
Anak perempuan berambut pendek menatap heran mereka. “OI? TIDAK MAU BERKELAHI LAGI? PUKULAN PIPI INI BELUM ADA APA-APANYA!”
Anak perempuan satunya terbelalak lagi apa yang dia lihat.
Ribuan sulur akar ada di belakang anak perempuan itu. Menggumpal dan menjulur-julur seperti lidah ular yang siap menangkap siapa pun. Ibarat ular raksasa yang akan menelan bulat-bulat. Atau ibarat ribuan cambuk yang siap membuat lecutan raksasa.
Si Bos mengucek matanya. “Apa aku mimpi?”
“KABUR!” Si Kerempeng sudah berlari kabur.