Petualangan Coelogyne Pandurata (Season 1)

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #9

PENEMUAN DAN PELAMPIASAN

Ruangan tiga kali dua meter.

“Benar itu anaknya?” tanya seseorang dari seberang sembari melihat virtual layar sentuh.

“Aku jamin seratus persen itu anaknya!” jawab seorang pria yang duduk menatap jendela. Mejanya penuh dengan buku-buku tugas sekolah anak-anak.

Orang dari seberang tetap menatap layar virtual. “Tidak ada tanda-tanda kekuatan besar di sana. Apalagi bola kristal itu!”

“Aku sudah menulusuri semua tentangnya. Benar sekali, dia adalah anak sah dari Pengacara itu,”

“Lantas kenapa di monitor tidak ada tanda-tanda kekuatan besar?”

“Itulah mengapa aku menelponmu, Calum!” Pria itu menghela napas keras. “Aku tidak tahu kenapa,”

"Atau anak itu hanya duplikat saja?”

“Tidak mungkin.” Pria itu terkekeh. “Bagaimana mungkin kau meragukan detektif terhebat sepertiku?”

“Detektif abal-abal!”

“Jaga mulutmu, Calum!” dengus Pria itu. “Akan kucari tahu kenapa kekuatan itu tidak ada tanda-tanda.”

“Jangan banyak omong kosong,”

“AKU TIDAK OMONG KOSONG!” teriak Pria itu—ruangan itu redam suara.

“Jadi, berapa lama aku akan mendengar kabar baiknya?”

“Secepatnya. Lagipula, anak itu masuk KIR, aku mudah saja mengawasinya.”

Calum mengangguk. Menatap layar monitor yang belum ada tanda-tanda. “Akan kusebar lagi chip itu,”

Pria itu tertawa keras. “Astaga, betapa kerennya kita!”

Calum memberi pengarahan pada anak buahnya. Menunjuk-nunjuk layar, lantas menghubungi seseorang menggunakan alat satunya.

“Oi?”

TUT. Sambungan terputus.

Pria itu mendesis. “Sialan, memang dia pikir lebih tinggi dariku?”

Pria itu beranjak dari kursinya. Mengambil beberapa buku pelajaran. “Baiklah, mari kita menjadi guru abal-abal,”

TOK TOK TOK!

Pria itu membuka pintu. Seorang wanita—guru sejarah berdiri di depannya. “Giliran Sir Back mengajar,” ujarnya sambil tersenyum ramah. Lebih tepatnya ingin menarik perhatian—secara, aura aktor.

Pria itu tersenyum lebar. “Tentu, terima kasih, Madame,” Pria itu melangkah pergi meninggalkan Guru Sejarah. Menuju ke kelas.

*****

Gyn memutuskan berangkat sekolah. Walau masih perang dingin dengan Ayahnya, dia tak mau bicara dan makan, soal uang Gyn punya tabungan banyak. Walau dia pendiam, seperti tak mau hidup, dia tetap mencari-cari kegiatan. Menjawa soal-soal anak-anak JHS misal. Dari situ, Gyn mendapatkan uang.

Dosis obat Gyn ditambah. Sejak kejadian malam itu, Gyn kembali lagi ke rumah Psikiater, meminta dosis obat yang ditambah. Aslinya, si Psikiater tidak mau, takut Gyn akan ketergantungan pada obat. Namun, Gyn terus mendesak, agar dia cepat tidur dan lebih tenang. Sesuai prosedur, dosis Gyn ditambah. Yang diharap Gyn, dia lekas pulih dan menjalankan misi itu.

Hayfa menepati janjinya. Tanpa sepengetahuan Gyn, Hayfa selalu membuntuti Gyn ke mana pun. Termasuk rumahnya, Gym, dan rumah Psikiater itu. Hayfa hanya tidak ingin melihat Gyn kenapa-napa. Terlebih, dia juga tahu bawah Ketua OSC itu kerja di Gym.

Namun, Hayfa adalah Hayfa. Dia memang ramah ke banyak orang, tetapi bisa menjaga rahasia.

Seperti saat ini, Hayfa membututi Gyn dari jauh masuk ke ruang ganti. Hayfa sudah menyiapkan skenario terbaik.

Gyn dan Hayfa hampir bersamaan masuk ke dalam kamar ganti. Sata keluar, mereka bersamaan.

Hayfa menoleh. “Oh, hai, Gyn? Kamu berangkat?”

Gyn menatap datar Hayfa. “Kamu mengikutiku?”

Hayfa tertawa. “Aduh, sejak kapan kamu jadi GR begini? Aku kan ikut ekskul Karate. Masa aku nggak boleh ganti di sini? Kamu kali yang ngikutin aku!”

Gyn mengangkat bahu, menuju lokernya. Hayfa cepat-cepat ikut membuka lokernya.

Hayfa menoleh ragu-ragu ke Gyn. “Em, iya, Gyn, apa kamu baik-baik aja?”

Gyn diam. Meletakkan seragamnya ke loker, lantas menutupnya agak keras.

Allright, aku tahu kamu pasti nggak mau jawab.”

Gyn menghela napas. “Hayfa....”

Hayfa diam. Menunggu Gyn bicara.

“Apapun yang kamu liat saat itu, anggap saja kita adalah anak kecil yang menyukai dunia imajinasi.”

Hayfa ingin menjawab, urung.

“Aku tetap tidak mempercayai hal begituan. Terdengar dan terlihat konyol. Terlihat bahwa aku gila, padahal sama sekali aku tidak mengidap penyakit itu.”

Hayfa ikut menghela napas. Dia tidak bisa berkata apapun untuk saat ini selain mendengarkan. Lantas, pikirannya teringat sesuatu. Menepuk bahu Gyn perlahan.  “Hari ini kamu beruntung, Gyn.”

Gyn menatap Hayfa.

Hayfa tersenyum lebar. “Yeah! Ini kesempatanmu!” seru Hayfa.

Gyn menoleh ke Hayfa. “Kesempatan?”

Hayfa mengangguk cepat. “Hari ini jadwal latihan tanding!”

Benar juga.

“Nah, keluarkan semuanya, Gyn!” seru Hayfa.

Gyn menatap Hayfa. “Bukankah saat aku mematahkan kaki cewek itu, kamu menutup muka?”

Hayfa menjentikkan jari. “Nah, itu istimewanya!”

“Apa?”

Hayfa terkekeh. “Kita lihat saja nanti!”

*****

Barisan yang sangat rapi. Kakak Senior berada di depan, memberi contoh. Para pemula di belakangnya,mengikuti garis baris mereka.

“KITA LAKUKAN PEMANASAN DULU!” teriak Pelatih.

“SIAP!”

“SIKAP SEMPURNA!”

“YAK! SALAM!” Mereka serentak membuka kuda-kuda sempurna.

“MULAI!” teriak Pelatih.

“SATU...DUA...SATU...DUA...SATU...DUA...” Mereka teriak bersamaan dengan gerakan-gerakan yang sudah diberikan. Mereka harus menghapalnya. Kalau lupa, push up hukumannya. Lupa lagi, lari tiga keliling. Lupa lagi, lari sprint sambil menggendong temannya. Kejam demi kebangkitan prestasi bidang olahraga SHS 001.

Hayfa melakukan pemanasan dengan muka cemberut. Kalau bukan demi Gyn, mana mau aku ikut beginian! Mending makan hot dog sambil membaca komik. Ah, bahagianya. Muka Hyafa datar sambil membayangkan dia sedang makan hot dog.

“Gyn, besok kita keluar dari ekskul ini, yuk! Capek!” keluh Hayfa sambil berbisik.

Gyn tetap fokus berteriak ‘satu dua’ sembari menerapkan gerakan yang sempurna.

“Bukannya kamu ingin melihatku tanding?” jawab Gyn sambil berbisik.

Hayfa agak terkesiap. Eh, aku nggak salah duga, kan? Gyn agak mau ngomong, ya walau ngomong sesuai pertanyaan.

Hayfa berdeham. “Maksudku, setelah bertanding kita keluar! Okelah, kalau masalah tangkap kodok dan naik gunung Bisa diterima. Seru dan menantang. Tapi, ini, astaga! Pipi gembilku yang menawan ini akan tirus kaya artis-artis luar negeri itu?” Hayfa menghela napas keras. Suaranya mulai terdengar teman sebelah.

 “Aku tidak menyuruh....”

 “DUA ANAK BARU JANGAN BANYAK BICARA!” Pelatih berteriak keras ke arah Gyn dan Hayfa.

Mereka berdua menunduk. Gyn menatap tajam Hayfa, yang ditatap cuma meringis. “Maaf,” bisiknya.

Gerakan masih tetap berlanjut. Lagi, Hayfa mengeluh. “Ssst, Gyn!

Gyn melirik Hayfa. Masih kesal.

Hayfa meringis sambil melakukan gerakan kepala di bawah. “Kali ini, aku mau traktir kamu es krim yang super enak! Kamu satu potong, aku dua—“

“EKHEM!”

Hayfa dan Gyn berhenti mengobrol. Mendongakkan kepala. Di depan mereka pelatih menatap tajam.

PUSH UP TIGA PULUH KALI!”

*****

Latihan tanding dimulai.

Sebelum Gyn, Hayfa lah yang tanding. Dia bertanding sesuai dengan berat badannya.

Hayfa maju dengan langkah gontai. Takut sekali kalau pukulan itu membuatnya sakit badan. Apalagi, sampai patah seperti yang dilihatnya saat Gyn bertanding. Dia bergidik. Melihat lawannya yang lebih tinggi sedikit.

Hayfa menelan ludah. Duh, aku nyerah aja kali, ya?

“OI!”

Hayfa menoleh ke belakang. Gyn berteriak?

“Kalau kamu kalah, keluar saja dari ekskul karate!” teriak Gyn. Mukanya tetap datar.

Anggota lain menatap sinis Gyn.

 Ih, cewek gila!

Hak-hak Hayfa lah mau tetap di sini atau enggak. Dasar diktaktor!

Apa-apaan tuh, mentang-mentang jago, seenaknya aja ngeremehin orang!

Dasar oon! Itutuh palah ngebuat semangat Hayfa kendor tahu!

Lihat selengkapnya