Geng Penguasa sepakat untuk mencari tahu siapa Gyn sebenarnya. Tidak sulit untuk seorang Franzoni. Dia bisa melacak Gyn ke mana saja, menyuap guru untuk memberi tahu biodata Gyn, bahkan mungkin suatu rahasia dari Gyn.
Franzoni dan kedua temannya sedang berdiskusi di kelasnya. Mudah saja bagi Geng Penguasa. Semua diusir dari kelas.
Franzoni menghela napas keras. Memijat kepalanya. “Pelajaran Ekonomi yang menyebalkan!”
""ku pasti remidi, Bos.”
“Sama.”
Mereka berdua menghela napas. Meminum soda yang dipesan dari Food Online.
“Jadi, mau gimana rencananya, Bos?”
Franzoni mengunyah takoyaki dengan lahap. Dia mengeluarkan kertas. Peta konsep penyerangan. Poor. Biasanya para pelajar menyiapkan peta konsep untuk meringkas materi, Franzoni berbeda. Peta konsep untuk menyusun rencana balas dendam.
“Aku tahu, kita nggak akan bisa menang melawan Gyn. Dia terlalu kuat dan kalian lihat sendiri bukan? Si Master Karate kalah telak. Dipermalukan tepat di depan matanya. Shit!”
“Aku masih penasaran sama kejadian di hutan, Bos.”
Franzoni mengangguk. “Kamu benar. Sekuat-kuatnya Gyn, mana ada cengkraman sepanjang itu. Dua lima senti. Itu yang dikatakan dokter saat aku operasi.”
Kedua temannya menelan ludah.
“L-lantas siapa, Bos?”
Franzoni mengetuk-ngetuk mejanya. “Itulah. Aku seperti melupakan sesuatu. Mencoba mengingat tapi buntu.”
Lengang. Mereka berpikir keras antara berani dan takut.
“Gimana kalau bikin dia kaya terpuruk? Mentalnya hancurkan aja!” usul salah satu teman Franzoni.
“Kamu bisa melihat sendiri, kan? Aku tidak pernah melihat Gyn tersenyum apalagi menangis. Dia kuat sekali!”
“Justeru, orang-orang yang nggak bisa menangis adalah orang-orang lemah, Bos.”
“Kok?” tanya Franzoni. Kenapa aku terlihat bodoh saat ini?
Cowok itu berdeham. “Saat menangis, berarti dia mau menerima. Melepaskan semua tekanan yang ada. Sedangkan, saat dia tidak bisa menangis, berarti dia tidak mengenali emosinya. Tidak tahu apa yang harus dilepaskan. Meledak-ledak di dalam diri.”
Wow. Franzoni menatap takjub pada temannya yang rangking paling belakang itu.
“Kamu ngutip dari mana kata-kata itu?”
“Joogle, Bos.”
“Jurnal?”
“Blog similikiti.”
Poor. Franzoni menatap datar temannya. Yang ditatap cengar-cengir.
“Pantas belum, Bos, jadi Psikolog?”
“Nggak minat jadi penjual kentut yang bisa sampai milyaran?” tanya salah satu temannya.
Franzoni menghela napas keras. Mereka memang sukanya main-main. Dia mengetuk meja, menunjuk peta konsep. “Fokus!”
Kedua temannya menggaruk kepala. Melihat peta konsep lebih serius. Peta konsep yang dibuat Franzoni ada empat kotakan yang berjalan sesuai alur. Franzoni menunjuk kotak pertama.
“Oke, aku akan menampung pendapatmu. Berarti, pertama kali yang harus kita lakukan adalah... mencuri dokumen Gyn. Dan kalian pasti tahu ada di mana?”
Kedua temannya mengangguk. “Sir Hans.”
“Yeah. Tidak mudah untuk menyogok orang tua itu,” lirih Franzoni.
“Dia orang tua yang aneh. Suka hal-hal yang unik dan tak pernah ada. Ada juga manusia yang tidak suka uang.” Celetuk satu temannya.
Franzoni tersenyum puas. “Aku tahu.”
Kedua temannya menoleh.
Franzoni mengeluarkan ponsel lipatnya. Oow, tentu saja ini lebih canggih. Selain bisa dilipat, dia juga bisa berubah menjadi earphone tidak terlihat oleh mata. Lebih canggihnya, ponsel ini juga bisa kendali semua barang elektronik. TV, kunci mobil, kunci motor, bahkan membuka sandi yang sangat rahasia mudah saja. Tentu, harganya berkali-kali lipat daripada mobil standar.
Franzoni terus meng-scroll layar ponsel. Dia menekan salah satu situs online—khusus kaum elite, lantas memesan sesuatu.
“Selesai. Akan tiba besok hari.” Franzoni tersenyum lebar. Puas.
“Ngapain, Bos?”
“Kalian itu bodoh sekali. Tidak pernah mengamati Sir Hans, kan?”
“Kan aku nggak naksir Sir Hans, Bos.”
PTAAK! Franzoni menjitak temannya.
“Sekali bodoh tetap bodoh. Yes, dia suka nongkrong di kantin sambil memesan kopi. Right?”
“Nggak tahu, Bos,” sanggah temannya yang dijitak sambil mengelus kepala.
Franzoni memutar bola matanya. “Intinya, aku sudah memesan yang cocok. Aku yakin, dia akan segera terlena dengan pemberian kita.”
“Memang apa, Bos?”
“Kopi Sudan rume, produksi dari negara Colombia.”
“Sudan rume? Aku nggak pernah dengar.”
“Lah, kamu kan nggak pernah ngopi. Soda gembira terus!” celetuk temannya kesal.
“Kopi ini sangat langka. Asalnya dari Ethiopia. Aku yakin, pasti Sir Hans akan suka.”
“Kita ngasihnya kardusan gitu?”
Franzoni tersenyum tipis. “Dengan sedikit pemaksaan.”
*****
Sepulang sekolah yang biasanya mereka nongkrong sembari bermain game sepuasnya, adu teknologi, dan balapan mobil selancar (mobil yang berbentuk selancar dan bisa seperti terbang di udara), kali ini berjalan santai ke ruang kantor.
Franzoni memastikan keadaan. Aman. Guru-guru sedang melakukan rapat. Dan, kantor Sir Hans itu berjauhan. Terpisah dua bangunan khusus administrasi sekolah. Franzoni mengode temannya untuk tidak ikut.
Tetap di situ! Kode Franzoni.
Kedua temannya mengacungkan jempol.
TOK! TOK! TOK! Franzoni mengetuk pintu.
“Masuk.”
Franzoni masuk. Melihat Sir Hans masih membaca koran. Ruangannya sangat bersih. Penyimpanan dokumen yang spektakuler. Dan sangat rapi.
Sir Hans mendongak. Mengalihkan koran. “Ada apa siswa sampai bisa masuk ke ruangan ini?” tanyanya galak.
“Saya ingin meminta bantuan, Sir Hans.”
“Kamu pasti tahu karakter saya,” ujar Sir Hans sinis. Kembali membaca koran.
Franzoni mengelus tengkuknya. Ini tidak mudah.
“Mau kamu berdiri semalaman di situ. Mau kamu anak seorang teknisi terkemuka. Anak Petinggi, Menteri, Raja Cosnuci sekalipun. Aku tidak akan membantu. Sila berdiri sampai ruangan ini tutup.” Sir Hans tetap santai membaca koran.
“Sudah mencoba kopinya?” Franzoni bertanya.
Sir Hans menatapnya. “Lalu?”
“Tahu itu kopi apa, Sir Hans?”
“Kamu memberi racun ke dalamnya?”
Franzoni menggeleng. Tersenyum. “Sudan rume.”
“Sepertinya ada anak indigo di—“ Tangan Sir Hans beku. Kepalanya beku. Lumpuh seketika.
Franzoni tertawa kecil. “Tenang, Sir Hans. Ini hanya akan berlangsung selama lima belas menit.”