Petualangan Ibrani

Mala Armelia
Chapter #12

Bandung

Jalanan Bandung terhitung lenggang dan damai pada saat itu, tidak ada bekas sisa-sisa bekas kerusuhan seperti yang terjadi di Jakarta karena Forum Mahasiswa Bandung (FMB), yang berdiri pada tahun 1996 dari KM ITB dan Komite Mahasiswa mereka menyepakati perlu pergantian kepemimpinan bangsa. Pada akhirnya Maret - April (1998) FBM memiliki massa di atas 500. Posko gabungan FMB terletak di Unpad dengan perhitungan dekat dengan Kantor Gubernur, Kantor DPRD Jawa Barat, dan Lapangan Gasibu. FMB yang sudah terbentuk ditawari untuk bergerak ke Jakarta untuk bersatu berkonsentrasi menjatuhkan Suharto di Senayan.

Namun banyak anggota dari FBM yang memilih untuk menolak pergerakan ke Jakarta karena dikhawatirkan Bandung menjadi rusuh dan hanya sekitar 10 bus memutuskan untuk berangkat. Mereka membuat aksi yang terbesar berada di Gedung Sate, mahasiswa yang ada di sana kemudian membentuk satu komitmen dengan slogan Anak Bandung Cinta Damai (ABCD), melalui slogan ini dampak kericuhan dapat diminimalisir. Dengan demikian, Kota Bandung relatif aman menjelang Reformasi dikarenakan para mahasiswa berkomitmen untuk menyuarakan anti Orde Baru dengan cara yang damai.

Setelah menempuh kurang lebih delapan jam perjalanan akhirnya mereka tiba di tempat tujuan, dengan muka bantal dan mata yang masih lengket sekali untuk terbuka, Ibrani memaksakan diri melihat sekitarnya yang sudah terang benderang disoroti sinar matahari pagi. Seperti anak tujuh tahun pada umumnya, ia menggeliat sambil mengucapkan kata 'ibu' dengan begitu polosnya karena belum sadar betul.

"Ibuuu." Mulut mungil itu berhenti bersaut cepat saat sudah melek betul dan sadar tidak berada di rumahnya. Ekspresinya langsung berubah sekejap saat melirik Junet yang menyentuh pundaknya.

"Udah sampe, nih." Ujar Junet sambil melirik pelan mengayunkan kepalanya ke rumah yang dikelilingi tanaman rindang.

Mobil yang mereka tunggangi sudah berhenti di depan pekarangan rumah yang dilirik oleh Junet. Baik Junet ataupun Dinda hanya berani melirik menunggu siapa saja yang keluar dari rumah tersebut, belum ada yang berani turun karena suasana sekitar masih sepi sekali padahal sudah pukul setengaj tujuh pagi mereka tidak tahu persis mengapa tidak ramai orang lalu lalang seperti pagi biasanya.

Meskipun memang jarak antar rumah begitu berjauhan karena masing-masing memiliki halaman yang cukup luas namun, ketidak-biasaan ini membuat keduanya canggung. Ibrani yang melihat kedua orang ini hanya ikut melirik ke arah rumah yang dituju.

"Betul ini rumah di fotonya?" Tanya Junet kepada Dinda yang memecah keheningan.

"Iya, di fotonya sama ada pohon jambu sama pisang. Tuh" Ucap Dinda seraya menunjuk ke pohon yang berada di dekat rumah tersebut.

"Nungguin apa, Mba?" Tanya Ibrani ikut melihat ke arah pohon pisang.

"Ibumu." Jawab Dinda singkat.

"Dimana?" Tanya Ibrani dengan nada semangat.

"Ya nggak ada dul, masih di dalem kayaknya." Junet menimpali dengan melirik sedikit ke arah pintu rumah kemudian membuka pintu mobil sopir lalu turun dan melakukan peregangan.

Dinda yang melihatnya hanya tersenyum simpul, selama perjalanan Junet tidak mengeluh atau meminta istirahat untuk badannya sendiri ia hanya menanyakan apakah ada yang lapar atau ingin buang air jika iya maka mereka akan berhenti jika tidak maka perjalanan tetap berlanjut dengan begitu selama enam jam perjalanan mereka hanya turun sebanyak satu kali untuk buang air dan satu kali untuk membeli perbekalan.

Junet meliukkan tiap sendi di badannya membuat suara "Krek" sebanyak tiga kali,

"Kasihan banget, sih." Kata Dinda menonton Junet.

Lihat selengkapnya