"Terus ini preman darimana?" Tanya pria lain bertubuh gemuk yang duduk di atas lemari TV yang berlaci kecil dan menyender pada keranjang berisi perabotan dapur.
"Temennya Jono, biasa... dikumpulin dari temannya ada juga orang terminal, preman Pasar Rebo, Pengamen." Jawab Ibu pemimpin percakapan itu dengan tangan dikibas saat mengatakan kata 'biasa' seperti hal ini sudah lumrah dan mengayunkan badannya ke depan saat menyebut komplotan dalang kerusuhan yang terjadi hari itu.
"Kok iso sih?" (kok bisa sih?)
"Yo iso, waktu pas bunyi besar itu aku masih di depan orang pada kumpul dia juga kumpul sama temen-temen langsung kesana-kemari ambil barang. Aku bilang, silahkan tapi aku ke belakang jangan diapa-apain." Lanjut cerita Ibu... Itu.
Ibrani yang sedari tadi menguping dengan khidmat membentuk bulatan pada mulutnya yang mungil tersebut tanpa keluar suara karena membuatnya mengerti apa yang terjadi sekaligus ikut tercengang.
Menurut sejarah, kerusuhan yang terjadi di Pasar Minggu pada 12 Mei tahun 1999 berawal dari tertembaknya mahasiswa Trisakti yang berdemo melakukan aksi protes terhadap reformasi. Puncak dari krisis moneter ini terjadi di 1997 ketika Kurs rupiah semakin tinggi, banyak perusahaan besar yang melakukan PHK akibat dari krisis ini hampir 40juta orang kehilangan pekerja mereka mulai dari pekerja kasar hingga industri yang sudah ada pada masa itu.
Krisis ini mendatangkan kejutan yang membuat hampir seluruh masyarakat enggan mempercayai pemerintahan yang ada pada saat itu karena keadaan begitu saja berubah misalnya, harga beras yang masih di sekitaran Seribu rupiah perliternya naik dua kali lipat menjadi 2ribu Rupiah. Kemudian, sebagai pembelaan sesama rakyat atas keserakahan pemerintah aksi kerusuhan ini akhirnya terjadi untuk mengubah kemelaratan yang ada selama bertahun-tahun.
Beberapa tempat setelah konfirmasi atas meninggalnya para perwakilan mahasiswa yang melakukan demonstrasi tersebut menjadi bahan pelampiasan terhadap nafsu amarah rakyat termasuk salah satunya kebakaran Robinson yang akhirnya menyambar ke gedung PD Pasar Minggu Jaya.
Karena kejadian demi kejadian yang sudah terjadi, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk menciptakan kerusuhan hingga menciptakan kerusakan besar pada wilayah Pasar Minggu hari itu ketika Ibrani datang berniat membeli perlengkapan sekolah. Apalagi Pasar dan Terminal adalah pusat tempat berkumpulnya preman yang mudah mendapatkan perhatian untuk menggiring massa.
Sebenarnya ada atau tidaknya kebakaran di gedung Robinson kerusuhan tetap akan terjadi karena Pasar Minggu merupakan kawasan pasar modern pada masanya yang diisi oleh sebagian besar penduduk Tionghoa dan sebagian kecil lainnya adalah perantauan dan orang Jakarta aseli. Orang-orang Tionghoa-lah target utama dari adanya kerusuhan yang terjadi kala itu karena dinilai memonopoli perekonomian dan perkembangan negara, bisa dibayangkan sebelum tahun 1998 hampir seluruh lahan yang ada di Pasar Minggu adalah milik penduduk Tionghoa yang tinggal di Jakarta, ruko-ruko yang ada di kawasan Pasar Jakarta juga milik mereka.
"Emang sudah rencana mau bakar ban gerobak punya pak Ujang itu?" Tanya penjual asongan.
"Oh... Punya ujang itu?" Tanya lagi pria berbahasa Sunda yang mendengar pertanyaan dari pria disebelahnya itu.
Soalah keadaan yang tak jauh di dekatnya itu bukan hal berbahaya karena kebakaran yang terjadi di gedung Robinson semakin besar hingga menyambar ke gedung PD di sebelahnya mereka tetap tenang berbincang sambil berjalan untuk menjauh menghindari asap ke arah terminal yang masih terkesan aman.
Diantara mereka hanya ibu tua tersebut yang tidak membawa gerobak miliknya, sisa dari mereka bergotong royong membawa barang bawaan yang mereka punya.